Peradaban Kota Semarang dipicu aktivitas niaga, tetapi bukan berarti tak ada tempat bagi ruang berkesenian. Ruang-ruang hidup ini menjadi saksi pasang surut jagat seni di jantung pantura Jawa.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI, GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·5 menit baca
Walau denyut peradabannya dipicu aktivitas niaga, Kota Semarang, Jawa Tengah, bukannya kering ruang kesenian rakyat. Di tengah deru modernitas, warga kota tetap berupaya merawatnya. Di sini, seni tradisi diwariskan dan dipupuk agar tetap mekar.
Hujan deras disertai angin melanda Kota Semarang, Selasa (18/1/2022). Sejumlah pohon tumbang hingga akhirnya memutus aliran listrik di sejumlah wilayah, termasuk Gedung Kesenian Sobokartti di Semarang Timur. Di tengah guyuran hujan, belasan orang tampak merapat.
Seusai melepas mantel hujan, mereka bergegas menuju sebuah pendopo di depan Sobokartti. Sejenak mengusap wajahnya yang basah akibat hujan, lalu satu per satu memasang selendang ke tubuh dan bersiap berlatih menari. Gending Jawa pun diputar lewat pengeras suara nirkabel. Siang itu, mereka berlatih tari gambyong.
"Hujan, angin, petir, bahkan banjir sekalipun tetap saya terjang demi bisa latihan di Sobokartti. Namanya sudah cinta, jadi apa saja dilakukan," kata Apriliana Mathofani (24), salah satu peserta seusai latihan tari.
Apriliana yang akrab disapa Nana, sejak berusia tiga tahun sudah belajar menari di Sobokartti. Baginya, Sobokartti sudah seperti rumah kedua untuknya. Di tempat itu, Nana banyak menghabiskan waktu, bermetamorfosis dari balita yang tak bisa menari hingga menjadi penari andal.
Nana berujar, di Sobokartti, dirinya tidak hanya belajar cara menari dengan indah, tetapi juga tentang makna setiap gerakan tari dan instrumen pendukungnya. Hal itu yang kemudian disebut Nana menjadi modal dirinya dalam menghayati setiap gerakan tari. Setelah berulang kali pentas dan mengikuti kejuaraan, Nana pun mendapatkan pekerjaan menjadi guru tari di sejumlah sekolah.
Dalam Journal of Indonesian History Universitas Negeri Semarang yang terbit tahun 2021, Yolanica Priliandana dan Syaiful Amin mencatat, gedung Sobokartti dibangun pada 5 Oktober 1929 oleh arsitek berdarah Belanda, Thomas Karsten. Gedung itu dibangun karena perhatian dan minat Karsten pada kesenian Jawa. Karsten berharap, gedung itu bisa menjadi wadah atau ruang berbagai aktivitas seni.
Sekitar empat kilometer di selatan gedung Sobokartti, ada sebuah kompleks yang disebut sebagai Taman Budaya Raden Saleh (TBRS). Di tempat yang berada di Kecamatan Candisari tersebut, ratusan seniman dari berbagai jenis kesenian berkegiatan setiap hari. Salah satu kelompok yang rutin pentas di sini adalah Wayang Orang Ngesti Pandowo.
Dalam laporan berjudul Teater Kitsch Ngesti Pandowo di Kota Semarang Tahun 1950an-1970an, yang ditulis Dhanang Respati Puguh, Rabith Jihan Amaruli, dan Mahendra Pudji Utama dalam jurnal Mozaik Humaniora disebutkan, Ngesti Pandowo menetap di Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS) sejak 1954. Sekitar 1996, kelompok wayang orang yang didirikan Ki Sastrosabdo itu terpaksa pindah ke TBRS hingga kini. Adapun GRIS kini berubah menjadi Mal Paragon.
"Gedung Ki Narto Sabdo ini milik Pemerintah Kota Semarang. Istilahnya kami di sini itu dipinjami tempat tapi tidak boleh memiliki. Jika sewaktu-waktu gedung ini diperlukan pemerintah, kami harus merelakannya," tutur Wiradiyo (55), anggota Ngesti Pandowo.
Wiradiyo berharap, Ngesti Pandowo bisa mendapatkan tempat sendiri. Dengan begitu, mereka bisa tetap fokus berkesenian dan melestarikan seni tanpa bayang-bayang rasa takut dipindah.
Adapun lahan TBRS seluas sekitar 3 hektar itu, sekitar 1975 hingga awal 1990-an merupakan kebun binatang Tegal Wareng. Pada 1990-an kebun binatang tersebut dipindahkan ke Tinjomoyo dan pada 28 Februari 2007 kebun binatang Semarang resmi menempati areal baru di daerah Mangkang.
Setelah kepindahan kebun binatang Semarang, lahan tersebut dibangun Taman Hiburan Rakyat, bernama Taman Raden Saleh, lalu berganti nama menjadi Taman Budaya Raden Saleh dan diresmikan tanggal 13 Januari 1990 oleh Walikota Dati II Semarang, Iman Soeparto Tjakrosuhodo, SH. TBRS berfungsi sebagai pusat kesenian dan kebudayaan Jawa Tengah. Adapun sebagian kawasan pernah menjadi Taman Rekreasi Keluarga Wonderia, tetapi sekarang terbengkalai.
Dipilihnya nama Raden Saleh sebagai pusat kebudayaan dan kesenian ini bukan tanpa alasan. Raden Saleh Sjarif Boestaman adalah salah satu pelukis Indonesia paling terkenal yang berasal dari kota Semarang, dan merupakan bukti nyata bahwa Semarang memilki budayawan, penulis, sastrawan, pelukis dan pekerja seni lainnya.
Eksistensi kawasan TBRS bukannya tanpa hambatan. Sekitar 2015, pernah ada wacana pembangunan megaproyek kawasan hiburan modern di seluruh bekas lahan Kebun Binatang Tegal Wareng, termasuk TBRS. Kala itu, penolakan keras dilontarkan para seniman hingga akhirnya proyek itu batal.
Kini, dalam waktu dekat, sejumlah bangunan di bagian depan kompleks TBRS akan direnovasi. Selama renovasi, kelompok-kelompok seni maupun para seniman yang biasanya berkegiatan di tempat tersebut akan dipindah ke gedung baru di bagian belakang kompleks TBRS. Bangunan baru yang disebut lebih representatif dibanding bangunan lama itu ditargetkan bisa ditempati tahun ini.
"Dipindah ke belakang itu sifatnya sementara, kalau yang di depan sudah selesai dibangun, bisa kembali lagi ke depan. Gedung yang di belakang itu lebih luas, lebih rapi, peralatannya lebih lengkap, dan lebih representatif," ucap Ketua Komite Teater Tradisi Dewan Kesenian Semarang, Andi Pramono.
Revitalisasi TBRS sebagai upaya pemerintah menyediakan ruang hidup yang layak bagi seniman. Gedung baru itu juga dilengkapi tekonologi yang lebih canggih. (Sarosa)
Revitalisasi TBRS disebut Sarosa, kepala Seksi Atraksi Budaya Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, sebagai upaya pemerintah menyediakan ruang hidup yang layak bagi seniman. Gedung baru itu juga dilengkapi tekonologi yang lebih canggih.
"Di gedung yang lama, biasanya latar belakang pangungnya itu menggunakan geber yang harus dikerek (ditarik). Nanti di gedung baru pakai latar belakang yang digital, jadi tidak perlu ngerek," katanya.
Pemindahan lokasi pentas dikhawatirkan para seniman membuat animo penonton menurun. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah setempat akan bekerja sama dengan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia serta Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia agar menggiring para tamu dari luar daerah yang berlibur di Kota Semarang untuk menonton pertunjukan-pertunjukan seni.
"Dari segi promosi kami juga akan membantu. Sehingga, jangan khawatir nanti masyarakat tidak tahu di mana tempat pertunjukan yang baru," imbuh Sarosa.
Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Semarang Suharsono menilai, Kota Semarang membutuhkan lebih banyak gedung yang bisa dimanfaatkan warga untuk pertunjukan seni budaya. Kehadiran gedung baru dengan sentuhan modern tersebut nantinya diharapkan meningkatkan antusiasme kegiatan seni dan budaya, sebagai salah satu daya tarik wisata Semarang.