Ki Narto Sabdo, Dalang Pembaru Berkemampuan Komplet
Ki Narto Sabdo memelopori seni pedalangan yang luwes. Ia membuka jalan bagi para dalang untuk berkarier profesional tanpa menghapus nilai tradisi.
Perkembangan dunia pedalangan wayang kulit nyaris tak bisa dilepaskan dari satu nama, Ki Narto Sabdo. Dialah sang legenda, pembaru yang luwes merintangi zaman, Juga membuka jalan bagi para dalang untuk berkarier profesional, tanpa menghapus nilai tradisi. Berakar dari seni karawitan, kemampuannya mendalang disebut belum ada yang bisa menandingi.
Patung dada Narto Sabdo salah satunya ada di Taman Budaya Raden Saleh di Kota Semarang, Jateng. Letaknya persis di depan gedung yang namanya juga diambil dari sang dalang. Pada akhir Maret 2021, menurut rencana, juga akan diresmikan patung dada Narto Sabdo, yang dipesan Jaya Suprana, di Jalan Pemuda dekat Pasar Johar, Kota Semarang.
Sebelum mendalang, Soenarto, nama aslinya, dikenal juga sebagai pentolan Wayang Orang Ngesti Pandowo. Namun, karier pria kelahiran Wedi, Klaten, 25 Agustus 1925, itu lebih menonjol sebagai dalang. Memulai debut pentas mendalang di Jakarta dan disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1958, Narto Sabdo menjelma menjadi dalang paling top pada masanya.
Baca juga: Pentas Wayang Pelat Logam Perdana di Studio Mendut
Soenarto sendiri bukan keturunan dalang. Ayahnya, Partiniyo, merupakan perajin sarung keris. Bungsu dari delapan bersaudara itu bersekolah hanya hingga kelas tiga di Standaard School Muhammadiyah. Ia kemudian menjadi mencari uang dengan menggambar, sebelum kemudian masuk salah satu sekolah Katolik. Di sekolah itulah bakat seninya berkembang.
Ia piawai bermain gitar, menari, dan bermain biola, hingga kemudian menjadi pemain pada orkes keroncong Sinar Purnama. Salah satu titik paling berarti bagi kariernya ialah pertemuan dengan Ki Sastrosabdo, pendiri WO Ngesti Pandowo, pada 1945. Ngesti Pandowo berdiri pada 1937 di Madiun, Jawa Timur, yang pentasnya keliling dari satu kota ke kota lain.
”Di satu kota, Pak Sastrosabdo melihat ada kelompok ketoprak lain yang menarik banyak penonton. Yang menjadi daya tarik ialah karawitannya. Pak Soenarto, yang merupakan penabuh gendang, diajak bergabung dengan Ngesti Pandowo,” kata Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang, Dhanang Respati Puguh, Februari 2021.
Seiring waktu, selain menjadi pemain 9 gendang dan 3 tambur, Soenarto dipercaya menjadi pemimpin karawitan di Ngesti Pandowo. Sejumlah perubahan dibawanya hingga kelompok itu berkembang dan digandrungi. Atas jasanya, Soenarto diizinkan Sastrosabdo untuk menyematkan ”Sabdo” di belakang namanya. Sejak itu, ia dikenal sebagai Narto Sabdo.
Baca juga: ”Ladrang Gadjah Seno”, Gending Terakhir Dalang Peretas Batas
Dhanang menuturkan, berdasarkan fakta historis, Narto Sabdo bukanlah pendiri WO Ngesti Pandowo karena bergabung delapan tahun setelah kelompok itu berdiri. Namun, puncak kejayaan Ngesti Pandowo ada pada masa setelah ia direkrut. Atas jasanya tersebut, kalangan seniman Ngesti Pandowo mengikutsertakan Narto Sabdo sebagai salah satu pendiri.
Berkembang
Melihat potensi luar biasa Narto Sabdo, Sastrosabdo menyarankannya untuk tak berhenti menjadi seniman karawitan yang dari segi finansial kurang menghasilkan. Atas dorongan itu, Narto Sabdo lalu mendalami pedalangan yang mayoritas dipelajarinya secara otodidak. Ia juga belajar, antara lain, pada dalang Ki Pujosumarto dan Ki Wignyo Sutarno.
Terus berkembang, Narto Sabdo pun menerima job pentas wayang kulit dari berbagai pihak atau biasa disebut ”nanggap”. Dhanang menuturkan, Sastrosabdo mengizinkan Narto Sabdo mengambil job selama itu dilakukannya setelah pertunjukan Ngesti Pandowo selesai.
Lewat kemampuan mendalang yang semakin terasah, nama Nartoabdo kian masyhur. Berbeda dengan sebagian besar dalang saat itu yang ajek pada pakem, pertunjukan Narto Sabdo lebih lentur. Ia pun dikenal akan banyolannya pada setiap pentas. Namun, rupanya gaya tersebut yang ditunggu-tunggu penonton. Pertunjukan begitu hidup dan tak membuat kantuk.
Baca juga: Pentas Wayang Kulit Pandemi di Atap Sekolah
Ia pun berperan membuat seni pertunjukan wayang kulit lebih profesional, dalam artian, terbentuk standar bayaran uang dalam sekali pentas. Dalam arsip Kompas, 23 Februari 1971, disebutkan Narto Sabdo ialah dalang terkaya di Indonesia. Ia memiliki gamelan dan wayang sendiri, serta kendaraan untuk transportasi. Saat itu ia biasa menerima imbalan Rp 500.000.
Narto Sabdo juga mampu menyesuaikan diri di mana pun dia tampil, termasuk dengan gaya Solo ataupun gaya Yogyakarta, yang sejatinya berbeda. Saat bermain di daerah Yogyakarta, ia biasa mengenakan surjan dan belangkon dengan mondol. Di Solo, dia memakai beskap dengan belangkon tanpa mondol. Di tempat lain, terkadang ia mencampur kedua gaya daerah itu.
”Ki Narto Sabdo menguasai dua gaya itu. Namun, dia juga sering tampil dengan gending-gending gaya semarangan dengan pelog tinggi. Lewat humornya, dia juga mampu menghidupkan keakraban antara dalang dan penonton. Sebelumnya, wayang kulit tak boleh ada guyonan,” ujar Guru Besar Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang (Unnes) Teguh Supriyanto.
Teguh menyebut Narto Sabdo sebagai dalang pembaru yang tak hanya memahami pakem, tetapi juga menguasai pengetahuan-pengetahuan di luar pakem, termasuk terkait sosial politik. Guyonan-guyonan yang disampaikannya dalam pertunjukan terkadang berisi program-program pemerintah, juga aspirasi-aspirasi pembangunan.
Popularitas Narto Sabdo mencapai puncaknya pada 1970-an. Pada Selasa 20 November 1979 malam, misalnya, Balai Sidang Jakarta ramai disesaki ribuan pengunjung yang menyaksikan Narto Sabdo mendalang dengan lakon ”Nawa Suci”. Awalnya jumlah pengunjung dibatasi. Massa di luar gedung pun protes hingga akhirnya pintu dibuka (Kompas, 22 November 1979).
Di balik ketenarannya, karena sering melucu, ia juga kontroversial. Sejumlah dalang wayang kulit lain pada masa itu menilainya telah menyimpang dari pakem. Meski demikian, ada juga suara-suara dari pencinta wayang yang tak mempermasalahkan hal tersebut. Pasalnya, apa yang dilakukan Narto Sabdo merupakan bagian dari perkembangan.
Narto Sabdo sendiri kepada Kompas menyangkal bahwa dirinya menyimpang dari pakem. ”Saya malah membuat banjaran, kisah dari lahir sampai rampung seorang tokoh, seperti Adipati Karno, Bima, Gatotkaca, menurut pakem. Saya tidak melucukan apa yang tidak pantas lucu,” ujarnya (Kompas, 8 Oktober 1985).
Produktif
Berakar dari seni karawitan, Narto Sabdo, yang dinobatkan sebagai ”Dalang Kesayangan” pada 1978, juga pengarang gending yang sangat produktif, karyanya mencapai ratusan. Wayang kulit yang ia sajikan ialah terjemahan dari wayang orang, dengan media suara yang cukup dominan. Pada era Ki Narto Sabdo, media elektronik, dalam hal ini kaset, amatlah kuat.
Terbuka terhadap perkembangan, musik-musik gubahannya pun beragam. ”Salah satunya, beliau mengadopsi ritme dangdut sehingga muncul lelagon dangdut. Terkadang gending-gending lama atau tradisi itu diubah menjadi gending-gending pakeliran untuk mengiringi wayang kulit. Banyak hal yang dilakukannya,” ujar Dhanang.
Baca juga: Melahirkan Generasi Dalang Wayang Kulit lewat Festival
Sementara itu, Teguh mengatakan, Narto Sabdo tidak hanya menguasai dialog dan gending, tetapi juga satu kesatuan utuh dalam pertunjukan wayang kulit, termasuk tata panggung. Artinya, ia mampu mengemas sedemikian rupa sehingga membuat pertunjukan benar-benar patut dinikmati, termasuk mampu mendalang baik di depan maupun belakang kelir.
Dalang muda asal Kabupaten Semarang, Endy Wahyu Nugroho, menuturkan, Ki Narto Sabdo ialah guru serta empunya pedalangan dan karawitan. Pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan dunia pedalangan wayang kulit, termasuk bagi para dalang generasi penerus. Sebab, gending-gendingnya banyak dipakai oleh dalang era sekarang.
”Baik itu gending untuk pakeliran, untuk dolanan, maupun lagu-lagu untuk goro-goro. Di samping itu, Ki Narto Sabdo berperan memadukan gagrak Yogyakarta dan gagrak Surakarta sehingga menjadi gaya semarangan,” kata Endy.
Narto Sabdo juga mendirikan kelompok karawitan di Semarang bernama Condong Raos yang elemen utamanya ialah pengrawit dari Ngripto Laras, Gombang, Boyolali. Satu rumahnya dijadikan semacam pedepokan. Di situlah tempat berkumpulnya orang-orang yang mau menyatukan rasa. Mereka cocok satu sama lain.
Pada 7 Oktober 1985, di rumahnya Jalan Anggrek X/7 Semarang, pukul 07.45, Narto Sabdo meninggal dan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota, Semarang, pada siangnya. Ia meninggalkan istri bernama Tumini. Beberapa bulan sebelumnya, ia memang sudah sakit. Namun, pentasnya di kantor gubernur, Semarang, pada 16 September 1985, masih bisa membuat para penonton terpingkal-pingkal.
Kepergian Narto Sabdo menjadi kehilangan besar bagi dunia pedalangan, tetapi bukan berarti berhenti. Setelah jalan dibuka olehnya, ada nama tenar, yang mendapat pengaruh Ki Narto Sabdo tetapi memiliki gaya sendiri. Sebut saja Ki Anom Suroto dari Klaten dan Ki Manteb Soedharsono dari Sukoharjo, atau yang lebih muda seperti Ki Seno Nugroho (alm) dari Yogyakarta.
Menurut Teguh, para dalang ternama setelah era Ki Narto Sabdo mampu tampil seperti sang maestro, tetapi khusus pada bagian-bagian tertentu. ”Misalnya Ki Anom pada Baladewo, sedangkan Ki Manteb pada buto. Sementara Ki Joko Hadiwijoyo pada bagian ontowecono. Namun, secara utuh, belum ada yang bisa menyamai Ki Narto Sabdo,” katanya.
Setelah patung di Taman Ki Narto Sabdo, Klaten, dan Taman Budaya Raden Saleh, Semarang, kini akan bertambah satu lagi di Jalan Pemuda, Semarang, tepatnya di Simpang Jalan Agus Salim atau dekat Pasar Johar. Patung itu dipesan langsung Jaya Suprana, yang merupakan pianis, komponis, musisi, dan budayawan yang juga salah satu tokoh kelompok usaha Jamu Jago.
”Itu sebagai penghormatan karena Pak Jaya Suprana pernah belajar pada Ki Narto Sabdo. Nanti peresmiannya akan difasilitasi Pemerintah Kota Semarang pada minggu ke-3 atau ke-4 Maret 2021,” kata Manajer Event dan Promosi Jamu Jago Aries Rahardjo.
Sebagai dalang pembaru yang berpengaruh besar pada dunia pedalangan saat ini, Ki Narto Sabdo mewariskan pakem yang ia ciptakan sendiri dengan sentuhan humor dengan tanpa mengubah esensi dari nilai tradisi wayang kulit itu sendiri. Di tengah era yang semakin modern, menjadi tantangan bersama untuk merawat dan menghidupkan apa yang diwariskan oleh sang maestro.