Cawan Akulturasi Empat Negeri
Kota Semarang, dalam sejarahnya, menjadi titik lebur budaya empat negeri, yakni Jawa, Arab, Tionghoa, dan Belanda. Tak hanya arsitektur, perpaduan seni, budaya, dan akulturasi juga telah mewujud dalam napas hidup masyarakat. Roh toleransi yang terus dirawat bersama tarikan napas kultur pesisir.
Sejumlah perempuan remaja sedang menari gambang Semarang di Pendopo Sobokartti, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (13/12/2018). Gerak tangan, kaki, dan pinggul mereka bergoyang rancak mengikuti irama musik berlanggam pop keroncong.
”Gambang Semarang adalah kesenian akulturasi etnis Tionghoa dan Jawa. Aslinya perpaduan tari, gamelan dan nyanyian. Lazimnya ditarikan empat orang,” tutur budayawan Semarang, Djawahir Muhammad.
Menurut Djawahir, gambang Semarang mengandung instrumen Tionghoa, yaitu alat musik gesek konghayan atau tohyan dan alat musik Jawa berupa kendang, bonang, kempul, gong, suling, kecrek, dan gambang.
Di era modern, gambang Semarang tak mati, tetapi justru berhasil menjadi salah satu ikon produk budaya. Instrumennya jadi musik wajib nan setia menyambut penumpang yang datang di Stasiun Tawang dan Poncol, Semarang.
Menurut Djawahir, akulturasi budaya, seperti yang mewujud dalam seni gambang Semarang, mesti dilihat sebagai kesenian multikultural pemersatu dan simbol perpaduan dua elemen budaya. Hal ini menjadi sumbangan modal sosial yang sangat berharga bagi kesatuan bangsa.
Dalam sejarahnya, gambang Semarang diadaptasi dari gambang kromong di Batavia (Jakarta). Diawali saat anggota Volkstraad (Dewan Rakyat), Lie Hoo Soen, yang membeli seperangkat alat musik gambang kromong.
Pemain dan penyanyi seperti Jayadi, Mpok Neny, dan Mpok Royom ikut memperkenalkannya pertama kali pada 1932 di pelataran Kelenteng Tay Kak Sie, di Gang Lombok, kawasan Pecinan.
Setelah itu, gambang Semarang semakin diminati dan tumbuh menjadi produk seni rakyat mewakili jiwa orang pesisir yang terbuka dan penuh canda.
Akan tetapi, kelompok seninya pernah mengalami fase-fase sulit periode 1980-2000-an. Beberapa kelompok dilanda masalah kehilangan pemain karena jarang regenerasi, minim dana, dan minat masyarakat Kota Semarang yang mulai menurun. Baru sekitar tahun 2003, kesenian ini mulai dibangkitkan lagi. Salah satunya dengan kembali memupuk cinta generasi muda pada kesenian ini.
Ruang yang sama
Tjahjono Rahardjo, pemerhati sejarah sekaligus pengurus Sobokartti mengatakan, sama seperti gambang Semarang, Sobokartti juga pernah mati suri. Padahal, bangunan ini memiliki sejarah berharga, meninggalkan cinta dari masa Belanda.
Pada 1920, arsitek Belanda, Thomas Karsten, yang bersahabat dengan Raja Mataram, Amangkurat VII, menginisiasi pembangunan gedung kesenian rakyat Sobokartti.
Tujuannya supaya secara periodik ada pementasan seni tari dan menjadi sarana hiburan bagi masyarakat. Gambang Semarang dulu sering dipentaskan di sini.
”Desain ruang Sobokartti mirip gedung pertunjukan teater atau seni di Eropa. Tempat duduk melingkar semakin tinggi di bagian ujungnya. Kala itu, penonton diminta tertib seperti kebiasaan orang Eropa. Suasananya hening,” ujar Tjahjono.
Tjahjono mengatakan, gambang Semarang menegaskan proses akulturasi budaya telah menjadi napas kota. Tidak ada satu etnis mengklaim paling berhak atas Semarang.
Rasa saling menghargai, toleransi, dan saling membantu itu, menurut Tjahjono, tumbuh dari kesamaan nasib. Permukiman etnis Jawa, Tionghoa, dan Arab berada di luar kompleks Belanda.
Kondisi itu terlihat jelas saat menyusuri permukiman asli Semarang di sekitar Kota Lama yang menjadi pusat bisnis Hindia Belanda pada abad ke-19.
Kelenteng Tay Kak Sie di Pecinan dikelilingi permukiman warga Suku Jawa. Kelenteng ini juga berdekatan dengan Masjid Besar Kauman. Kauman, dulunya menjadi pusat bisnis kalangan etnis Arab yang sekarang menjelma menjadi pusat grosir busana Muslim dan toko penyedia keperluan ibadah umat Muslim.
Akulturasi di Semarang juga mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Jejaknya bisa ditilik dari kehidupan para pedagang di Pasar Baru, Pecinan. Pasar yang konon sudah ada sejak abad ke-16 ini menempati lorong sepanjang 350 meter di pusat bisnis kaum Tionghoa. Namun, bukan berarti pasar itu menjadi monopoli etnis tertentu. Semua kalangan punya ruang dan kesempatan sama.
Berbagi
Sofia (60), pedagang buah asal Bangetayu yang sudah lebih dari 25 tahun berjualan pisang di Pasar Baru, mengaku tidak memiliki los atau kios. Namun, dia sudah nyaman mendapat tempat berjualan di emperan salah satu kios gerabah milik Cik Haka, warga Tionghoa. Di emperan yang sempit dan agak tertutup itu ada pula pedagang sayuran.
”Saya generasi kedua yang berjualan di pasar ini, sebelumnya emak saya. Lokasinya juga di emperan ini. Saya jualan berbagai jenis pisang, saya senang saja jualan di emperan. Malahan, pisang saya bisa cepat laku dibandingkan gerabah milik engkong,” ujar Sofia.
Sejarawan Semarang, Jongkie Tio, menilai, Pasar Baru juga merupakan pasar pembauran. Saat pasar mulai sepi, para pedagang berbeda etnis biasa saling berbincang tentang hal-hal keseharian.
Tak jarang, orang Tionghoa pemilik toko atau kios membantu membeli sayur atau buah dari pedagang pribumi yang tidak habis terjual.
Menurut Jongkie, jejak-jejak persilangan budaya antaretnis yang tumbuh alami di Semarang turut berdampak pada kehidupan warga. Nyatanya, Semarang merupakan salah satu wilayah yang jarang dilanda konflik antaretnis.
Toleransi juga mewujud dalam tradisi keagamaan dan kuliner. Sejak awal abad ke-19, setiap merayakan Idul Fitri, baik warga pribumi maupun Arab biasa bersilaturahmi, meminta maaf sambil berbagi ketupat bersama opor ayam ke rumah-rumah tetangga.
Dari tradisi ini, warga Tionghoa lalu terpikir untuk membalas kebaikan warga Muslim saat mereka merayakan tahun baru Tionghoa atau Imlek.
Dari situ, muncul masakan lontong cap go meh. Ketupat dibentuk bulat-bulat yang melambangkan bulan purnama. Lontong itu kemudian dihidangkan dengan 12 macam makanan pendamping.
Orang Tionghoa Semarang biasa mengantarkan lontong cap go meh ke para tetangga Muslimnya. Campuran hidangan dalam sepiring lontong cap go meh melambangkan harmonisasi yang harus dimakan dalam satu kesatuan.
”Bagi orang Tionghoa, ketupat opor ayam itu kakeknya dan lontong cap go meh adalah cucunya. Begitulah kebersamaan dalam pembauran menembus ke beragam hal, termasuk kuliner,” ujar Jongkie.
(Winarto Herusansono)