Mendorong Transparansi Keuangan Partai Politik
Ketika pintu legislasi telah tertutup, pintu masuk untuk mendorong transparansi keuangan partai adalah diskresi. Kunci untuk membuka pintu ini adalah keberanian/progresivitas penyelenggara pemilu.
Kebutuhan akan uang untuk mendanai aktivitas politik merupakan suatu keniscayaan. Partai politik sebagai mesin politik utama hanya dapat beroperasi apabila didukung oleh keuangan yang memadai.
Meski begitu, bak pisau bermata dua, uang juga dapat menjadi tantangan bagi partai politik. Uang dapat mengubah partai politik yang merupakan wadah kepentingan publik menjadi wadah oligarki.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Karena itu, membicarakan keuangan partai politik bukan saja penting dari aspek kecukupannya, melainkan juga dari efek yang bisa ditimbulkan. Transparansi ialah satu institusi yang dapat menjaga agar uang tidak menggeser partai politik dari khitahnya.
Uang dapat mengubah partai politik yang merupakan wadah kepentingan publik menjadi wadah oligarki.
Pintu transparansi menuju 2024
Transparansi keuangan partai politik sebenarnya bukan isu baru di Indonesia. Advokasi untuk mendorong transparansi keuangan partai politik telah menjadi agenda masyarakat sipil setidaknya sejak dimulainya era reformasi.
Sayangnya, perwujudan ide transparansi keuangan partai berjalan lambat karena pada akhirnya ada ketergantungan yang besar pada proses legislasi. Proses legislasi, sebagaimana diketahui, adalah domain para ”wakil partai” yang menduduki kursi DPR.
Baca juga: Reformasi Keuangan Partai
Terakhir kali proses legislasi membuahkan hasil adalah lebih dari 10 tahun lalu ketika Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengalami perubahan. Prinsip transparansi pengelolaan keuangan partai politik berhasil masuk dalam undang-undang ini melalui rumusan Pasal 39.
Pasal 39 tersebut menyebutkan bahwa ”pengelolaan keuangan partai politik dilakukan secara transparan dan akuntabel”. Namun, prinsip ini belum didukung kejelasan untuk diimplementasikan (belum ada standar prosedur, mekanisme kontrol, sanksi, dan seterusnya) sehingga muncul kebutuhan untuk kembali menyempurnakannya.
Naas, setelah lebih dari 10 tahun, penyempurnaan yang diharapkan itu masih juga harus menunggu, setelah tahun lalu (2021) DPR dan pemerintah gagal mengegolkan paket undang-undang politik (terdiri dari UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Parpol). Padahal, tahun-tahun terakhir menuju 2024 pasti akan menjadi masa di mana aktivitas politik sangat masif mengingat tidak saja keserentakan pilpres dan pileg yang harus dihadapi, tetapi juga pilkada di ratusan daerah. Terbayang, perputaran uang untuk mendanai keriuhan politik musim ini mungkin juga akan menjadi yang terbesar dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya, dan demikian pula halnya dengan potensi transaksi politik ilegal.
Jika menjelang 2024 prinsip transparansi keuangan partai dapat sedikit saja lebih diapresiasi, tentu masuk akal untuk menduga bahwa potensi transaksi politik ilegal akan teredusir karena semakin sulit berada di bawah banyak mata yang mengawasi, yang memiliki dasar perhitungan yang jelas (laporan keuangan, daftar penyumbang beserta sumbangannya, dan seterusnya). Juga, ini akan menjadi petunjuk bagi pemilih tentang siapa sponsor-sponsor di belakang partai dan seberapa besar potensi pengendalian mereka atasnya.
Baca juga: Korupsi dan Problematika Internal Partai di Indonesia
Pertanyaannya tinggal, jika pintu legislasi untuk mendorong transparansi keuangan partai telah tertutup, lantas pintu apa lagi yang masih terbuka saat ini ketika Pemilu dan Pilkada 2024 kian dekat di depan mata? Jawabannya tidak lain adalah diskresi, yang bukan lagi disandarkan pada kehendak DPR dan presiden selaku pembentuk undang-undang, melainkan menjadi domain dari para penyelenggara pemilu.
Tuntutan etis dan progresivitas
Diskresi, atau kadang disebut freies ermessen, adalah kebebasan atau keleluasaan bertindak administrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan (Saut P Panjaitan, 1991).
Dalam konteks mendorong transparansi keuangan partai politik, rangkuman kondisi saat ini jelas memberi landasan diskresi bagi penyelenggara pemilu. Diskresi ini bahkan bukan sekadar inisiatif demi menjalankan amanat UU Partai Politik, melainkan lebih dari itu, demi menegakkan mandat konstitusi. UUD NRI 1945 memandatkan agar pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 22E Ayat 1 UUD NRI 1945). Dua asas yang disebutkan terakhir, setidak-tidaknya berpotensi tercederai manakala keuangan partai politik terus dibiarkan berada di ruang gelap tanpa transparansi.
Sementara pintu masuk transparansi keuangan partai dalam waktu dekat adalah diskresi, dan kunci untuk membuka pintu ini ialah keberanian atau progresivitas. Progresivitas penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar. Minimal, penyelenggara pemilu berani menjadikan informasi terkait keuangan partai (termasuk dana kampanye) sebagai konten yang rutin disampaikan kepada publik sehingga menjadi jelas partai mana yang siap dengan keterbukaan dan sebaliknya.
Progresivitas semacam itu tentu bukan takaran yang terlalu tinggi bagi penyelenggara pemilu. Sebelumnya, penyelenggara pemilu pernah mengambil langkah progresif yang bahkan jauh lebih mencengangkan, yaitu pada 2018 ketika KPU coba melarang mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi menjadi caleg. Meski upaya tersebut akhirnya gagal, progresivitas itu menandai bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu menyadari betul tugas etisnya untuk menciptakan pemilu berintegritas. Tugas ini juga adalah satu alasan pentingnya mendorong transparansi keuangan partai politik.
Baca juga: Bagaimana Anak Muda Memandang Partai Politik?
Kesimpulan
Jalan berliku mendorong transparansi keuangan partai politik adalah konsekuensi logis dari kekuatan modal yang telanjur mencengkram institusi ini. Transparansi jelas mengganggu potensi pengendalian pemodal atas institusi yang nantinya akan mengirim perwakilan ke DPR, ke kursi pemerintahan, dan seterusnya. Karena itu, pintu masuk utama untuk ide transparansi (baca: legislasi) hanya boleh terbuka beberapa senti untuk seolah-olah terlihat menjamin, tetapi muskil terimplementasi.
Meski usaha untuk mendobrak pintu legislasi pada akhirnya harus terus dilakukan, peluang terdekat untuk mendorong transparansi keuangan partai melalui diskresi sebaiknya juga tidak diabaikan. Momentum menyambut pemilu dan Pilkada Serentak 2024 adalah kesempatan bagi penyelenggara pemilu untuk mengambil inisiatif tersebut.
KPU dan Bawaslu, dengan penggawa-penggawa barunya yang sesaat lalu dilantik, membawa harapan publik untuk keberhasilan misi ini. Jangan sampai nanti dunia menilai demokrasi elektoral Indonesia – yang katanya adalah salah satu yang terbesar – ternyata tidak lebih dari sekadar perang antar-pemodal gelap yang sama-sama ingin melanggengkan kepentingannya.
Sahel Muzzammil, Peneliti Transparency International Indonesia