Dalam negara demokrasi konstitusional, gugatan/penolakan atas sebuah produk undang-undang adalah hal wajar. Namun, ketika gugatan-gugatan itu terjadi secara berulang-ulang, ini menunjukkan bahwa proses legislasi buruk.
Oleh
AHMAD FARISI
·3 menit baca
Sejumlah masyarakat sipil ramai-ramai mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Yang kini ramai digugat adalah UU Ibu Kota Negara baru. Sejak disahkan pada Januari hingga April 2022, sekurang-kurangnya ada empat permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya pun beragam, dari seorang guru, warga adat, hingga akademisi.
Sebelum UU IKN, ada pula UU Cipta Kerja yang juga ramai menuai gugatan—yang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) kini diputuskan ”inkonstitusional bersyarat”. Bahkan, bukan hanya ramai digugat, melainkan juga ramai ditolak sejak dalam pembahasan. Para mahasiswa, buruh, dan elemen-elemen masyarakat lainnya turun ke jalan, melakukan demonstrasi, menolak UU Cipta Kerja.
Dalam negara demokrasi konstitusional, gugatan/penolakan atas sebuah produk undang-undang adalah hal wajar. Sebab, memang tidak mungkin sebuah produk undang-undang dapat menampung dan mengakomodasi semua aspirasi dan kepentingan masyarakat sepenuhnya. Karena itu, adanya gugatan yang dilayangkan masyarakat ke MK adalah sebuah keniscayaan.
Akan tetapi, ketika gugatan-gugatan itu terjadi secara berulang-ulang, ini bukan lagi wajar. Ini menunjukkan bahwa proses legislasi kita bekerja dengan buruk. Adanya banyak gugatan yang dilayangkan ke MK itu memberi tahu kita bahwa proses legislasi kita tidak mampu menghasilkan produk undang-undang yang berkeadilan bagi dan/atau untuk semua.
Alih-alih menghasilkan produk hukum yang berkeadilan untuk semua, dengan adanya banyak gugatan yang diajukan ke MK itu, kita bisa memahami bahwa yang justru dihasilkan DPR-pemerintah adalah sejumlah produk undang-undang yang bermasalah dan tidak sesuai dengan semangat konstitusi. Inilah wajah buruk legislasi kita yang tak bisa dinafikan dan ditutup-tutupi.
Di satu sisi, berbagai gugatan atas produk undang-undang yang dilayangkan ke MK itu memang memperlihatkan fase baru kesadaran hukum publik. Akan tetapi, jika itu terjadi secara berulang-ulang, ini sebenarnya adalah alarm bahwa sejauh ini DPR-pemerintah tidak berhasil membentuk undang-undang yang berkeadilan sehingga hasilnya pun menuai gugatan.
Memaksimalkan partisipasi publik
Jika ditelisik lebih jauh, semua ini terjadi tak lepas dari sikap DPR-pemerintah yang terlalu terburu-buru dalam kerja-kerja legislasi. Sudah begitu, pembahasannya tidak transparan dan publik pun tidak diikutsertakan. Putusan MK No 91/PPU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena minim partisipasi publik adalah contohnya.
Perintah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk melibatkan publik tidak dijalankan dengan baik. Bahkan, banyak penyelewengan yang dilakukan. Ayat demi ayat hukum bukan lagi dibentuk berdasar semangat Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi, melainkan oleh kemauan politik elite.
Ayat demi ayat hukum bukan lagi dibentuk berdasar semangat Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi, melainkan oleh kemauan politik elite.
Karena itu, demi menghasilkan produk legislasi yang bermartabat, ke depan kerja-kerja legislasi harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang ada: memaksimalkan partisipasi publik dan mendengarkan aspirasinya. Tanpa adanya kemauan untuk memaksimalkan partisipasi publik, sulit untuk memperbaiki wajah buruk legislasi kita.
Artinya, kritik, masukan, dan aspirasi publik yang selama ini mengiringi dan mewarnai proses legislasi kita jangan hanya dianggap sebagai angin lalu; terima itu semua sebagai kritik konstruktif; kritik dan masukan dari publik yang ditujukan untuk memperbaiki kerja-kerja legislasi kita agar mampu menghasilkan produk undang-undang yang sempurna dan tidak bermasalah.
Proses legislasi yang baik adalah yang dijalankan dengan menaati prinsip-prinsip demokrasi. Tanpa ketaatan pada prinsip-prinsip demokrasi, sebuah proses legislasi hanya akan menghasilkan undang-undang yang pincang dan tak berkeadilan. Hukum dan demokrasi adalah dua elemen yang berbeda, tetapi dalam pelaksanaannya, keduanya harus diperjalankan secara seimbang.
Seperti kata pepatah: Demokrasi tanpa hukum adalah anarki, dan hukum tanpa demokrasi adalah tirani. Jadi, jangan pisahkan proses dan kerja-kerja legislasi dari demokrasi. Lakukan secara transparan, libatkan publik, dan dengarkan aspirasinya. DPR-pemerintah jangan arogan, apalagi kebut-kebutan, proses dan kerja-kerja legislasi butuh keterbukaan dan ketulusan.
Dengan demikian, ke depan proses dan kerja-kerja legislasi mampu menghasilkan produk undang-undang yang dapat mengakomodasi hak-hak masyarakat sepenuhnya dan sejalan dengan semangat konstitusi. Tidak seperti UU IKN dan UU Cipta Kerja yang jelas-jelas banyak merugikan hak-hak konstitusional masyarakat. Wallahu ‘Alam.
Ahmad Farisi,Pengamat Politik dan Peneliti pada Akademi dan Hukum (AHP) Yogyakarta