-Putusan MK soal UU Cipta Kerja memberikan temuan hukum tak hanya pentingnya partisipasi publik, tetapi juga hak publik didengar, dipertimbangkan dan mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan oleh pemerintah.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·5 menit baca
Presiden Jokowi datang ke gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis 10 Februari 2022 untuk Sidang Pleno Khusus Penyampaian Laporan MK tahun 2021. Presiden antara lain mengatakan, “Tidak pernah terlintas dalam pikiran pemerintah sedikitpun bahwa dengan mengatasnamakan Covid-19, pemerintah dengan sengaja menempuh cara-cara inkonstitusional." Presiden berharap MK, selain memberikan kepastian hukum dan keadilan, juga memberikan solusi atas masalah bangsa dan bernegara.
Pada 25 November 2021, MK membacakan putusan uji formil UU Cipta Kerja. Putusan MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama dua tahun. Empat hakim konstitusi punya pendapat berbeda. Putusan MK bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan pukulan politik bagi pemerintah dan DPR.
Dalam sejarah MK, beberapa kali lembaga penjaga konstitusi itu mengambil putusan yang memberi solusi atas dispute di masyarakat. Misalnya, saat Mahfud MD menjadi Ketua MK, MK mengambil putusan dengan menyatakan, KTP dapat menjadi syarat memilih. Itu untuk menjawab banyaknya warga yang tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap Pemilu 2009. Pada 3 November 2009, MK memerintahkan memperdengarkan rekaman penyadapan KPK dengan sejumlah pihak. Dari rekaman sadapan itulah terbongkar mafia peradilan di Indonesia,
“Tidak pernah terlintas dalam pikiran pemerintah sedikitpun bahwa dengan mengatasnamakan Covid-19, pemerintah dengan sengaja menempuh cara-cara inkonstitusional"
Keberanian MK tergantung pada individu hakim. Hakim konstitusi yang dikonstruksikan sebagai negarawan yang menguasai konstitusi ibarat idu geni (ludah api). Apa yang dikatakannya harus diikuti warga negara. Namun, itu semua tergantung pada kualitas individu dan integritas hakim. Hakim yang bebas dari balas budi politik kepada pemerintah dan DPR. Meski diusulkan Presiden, DPR dan MA, para hakim harus punya sikap untuk membebaskan diri dari lembaga pengusulnya.
Peran sejarah MK kian diharapkan. Sejumlah undang-undang kini di tangan MK. Misalnya UU Pemilu yang mengatur soal ambang batas pencalonan Presiden dan UU Ibu Kota Negara. DPR mengamini keinginan Presiden Jokowi memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara. Waktunya terbilang singkat: hanya 43 hari.
Namun, “perlawanan” publik belum selesai. Petisi politik digulirkan melalui Change.org. Sebanyak 45 orang menjadi inisiator menolak pemindahan ibu kota negara. Dalam insiator itu terdapat nama Sri Edi Swasono, Azyurmardi Azra dan sejumlah nama lain. Hingga Kamis, 10 Februari 2022 pukul 16.00, petisi itu sudah ditanganani 25.073 orang.
Sejumlah orang mendaftarkan gugatan ke MK. Kelompok itu menamakan diri Poros Nasional Kedaulatan Negara (PPKN) yang beranggotakan politisi, maupun purnawirawan TNI. Publik terbelah. Bagi yang mendukung pemindahan ibu kota menganggap bahwa langkah itu adalah langkah visioner Presiden. Yang menolak pemindahan ibu kota dianggap terlalu Jakarta sentris. Yang menolak pemindahan ibu kota dianggap takut perubahan. Namun, sebaliknya bagi yang menolak menyebut momentum pemindahan ibu kota tidak sejalan dengan situasi ekonomi yang sedang berat.
Namun, problem utama dari pengesahan UU IKN adalah sejauh mana publik didengar? Atau publik sudah tak punya hak suara lagi karena sudah ada partai politik di DPR. Tingkat kepercayaan kepada DPR juga rendah. MK akan jadi tempat adu argumen. Respon pejabat soal gugatan uji materi UU ke MK seragam. “Jika tidak puas silakan ke MK,” begitu argumennya.
Karena itulah, sejumlah undang-undangselalu dikanalisasi ke MK. Apakah itu revisi UU KPK, apakah itu UU Pemilu yang mengatur soal ambang batas pencalonan presiden, apakah itu UU Cipta Kerja selalu dimuarakan ke Mahkamah Konstitusi. Kecenderungan itu dikenal dengan istilah “juristocracy”. Model “juristocracy” yang dimaknai sebagai pengalihan tanggungjawab masalah kontroversial dari lembaga politik ke lembaga peradilan. Tren yuristokrasi pernah disampaikan Ran Hirschl (2004) dalam Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of New Constitutionalism. Pergeseran demokrasi ke yuristokrasi sedang terjadi di negeri ini.
Mengalihkan "sengketa" politik kepada MK adalah pilihan konstitusional di negara demokratis. Sembilan hakim konstitusi akan memegang peranan lebih sentral sebagai the guardian of constitution maupun the guardian of state ideology. Kesepakatan DPR dan pemerintah merevisi UU MK dan menaikkan usia hakim konstitusi menjadi 70 tahun atau bisa menjabat selama 15 tahun, bisa saja dibaca sebagai strategi kooptasi politik untuk kanalisasi problem politik ke MK. Itulah tren yuristokrasi.
"Putusan MK soal UU Cipta Kerja memberikan temuan hukum pentingnya partisipasi publik (meaningful participation). Partisipasi publik bermakna itu dirumuskan sebagai hak publik didengar (right to be heard), hak dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explain)."
Putusan MK soal UU Cipta Kerja memberikan temuan hukum pentingnya partisipasi publik (meaningful participation). Partisipasi publik bermakna itu dirumuskan sebagai hak publik didengar (right to be heard), hak dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explain). Partisipasi publik bermakna bukan hanya sosialisasi ke kampus atau raker terbuka untuk umum yang disiarkan melalui youtube. Bahasa sederhananya pernah disampaikan Presiden Jokowi saat kampanye, “Demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya.” Sederhana.
Apakah model partisipasi publik bermakna itu sudah dijalankan DPR atau partai politik atau pemerintah? Jika publik tidak dilibatkan atau tidak merasa dilibatkan, jangan-jangan memang ada problem representasi dari partai politik kita. Partai politik seakan menjadi teralienasi dengan rakyat. Hasil survei Kompas paling tidak menunjukkan hampir 60 persen responden tidak mengetahui bahwa RUU IKN sudah disahkan harus dijawab. Partai politik dan DPR seyogyanya always connecting dengan konstituen. Perkembangan teknologi komunikasi kian memudahkan always connecting itu. Kalau tidak parpol akan kian teralienasi dengan rakyatnya dan wakil rakyat akan terasing dengan rakyat yang diwakilinya.