DPR Hormati dan Segera Tindak Lanjuti Putusan MK soal UU Cipta Kerja
DPR akan menindaklanjuti keputusan MK terkait UU Cipta Kerja. Upaya tindak lanjut putusan MK itu, antara lain, dapat dilakukan dengan merevisi pembentukan UU Cipta Kerja agar selaras dengan amar putusan MK.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Massa buruh dari berbagai elemen menggelar unjuk rasa saat menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (25/11/2021). MK memutuskan menolak gugatan atas UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh. Namun, MK menyatakan proses pembentukan UU itu tidak sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan. MK memberikan waktu kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja paling lama dalam waktu 2 tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan secara formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat. Ada waktu selama dua tahun yang diberikan Mahkamah Konstitusi kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, putusan MK itu akan ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku di DPR. ”Tentunya kami menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, kami meminta kepada masyarakat untuk bersabar, dan dipastikan DPR akan segera merespons apa yang diputuskan oleh MK,” katanya, Kamis (25/11/2021), di Jakarta.
Sementara itu, terkait dengan putusan tersebut, Badan Legislasi (Baleg) masih sedang merapatkannya dan mendalami isi lengkap putusan MK.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hendrawan Supratikno, mengatakan, putusan MK itu final dan mengikat. Oleh karena itu, hal tersebut harus disikapi oleh pembentuk UU dengan cermat. Untuk memastikan langkah selanjutnya, Baleg harus membaca lengkap terlebih dulu amar putusan MK beserta pertimbangannya.
”Putusannya, kan, baru hari ini, jadi kami belum menentukan sikap. Tetapi ini, kan, harus disikapi secara saksama karena UU ini sudah diberlakukan dan peraturan pelaksananya juga sudah banyak. Implementasinya dalam kebijakan sudah ada. Contohnya, Komisi XI sudah menyepakati pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Pada APBN 2022 sudah disiapkan penyertaan modal negara (PMN), yakni dari Rp 75 triliun sudah diberikan Rp 15 triliun pada 2021,” katanya.
Anggota Komisi XI Fraksi PDI-P DPR, Hendrawan Supratikno.
Putusan MK ini tentu akan menimbulkan dampak yang luas terhadap kegiatan ekonomi dan investasi yang sudah dipayungi dengan UU Cipta Kerja. Bagaimana kelanjutan nasib investasi dan implementasi dari program-program yang ada, menurut Hendrawan, hal itu menjadi pekerjaan rumah yang mesti dibereskan oleh pembentuk UU dalam dua tahun ke depan.
”Pemerintah dan DPR harus segera duduk bersama untuk menindaklanjuti putusan MK ini. Jangan sampai muncul ketidakpastian regulasi yang membuat dunia usaha bingung. Uncertainty is the biggest cost in economy, kata pemenang Nobel Ekonomi Paul Romer,” ucapnya.
Upaya tindak lanjut putusan MK itu pun dapat saja dilakukan dengan merevisi pembentukan UU Cipta Kerja agar selaras dengan amar putusan MK. Artinya, menurut Hendrawan, dalam dua tahun ini pembentuk UU harus bekerja ekstra keras dan serius untuk memperbaiki regulasi tersebut. ”Paling tidak, ini, kan, harus dimasukkan lagi ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) untuk dapat membuat UU,” katanya.
Upaya tindak lanjut putusan MK itu pun dapat saja dilakukan dengan merevisi pembentukan UU Cipta Kerja agar selaras dengan amar putusan MK. Artinya, dalam dua tahun ini pembentuk UU harus bekerja ekstra keras dan serius untuk memperbaiki regulasi tersebut.
Menurut Hendrawan, selain revisi UU Cipta Kerja, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga harus direvisi. Revisi ini diperlukan untuk menampung metode omnibus law dalam pembentukan UU.
Anggota Baleg dari Fraksi Golkar, Firman Subagyo, mengatakan, UU Cipta Kerja menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, tindak lanjut atas putusan MK itu segera diupayakan oleh pembentuk UU. ”Baik pemerintah maupun DPR akan merespons ini sebagai tindak lanjut putusan MK. Sebab, selama ini, UU ini sudah banyak diimplementasikan,” katanya.
Firman menilai, poin pokok yang disorot di dalam putusan MK ialah mengenai pembentukan UU Cipta Kerja, terutama dengan mekanisme omnibus law. ”Ini, kan, sebenarnya masalah formil, bukan materinya. Ke depan, jika memungkinkan, bisa saja kami yang menginisiasi revisi UU Cipta Kerja karena UU ini sudah merupakan kebutuhan,” ucapnya.
Secara terpisah, anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto, menyebutkan, dari segi formil, UU Cipta Kerja adalah ”UU sapu jagat” yang membatalkan, mengubah, menambah, dan memasukkan norma baru sekali pukul. ”UU yang kejar tayang, ngebut, tidak kenal reses, minim partisipasi publik, dan pembahasannya pindah-pindah hotel, lalu akhirnya diketok menjelang tengah malam gelap gulita,” ucapnya.
Dari segi substansi, Fraksi PKS menilai, UU ini meliberalisasi pertanian, kehutanan, perdagangan dan industri pertahanan nasional, serta mencekik buruh. ”Itulah sebabnya, setelah aktif dalam pembahasan dan menimbang manfaat dan mudaratnya bagi bangsa ini, maka PKS menolak UU Cipta Kerja. Karena PKS berpandangan, secara umum UU ini bertentangan dengan jiwa konstitusi dan lebih memihak investasi,” katanya.
Menurut Mulyanto, dengan keluarnya putusan MK, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional bersyarat, sampai diperbaiki selama dua tahun oleh pembentuk UU. Apabila tidak diperbaiki, UU ini akan menjadi inkonstitusional permanen.