Pemerintah harus membangun paradigma baru dalam melakukan pendekatan pembangunan di Papua, buang rasa superioritas seolah Papua itu ruang kosong. Pemerintah pusat harus duduk bersama para pemangku kepentingan di Papua.
Oleh
IRIANDI TAGIHUMA
·6 menit baca
Rencana pemerintah membentuk provinsi baru di Papua mengingatkan kembali bagaimana polemik dan konflik yang menyertai pembentukan Provinsi Papua Barat lebih dari 20 tahun lalu. Demonstrasi dan tuntutan dilakukan elemen mahasiswa dan masyarakat Papua sejak Keputusan Presiden Nomor 327/M Tahun 1999 mengenai pemekaran wilayah Irian Jaya menjadi tiga bagian, yaitu Provinsi Irian Jaya, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Tengah, yang merupakan realisasi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999.
Setelah UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua lahir, sayangnya pada 2003 Presiden Megawati justru menginstruksikan percepatan pelaksanaan UU No 45/1999 itu. Ini jelas bukan hasil perbedaan tafsir belaka, tetapi niatnya yang memang berbeda. Instruksi Presiden Megawati tersebut menyebabkan terjadi bentrokan antara pihak yang pro dan yang antipemekaran di Timika, bentrok yang menyebabkan terjadi korban nyawa di kedua belah pihak (majalah.tempointeraktif.com 1/9/2003).
Menanggapi instruksi Megawati, DPRD Papua melakukan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 018/PUU-I/2003 yang memberi kata akhir atas upaya judicial review atas UU No 45/1999 tentang Pembentukan Provinsi Irjabar, Irjateng, dan sejumlah daerah tingkat dua di Papua. MK menyatakan bahwa sejak berlakunya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, pemberlakuan UU No 45/1999 bertentangan dengan UUD 1945, dan UU No 45/1999 yang mengatur tentang pembentukan Provinsi Irjateng, Irjabar, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan kata lain, pemekaran Papua harus mengacu pada UU No 21/2001. Sebagai konsekuensi dari putusan MK ini, antara lain adalah batalnya pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah. Sementara Irian Jaya Barat yang sudah telanjur terbentuk tetap dibiarkan meskipun pijakan hukumnya (UU No 45/1999) sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (Pengantar Redaksi, Jurnal MK Vol I No 2 Desember 2004:5).
Otonomi khusus babak kedua
Di awal masa otonomi khusus babak kedua, pemerintah pusat menggulirkan kebijakan pembentukan tiga provinsi baru, yaitu Provinsi Papua Selatan (Ha Anim) dengan Merauke sebagai ibu kota, kemudian Ibu Kota Provinsi Papua Tengah (Meepago) akan berada di Timika, dan Ibu Kota Provinsi Papua Pegunungan Tengah (Lapago) adalah Wamena. Penamaan Provinsi Ha Anim, Meepago, Lapago yang dikaitkan dengan argumentasi adat merupakan kekeliruan fatal yang dilakukan pemerintah karena hingga saat ini belum ada satu institusi yang secara antropologis melakukan penelitian dan menetapkan wilayah adat di Papua.
Ha Anim, Meepago, Lapago sesungguhnya merupakan wilayah budaya, bukan wilayah adat. Secara adat, tiap suku memiliki nilai dan filosofi yang berbeda-beda. Penetapan wilayah adat ini dilakukan tanpa sebuah penelitian, dan penetapan ini hanya menggunakan wilayah administrasi yang dibangun oleh Pemerintah Belanda.
Ide provinsi berkonteks adat tentu akan menambah kekeliruan pemerintah dalam melakukan pembangunan di Papua dan akan semakin mengotak-ngotakkan orang asli Papua (OAP). Pengotak-ngotakan ini ibarat bom waktu yang akan melahirkan konflik horizontal di kemudian hari. Jika konsep ini terus dijalankan tanpa melakukan pendekatan untuk memahami cara berfikir OAP, peminggiran dan marjinalisasi yang ditakutkan oleh Noer Fauzi Rachman dalam artikel ”Paradigma Pembangunan Papua” (Kompas, 29/3/ 2022) bisa terulang lagi.
Pemerintah seharusnya melihat bahwa pendekatan kebijakan ”jalan sendiri” yang selama ini dilakukan selalu mendapat penolakan, dan bisa gagal. Konteks percepatan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan infrastruktur merupakan pendekatan yang berorientasi pada pasar, sementara pembangunan sumber daya manusia semakin terabaikan.
Agus Sumule, Akademisi Universitas Papua, yang melakukan analisis data Kemendikbudristek dan Badan Pusat Stastik (BPS) Papua dan Papua Barat mengemukakan, masih banyak anak Papua di tujuh wilayah adat tidak dapat bersekolah. Di wilayah Adat Domberai sebanyak 57.040 anak tidak bersekolah, di wilayah Adat Bomberai sebanyak 14.504 anak, di wilayah adat Mamta sebanyak 56.769 anak, di wilayah adat Anim Ha sebanyak 92.988 anak, di wilayah adat Meepago sebanyak 89.433 anak, di wilayah adat Saireri sebanyak 43.622 anak, dan di wilayah adat Lapago terbanyak, yaitu 100.969 anak, (Theo Kelen, 476.534 Anak di Tanah Papua Tidak Dapat Bersekolah karena Guru Minim, jubi.co.id 22/12/2021).
Pendekatan dari bawah
Hemat saya, untuk mencapai terwujudnya Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) Tahun 2022-2041, pemerintah harus membangun paradigma yang baru dalam melakukan pendekatan pembangunan di Papua. Paradigma yang saya maksud adalah membuang rasa superioritas pemerintah pusat terhadap Papua, seolah Papua adalah sebuah ruang kosong yang perlu diisi sebanyak mungkin. Pemerintah pusat mau tidak mau harus duduk bersama para akademisi, tokoh adat, tokoh agama untuk memperoleh desain pembangunan 20 tahun ke depan.
Ketimpangan pembangunan antara pembangunan infrasturktur dan pembangunan sumbe rdaya manusia haruslah seimbang, keseimbangan tersebut dapat dilakukan dengan memahami karakter kebudayaan OAP. Terkait dengan pendekatan ini, Manuel Kaisiepo dalam Menghindari Modernisasi yang Keliru (1987:89) mengungkapkan, ”Mereka harus diperlakukan sebagai subyek dengan memerhatikan pikiran dan perasaan mereka ketika kita mencoba merumuskan apa yang hendak dilakukan bagi mereka. Itu berarti konsep-konsep pembangunan model apa pun haruslah bermakna bagi masyarakat itu sendiri, berada dalam tingkat kesadarannya sehingga tanpa dipaksa pun ia akan bergerak dengan sadar untuk ikut melaksanakannya.”
Pemerintah harus membangun paradigma yang baru dalam melakukan pendekatan pembangunan di Papua.
Konsep pendekatan duduk bersama ini telah diungkapkan sejak era 1980-an hingga tahun 2012 dalam Nilai-nilai Dasar Orang Papua dalam Mengelola Tata Pemerintahan, Studi Refleksif Antropologis (2012:6) ”Pembangunan tidak semata-mata membangun infrastruktur jalan, membangun sekolah, puskemas, dan simbol-simbol pembangunan lainnya, tetapi juga harus membangun ’jiwa’ manusia Papua, yaitu membangun berdasarkan dan atau mempertimbangkan nilai-nilai masyarakat Papua. Untuk merumuskan strategi pembangunan yang berlandaskan pada nilai-nilai Papua tersebut, para pengambil kebijakan perlu memahami bahwa nilai Papua yang beraneka ragam merupakan potensi strategis untuk menopang pembangungan Papua. Nilai Papua bukan ancaman pembangunan sehingga harus diberantas, tetapi potensi yang harus dikembangkan untuk membangun Papua seutuhnya.”
Pendekatan pembangunan melalui sanggar yang ditawarkan Noer Fauzi Rachman dalam artikel ”Paradigma Pembangunan Papua” (Kompas, 29/3/ 2022) merupakan pilihan lain yang dapat menyeimbangkan pembangunan infrastruktur dan mempersiapkan sumber daya manusia Papua. Di Papua ada puluhan sanggar yang mati suri, ia akan hadir apabila ada kegiatan kebudayaan semacam festival Danau Sentani, festival Teluk Humboldt, festival Asmat, Festival Lembah Baliem. Jika sanggar-sanggar ini dirangkul dan dihidupkan, tentu akan menjadi sebuah kekuatan besar bagi pembangunan di Papua.
Membangkitkan sanggar-sanggar sebagai ruang pendekatan kebudayaan jangan lagi dipandang sebagai sebuah gerakan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah, seperti paradigma yang selama ini telah terbangun dalam kepala pemangku kebijakan yang memberanggus kelompok mambesak pada era 1980-an. Kekeliruan pemahaman ini justru menjadi sebuah jurang pendekatan pembangunan, yang saat ini berusaha dilakukan kembali oleh pemerintah lewat jargon melakukan pembangunan dengan pendekatan budaya di Papua.
Iriandi Tagihuma, Dosen Etnografi Papua pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, Papua.