Papua dan Pengabaian ”Nexus” Konflik-Pembangunan
Nexus konflik-pembangunan di Papua perlu diperkuat dengan kebijakan yang dilakukan secara konsisten dengan menekankan pada aspek kemanusiaan dan keadilan. Salah satunya penegakan hukum yang masif atas kasus korupsi.
Pembunuhan delapan pegawai perusahaan telekomunikasi, termasuk seorang anak kepala suku, dan pembacokan seorang pekerja pembangunan rumah dinas sosial di Intan Jaya oleh kelompok kriminal bersenjata menambah potret buram konflik di Papua.
Sejak pelabelan KKB sebagai teroris dilakukan oleh pemerintah pada April 2021, insiden konflik dan kekerasan justru semakin meningkat.
Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, apakah penanganan konflik dari aspek strategi keamanan sudah tepat. Kedua, mengapa kemampuan taktis KKB justru cenderung meningkat meskipun secara kuantitas jumlah mereka tidak banyak. Ketiga, bagaimana prospek otonomi khusus (otsus) jilid 2 dalam menciptakan ketertiban (order) di Papua.
Secara konseptual, upaya menangani kompleksitas Papua perlu berpijak pada nexus konflik dan pembangunan. Dalam nexus dianalisis keterkaitan dan hubungan kausalitas antara konflik dan pembangunan yang terstruktur dan bersinergi. Berdasarkan data Arm Conflict Location and Event Data Set yang diolah Centre for Strategic and International Studies (CSIS), eskalasi konflik di Papua cenderung meningkat.
Pada 2015 terjadi insiden konflik vertikal dan horizontal sebanyak 91 kasus. Pada 2019 meningkat menjadi 152 kasus dan pada 2021 sebanyak 319 kasus. Apabila dianalisis, insiden konflik yang melibatkan KKB juga meningkat secara tajam. Pada 2015 terjadi 11 kasus kekerasan, pada 2019 sebanyak 37 kasus dan 2021 sebanyak 139 kasus.
Secara konseptual, upaya menangani kompleksitas Papua perlu berpijak pada nexus konflik dan pembangunan.
Tinjau ulang strategi keamanan
Dengan meningkatnya konflik ini, apakah strategi keamanan yang sudah dilakukan tepat? Wacana penerapan darurat sipil dan militer di Papua yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengundang kontroversi.
Menko Polhukam menyatakan belum perlu diberlakukan darurat sipil atau militer di Papua dengan alasan masalah teroris di Papua bukan masalah besar karena orang-orangnya mudah teridentifikasi sebagai teroris, dan terfragmentasi dalam kelompok separatis.
Ajakan pemerintah untuk berdialog dengan mereka dan tindakan secara hukum bagi kelompok garis keras juga baru sebatas slogan.
Pernyataan itu terkesan menyederhanakan masalah dari strategi keamanan. Jika diterapkan, ini juga dinilai kurang efektif dari sudut eskalasi konflik. Menghadapi kasus ini, efektivitas strategi keamanan bisa didasarkan pada analisis Life-Cycle of a Conflict’ (Mashatt, Long and Crum, 2008).
Baca juga Revisi Otsus Papua Dinilai sebagai Bentuk Resentralisasi Kekuasaan
Eskalasi konflik seharusnya akan menurun seiring dengan intervensi, seperti melakukan ”pembangunan”, dialog atas pencapaian kesepakatan dengan KKB, seperti diupayakan saat ini. Hanya saja perlu diingat, meningkatnya konflik dan konfrontasi yang terjadi di Papua saat ini adalah ditandai dengan tidak terjadinya ”konflik berselang” (intermittent conflict), genjatan senjata, apalagi pencapaian kesepakatan (agreement).
Strategi keamanan yang perlu dilakukan adalah bukan dengan mendatangkan lebih banyak aparat TNI-Polri ke Papua karena terbukti secara linear tidak menurunkan konflik. Solusinya, meningkatkan kapasitas intelijen aparat, termasuk upaya membangun strategi dialog dengan KKB dan masyarakat.
Meski KKB embrionya dari Gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang berdiri sejak 1965, perlu dikaji secara kontinu dan menyeluruh, termasuk ”ideologi organisasi”, jumlah anggota, jaringan, serta sumber pendanaannya.
Verifikasi pemerintah bahwa anggota KKB ”tidak banyak” tidak benar. Buktinya mereka sulit ditumpas. Gerakan dan strategi perang mereka berkembang dengan sangat dinamis dan progresif, termasuk dalam aspek persenjataan dan amunisi. Kelompok ini dapat dipastikan mendapat dukungan dari ”pihak luar”.
Upaya menciptakan stabilitas keamanan di Papua memerlukan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah secara intensif. Peran pemerintah daerah untuk mengevaluasi kondisi keamanan di daerah dan mengusulkan strategi yang tepat berdasarkan klausul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 23 Tahun 1959 sangat penting.
Adapun terkait pemerintah daerah yang cenderung pasif dalam merespons konflik dan kekerasan di Papua, perlu dicarikan solusi yang integratif agar tercipta sinergi dalam mengatasi masalah keamanan di Papua.
”Nexus” konflik-pembangunan
Penerapan Otsus jilid 2 oleh pemerintah yang dianggap sebagai pendekatan soft-power untuk mengatasi instabilitas keamanan di Papua belum efektif. Paradigma konvensional pemerintah melihat gangguan keamanan di Papua sebagai akibat dari keterbelakangan ekonomi semata.
Di sinilah pentingnya upaya membangun nexus ini. Ironisnya nexus ini berhenti sebatas membangun koneksi tetapi tak menganalisis kausalitasnya. Dalam konsep ”nexus konflik-pembangunan” diperlukan dua strategi yang berbeda, tetapi dilakukan secara simultan dan terintegrasi, yaitu strategi keamanan dan pembangunan.
Dalam hal ini upaya mengatasi masalah keamanan hanya dengan mengandalkan otsus berisiko besar.
Belajar dari pengalaman otsus jilid 1, ”dibatalkannya” amanat pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, ditundanya pendirian partai lokal, dan pengabaian ekspresi simbol-simbol daerah hanya akan melemahkan strategi nexus konflik-pembangunan.
Padahal, ketiga klausul ini krusial dalam membangun kepercayaan antara pemerintah pusat dan orang asli Papua (OAP) dalam konteks HAM dan politik rekognisi. Sepertinya upaya penyelesaian masalah di Papua harus dimulai dari titik nol, apalagi jika dilihat dari strategi keamanan yang hingga kini tidak efektif dalam menangani konflik separatisme.
Dalam hal ini upaya mengatasi masalah keamanan hanya dengan mengandalkan otsus berisiko besar. Ada tiga alasan. Pertama, masih sulit diprediksi kapan masyarakat menikmati ”buah pembangunan” dari otsus, yang sering kali pemerintah gaungkan bahwa pembangunan akan mendatangkan stabilitas keamanan. Kedua, legitimasi otsus sangat lemah karena dianggap tak memperhatikan ”suara” masyarakat OAP. Akibatnya, OAP cenderung skeptis dengan narasi atas nama pembangunan.
Baca juga Amendemen UU Otsus dan Depolitisasi Papua
Desakan suara menolak otsus juga kuat yang dibarengi wacana uji materi UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi. Adapun aspek implementasinya, bayang-bayang terhadap trauma ”kegagalan” yang melihat nasib otsus jilid 1, termasuk dalam aspek sosialisasi dan monitoring, masih ada.
Dengan minimnya pengawasan; terjadi kebocoran dana otsus jilid 1 yang sangat masif yang berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan ”oknum-oknum tertentu”, termasuk upaya menciptakan instabilitas di Papua.
Adapun upaya membangun transparansi dan akuntabilitas yang dicanangkan pada otsus jilid 2 dapat terhambat oleh karena banyak pihak yang selama ini merasa diuntungkan.
Ketiga, sebagai bagian membangun nexus konflik-pembangunan, pemerintah perlu mengalkulasi dan mengantisipasi apa saja dampak keamanan terhadap implementasi otsus agar indikasi dampak negatif konflik terhadap proses pembangunan teridentifikasi dengan jelas. Sikap kritis kita diperlukan dalam melihat dinamika di Papua saat ini.
Salah satunya dengan penegakan hukum yang masif atas kasus korupsi penyimpangan dana otsus, yang sekarang terkesan senyap.
Terjadinya berbagai demonstrasi penolakan daerah otonom baru (DOB) sebagai implikasi dari amanat otsus yang merupakan jenis konflik baru dan mengancam pembangunan, tak semata-mata didasari pengabaian suara OAP atau lemahnya dalil pemekaran yang akan meningkatkan kesejahteraan.
Semua itu juga terkait dengan manuver pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan jika otsus benar-benar diterapkan secara transparan.
Oleh karena itu, nexus konflik-pembangunan di Papua perlu diperkuat dengan kebijakan yang dilakukan secara konsisten dengan menekankan pada aspek kemanusiaan dan keadilan. Salah satunya dengan penegakan hukum yang masif atas kasus korupsi penyimpangan dana otsus, yang sekarang terkesan senyap. Pengabaian nexus konflik-pembangunan, hanya akan melemahkan stabilitas keamanan dan menggagalkan pembangunan Papua di masa depan.
Vidhyandika D PerkasaPeneliti Senior Senior Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS, Jakarta