Moratorium Pemekaran Wilayah dan Konsistensi Otonomi Papua
Pemerintah memberlakukan moratorium pemekaran daerah baru, tetapi ini tidak berlaku di Papua. Namun, pemekaran daerah Papua memerlukan proses yang demokratis, sesuai aspirasi yang ”genuine” masyarakat asli Papua.

Meskipun maksudnya meningkatkan akses masyarakat pada layanan pemerintah dan bertujuan menyejahterakan masyarakat wilayah tersebut, sebuah kebijakan pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru (DOB) bisa berakhir dengan masalah.
Baru-baru ini wacana pemekaran provinsi mengemuka. Setidaknya sembilan provinsi baru disebut-sebut akan terbentuk dari pemekaran wilayah, dari mulai Tangerang Raya, Bogor Raya, Cirebon, Banyumasan, Daerah Istimewa Surakarta, Jawa Utara, Madura, Mataraman atau Jawa Selatan, sampai dengan Blambangan.
Menanggapi wacana itu, pemerintah pusat menjawab secara jelas dan tegas. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benny Irwan mengatakan tidak ada rencana untuk pemekaran wilayah provinsi atau pembentukan DOB (Kompas, 16/2/2022). Beberapa tahun lalu Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga lebih tegas menjelaskan bahwa pemerintah masih melanjutkan kebijakan moratorium atas usul pemekaran daerah baru (Kompas, 3/12/2020).
Baca juga: Antara Otonomi, Desentralisasi Asimetrik, dan Pemekaran
Alasan pemerintah pusat masuk akal. Data menunjukkan sudah ada 223 DOB yang terbentuk sejak penerapan otonomi daerah pada tahun 1999 sampai 2014. Pendapatan asli daerah (PAD) yang diperoleh DOB masih tergolong rendah. Kondisi keuangan negara saat ini belum dapat menopang kebutuhan operasional pemerintahan DOB. Fiskal nasional sedang diarahkan pada penanganan pandemi. Belum lagi prioritas strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Singkatnya, dengan alasan-alasan tersebut maka pemerintah pusat meniadakan rencana-rencana pemekaran wilayah atau pembentukan DOB.

Moratorium bukan untuk Papua
Tidak seperti menyikapi wacana pemekaran wilayah provinsi lainnya, pemerintah pusat tidak menegaskan berlakunya moratorium tersebut untuk Provinsi Papua. Justru yang sebaliknya terlihat adalah pemerintah pusat ingin mendorong pembentukan provinsi-provinsi baru di Papua.
Indikasinya beragam. Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua pada Juli 2021 jelas mengamanatkan pembentukan daerah baru di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Tidak seperti menyikapi wacana pemekaran wilayah provinsi lainnya, pemerintah pusat tidak menegaskan berlakunya moratorium tersebut untuk Provinsi Papua.
Tidak tanggung-tanggung, pemerintah pusat kemudian berencana menerbitkan empat rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur pemekaran DOB di Papua, yakni RUU Provinsi Papua Pegunungan Tengah, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, RUU Papua Barat Daya, dan RUU Provinsi Papua Selatan.
Lalu pada 28 Januari 2022, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan rencana pemekaran Papua akan terus berjalan. ”Orang boleh tidak setuju, boleh setuju, tetapi yang jelas itu sudah berdasarkan pertimbangan yang matang,” kata Mahfud.
Pada Februari lalu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga melakukan kunjungan kerja dalam rangka menginventarisasi materi dan usulan pemekaran pasca-perubahan UU Otsus Papua. Selain menemui Pemerintah Provinsi Papua, DPD juga menemui pejabat lainnya, termasuk Kapolda Papua Irjen Mathius D Fakhiri.
Berbeda dengan alasan menolak pemekaran provinsi lain, dalam pemekaran provinsi baru Papua pemerintah beralasan tentang pentingnya pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua (OAP).
Baca juga: Agenda Otonomi Daerah
Menurut pemerintah, rencana pemekaran telah memperhatikan aspek-aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.
Dari perkembangan ini, kebijakan pemerintah pusat untuk moratorium pemekaran provinsi ternyata tidak berlaku untuk Papua. Alasan yang dipakai untuk menolak pemekaran provinsi lain juga tidak berlaku untuk Papua.
Alih-alih menyerap aspirasi otonomi Papua dari bawah tentang perlu tidaknya pemekaran wilayah tingkat kabupaten dan kota (bottom up approach), pemerintah pusat justru memakai pendekatan kebijakan dari atas untuk membentuk provinsi baru (top down approach).

Suasana rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR dengan sejumlah pihak terkait pemekaran daerah otonomi baru di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Dalam audiensi tersebut, Komisi II menerima aspirasi terkait pemekaran daerah otonomi baru, yaitu Kabupaten Bogoga dan Provinsi Papua Tengah serta tentang partai lokal Papua.
Inkonsistensi otonomi Papua
Pemerintah pusat boleh saja mengklaim telah memiliki pertimbangan yang matang. Bahkan, jika klaim itu benar, pemerintah tetap tidak boleh begitu saja melakukan perubahan UU Otonomi Khusus untuk Papua. Apalagi, membentuk DOB di Provinsi Papua yang sebelumnya pernah menjadi dua provinsi tanpa proses yang sesuai semangat otonomi dalam peraturan perundang-undangan.
Bagaimana pun juga konflik Jakarta dan Papua yang diselesaikan dengan pemberian otonomi pada tahun 2001 dimaksudkan agar tata kelola pemerintahan yang semula terpusat berpindah dan menyebar ke wilayah. Otonomi juga diberikan untuk menjawab tuntutan kemerdekaan Papua yang berakar dari sejarah marjinalisasi dan pengalaman ketidakadilan sosial ekonomi yang dialami OAP di masa lalu.
Baca juga: Mengatasi Konflik Papua
Dengan otonomi diharapkan tidak ada lagi agenda-agenda politik yang dibuat sepihak oleh pusat untuk dilaksanakan oleh wilayah. Pemekaran provinsi pun demikian. Ia memerlukan proses yang demokratis. Tanpa itu maka pasti memunculkan pertanyaan. Sekadar menyebut contoh, Sekretaris Daerah Provinsi Papua Muhammad Ridwan Rumasukun mengkritik rencana pemekaran Provinsi Papua yang disampaikan delegasi DPD saat berkunjung ke Papua baru-baru ini (Abadkini, 14/2/2022).
”Pemekaran Provinsi Papua ini ide siapa di pusat? Jangan adu domba kami warga Papua dengan isu pemekaran daerah. Kami menolak pemekaran provinsi. Rakyat Papua setuju dengan pemekaran kabupaten dan kota. Dulu sudah pernah kami ajukan 29 DOB pemekaran kabupaten/kota. Sebaiknya pusat fokus saja pada 29 DOB kabupaten/kota yang pernah kami ajukan,” kata Ridwan seperti dikutip Abadkini.
Komisi I DPD Fahrul Razi akhirnya mengakui usulan pemekaran wilayah dengan membentuk provinsi baru di Papua ternyata bukan aspirasi yang genuine masyarakat asli Papua.
Kritik ini mengejutkan rombongan DPD yang tampaknya semula mengira pemekaran provinsi adalah sesuatu yang akan didukung pemerintah daerah. Usai kunjungan kerja, Ketua Komisi I DPD Fahrul Razi akhirnya mengakui usulan pemekaran wilayah dengan membentuk provinsi baru di Papua ternyata bukan aspirasi yang genuine masyarakat asli Papua (Antara, 18/2/2022). Ia kemudian menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan ulang rencana tersebut atau membatasi pemekaran wilayah pada tingkat kabupaten/kota.
Saya jadi teringat sebuah kajian yang diterbitkan oleh Kemitraan/Pokja Papua (2003) yang menyoroti pemekaran wilayah Provinsi Papua melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003. Kajian itu membenarkan perlunya pemekaran wilayah demi mengembangkan layanan pemerintahan. Namun, pembentukan DOB yang dilakukan tanpa menunggu terbentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP) memicu konflik-konflik di Papua yang berdampak pada pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Papua. Hal seperti ini tidak boleh terulang lagi.

Partisipasi dan konsultasi OAP
Seperti saya katakan, tak ada yang salah dengan wacana pemekaran provinsi. Tetapi saat wacana itu mau dijadikan kebijakan, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan usulan rakyat Papua melalui DPRP dan MRP.
MRP adalah representasi kultural OAP yang diberikan berbagai wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap berbagai hal. Dari mulai bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan DPRP, calon anggota MPR utusan daerah yang diusulkan DPRP, rancangan perdasus yang diajukan DPRP bersama-sama gubernur, hingga perjanjian kerja sama pemerintah dengan pihak ketiga yang berlaku di Papua yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua.
Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan usulan rakyat Papua melalui DPRP dan MRP.
Pemerintah harus sungguh-sungguh mempertimbangkan usulan rakyat Papua melalui masing-masing MRP. Pasal 77 UU Otsus 2001 menyatakan, ”Usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Setidaknya pemerintah harus bersama-sama MRP ‘memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang” (Pasal 76 UU Otsus).
MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang terpilih oleh anggota masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat perempuan. Sejarah perumusan persetujuan MRP dalam pemekaran provinsi dimaksudkan untuk menjamin perlindungan dan pemajuan hak-hak OAP.
MRP bertugas memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak OAP, termasuk memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya dan memberikan pertimbangan kepada pemerintahan daerah mengenai hal-hal yang terkait perlindungan hak-hak OAP.
Baca juga: Amendemen UU Otsus dan Depolitisasi Papua
Sayangnya, hal tersebut kurang dipertimbangkan. Amendemen kedua UU Otsus menghapuskan syarat persetujuan MRP dalam pemekaran wilayah, yang semula dijamin Pasal 76 UU Otsus Tahun 2021: ”Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP….” Setelah terbit UU No 2/2021 ketentuan itu diubah dengan klausul ”dapat” sehingga syarat wajib itu hilang. Bagi saya, perubahan ini jelas melemahkan semangat otonomi.
Indonesia adalah negara yang telah menjalani demokratisasi. Demokratisasi artinya desentralisasi pemerintahan melalui otonomi. Untuk Papua, otonomi itu bersifat khusus alias istimewa. Namun, apalah artinya keistimewaan itu jika akhirnya orang Papua tidak dilibatkan dalam partisipasi dan konsultasi yang bermakna.
Yoel Luiz Mulait, Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua