”Winter is Coming” dan ”Game of Thrones” dalam Kontestasi Geopolitik Global
Pesan Presiden Jokowi saat membuka Pertemuan Tahunan IMF dan Grup Bank Dunia di Bali tahun 2018 sangat relevan dengan kondisi saat ini. Presiden mengingatkan ancaman dampak kontestasi geopolitik kekuatan besar dunia.
Oleh
NGURAH SWAJAYA
·4 menit baca
HERYUNANTO
Masih segar dalam ingatan ketika Presiden Joko Widodo membuka Pertemuan Tahunan IMF dan Grup Bank Dunia di Bali tahun 2018. Beliau mengingatkan pentingnya tingkatkan kewaspadaan dan menghindari berpuas-diri, setelah keberhasilan pemulihan ekonomi global pasca-krisis keuangan 2008. Mengutip sequel film seri tahun 2018, yang kontekstual untuk kondisi saat ini, Presiden mengingatkan bahwa ”(evil) winter is coming” ketika mengilustrasikan ancaman dampak kontestasi geopolitik kekuatan besar dunia, yang dapat menjadi bencana besar, apabila tidak dikelola dan berujung kepada konflik militer, seperti dalam serial Game of Thrones.
Tidak ada yang memprediksi pandemi Covid-19 dengan dampak sosial-ekonomi yang dahsyat. Situasi yang diperparah konflik militer di Ukraina dan sanksi ekonomi yang paling masif dalam sejarah modern. Di tengah upaya global memulihkan ekonomi, kita langsung dihadapkan kepada dampak serangan Rusia, berupa kehancuran suatu negara, krisis kemanusiaan, krisis pangan dan energi, serta ancaman resesi ekonomi global yang berdampak terhadap upaya pemulihan ekonomi. Sanksi ekonomi untuk ”menghukum” agresi Rusia, justru ”memakan korban” negara-negara berkembang dan miskin, mulai dari tekanan inflasi, ketahanan pangan, energi dan keterpurukan ekonomi.
Tulisan ini tidak akan membahas perang Rusia-Ukraina, tetapi mengajak kita mencermati lagi dan mengontekstualisasi pidato Presiden RI dan pesan moral yang sangat relevan pada saat ini.
Pertama, saat pidato disampaikan, tantangan yang diprediksi antara lain, cycle 10 tahunan krisis keuangan global, dampak perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan perang dagang. Bencana pandemi Covid-19 bahkan tidak menyurutkan kontestasi geopolitik, justru diperparah dengan perang di Ukraina (Eropa) dan dampaknya yang signifikan. Meskipun konflik militer ini bukan pertama kalinya terjadi di Eropa, setelah perang dingin. Konflik militer sebelumnya di Balkan, Georgia, dan di wilayah timur Ukraina tidak dalam skala penuh dan tidak berdampak global, seperti di Ukraina.
Kedua, konflik militer di Ukraina kulminasi kegagalan diplomasi dalam mengelola kontestasi geopolitik yang berujung kepada peperangan. Hal ini telah diingatkan dalam pidato Presiden RI tahun2018. Beliau menyebutkan bahwa sesi final film Game of Thrones membawa pesan moral yang sangat kuat, yakni ”bahwa konfrontasi dan perselisihan akan mengakibatkan penderitaan, bukan hanya bagi yang kalah, tetapi juga bagi yang menang. Ketika kemenangan sudah dirayakan dan kekalahan sudah diratapi, baru kemudian kedua-duanya sadar bahwa kemenangan dan kekalahan dalam perang, selalu hasilnya sama, yaitu dunia yang porak-poranda”.
Ketiga, pidato yang disampaikan dua tahun sebelum pandemi dan empat tahun sebelum konflik militer di Ukraina mencerminkan cepatnya terjadi krisis dan besarnya magnitudo dampaknya bagi sosial-ekonomi dan perdamaian dunia, apabila tidak dikelola baik. Meskipun konflik terjadi di Eropa, dampaknya, khususnya akibat sanksi ekonomi, akan sangat masif. Setiap pihak masih tetap berusaha mencapai kemenangan, meskipun hasilnya tetap kehancuran, seperti diyakini Presiden Jokowi. Upaya menciptakan kondisi kondusif hentikan perang masih kalah riuhnya daripada narasi eskalasi agar perang tetap berkorbar, meskipun korban rakyat sipil terus berjatuhan.
Upaya menciptakan kondisi kondusif hentikan perang masih kalah riuhnya daripada narasi eskalasi agar perang tetap berkorbar.
Keempat, sejalan prinsip dalam pidato tersebut, posisi Indonesia tetap konsisten dari awal, yakni persaingan geopolitik harus dikelola melalui dialog dan tidak boleh berujung kepada konflik militer. Setiap perbedaan harus diselesaikan secara damai melalui perundingan dan diplomasi. Hal ini telah disampaikan Pemerintah RI sebelum invasi (Rusia ke Ukraina) dan ketika invasi terjadi, Presiden Jokowi langsung menyampaikan pesan ”stop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia”. Ini menjadi posisi Indonesia dan akan terus diperjuangkan dan Indonesia juga teguh dengan prinsip menentang agresi militer yang melanggar integritas teritorial suatu negara berdaulat.
Kelima, globalisasi dan keterbukaan ekonomi sejatinya memberikan keuntungan bagi semua negara. Interdependensi yang telah terbangun tidak dapat dinafikan dan kemitraan harus tetap didorong, meskipun di tengah perbedaan. Isolasionisme, unilateralisme, dan perpecahan tidak dapat terus dieksploitasi.
Ancaman konflik ini dikhawatirkan Presiden akibatnya lebih genting dari krisis-krisis keuangan sebelumnya. Bagi Indonesia, politik luar negeri bebas aktif bukan netralitas. Keberpihakan RI adalah kepada perdamaian dunia, kemerdekaan, dan keadilan sosial. Dalam kaitan ini, Indonesia akan memihak dan berperan aktif untuk menghentikan perang, menyelamatkan umat manusia, dan mendorong dialog dan diplomasi. Komunikasi juga terus dibangun oleh Menlu RI dan Presiden RI dengan pemimpin dunia dan pemimpin kedua pihak untuk menyerukan penghentian perang.