A Tony Prasetiantono -- Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
·4 menit baca
Presiden Joko Widodo berhasil menyampaikan pesan moral yang sangat kuat kepada seluruh dunia melalui Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasiona-Bank Dunia 2018 di Nusa Dua, Bali, 8-14 Oktober. Pada forum yang dihadiri 36.339 delegasi dari 189 negara tersebut, Presiden Jokowi secara kreatif menggunakan metafora film serial televisi Game of Thrones, untuk menggambarkan kondisi perekonomian dunia saat ini.
Meskipun tidak menyebut negara tertentu secara spesifik, namun Presiden Joko Widodo mengingatkan, perang dagang -yang kini mulai terjadi-, pada akhirnya akan berujung pada kesia-siaan belaka. Perang dagang adalah mubazir karena akan menyengsarakan, tidak hanya bagi pihak yang kalah, namun juga bagi pemenangnya. Semua pihak bakal menderita, sama-sama kalah, dan merana. Simulasi yang dilakukan para ekonom menunjukkan, perang dagang akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia menyusut 1 persen.
Amerika Serikat kini memang sedang menikmati kejayaannya. Pertumbuhan ekonomi 4,2 persen pada triwulan II-2018, inflasi 2,3 persen secara tahunan, dan pengangguran 3,7 persen. Meski demikian, mantan Ketua Bank Sentral AS, The Fed, Janet Yellen mengingatkan, angka pengangguran tersebut kurang riil karena banyak pekerja yang sebenarnya hanya bekerja paruh waktu, bukan penuh waktu. Jadi, sebenarnya angka pengangguran tersebut mengandung bias.
Masalah besar yang masih dialami AS adalah defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Meski berinisiatif melakukan perang dagang, defisit perdagangan AS kini justru meningkat. Selama Januari-September 2018, defisit AS terhadap China mencapai 225 miliar dollar AS atau 30 miliar dollar AS lebih besar daripada tahun lalu. Penyebabnya, penurunan ekspor AS yang disebabkan penguatan dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia, termasuk yuan. Sepanjang 2017, defisit perdagangan AS terhadap China mencapai 375 miliar dollar AS.
Jadi, sebenarnya AS sedang mengalami dilema dan paradoks. Di satu pihak, dari sisi moneter, The Fed sedang berupaya melakukan normalisasi suku bunga. Mengapa suku bunga perlu dinaikkan? Sebab, jika rezim suku bunga rendah diteruskan, AS justru akan menghadapi masalah overheating. Konsumsi masyarakat menjadi terlalu agresif yang mendorong kenaikan inflasi.
Untuk meredamnya, diperlukan koreksi berupa mendorong suku bunga ke level “normal baru”. Namun, kenaikan suku bunga ini justru menyebabkan nilai tukar dollar AS menguat terhadap mata uang seluruh dunia. Akibatnya, neraca perdagangan AS pun memburuk, defisitnya malah membesar. Dengan kata lain, perang dagang yang digelorakan Presiden Trump bakal sia-sia dan kontraproduktif.
Ketika pertumbuhan ekonomi dunia menurun 1 persen, dampaknya bisa menurunkan permintaan terhadap barang-barang AS. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi AS juga akan melemah. AS akan ikut menderita akibat kebijakan yang dibuatnya sendiri. Dalam situasi seperti ini, baik AS maupun seluruh negara lain akan sama-sama menderita.
Dalam situasi paradoks ini, AS pun bersikap gamang. Ketua The Fed berencana meneruskan rencananya menaikkan suku bunga acuan, sedangkan Presiden Trump menghendaki agar suku bunga jangan naik. Namun, The Fed adalah institusi yang independen, sehingga Presiden Trump tidak bisa mengintervensinya.
Sementara itu, isu Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) juga menarik didiskusikan di Bali. Inisiatif untuk menciptakan konektivitas (pembangunan kereta api dari China ke Asia dan Eropa) ini digagas China, tatkala Presiden Xi Jinping berkunjung ke Kazakhstan dan Indonesia (2013). Persoalan terbesarnya, kekhawatiran negara-negara yang dilalui “jalur sutera” ini akan berutang lebih banyak lagi. Bagaimana mereka kelak membayar? Apakah China bersedia menanggungnya?
Malaysia pun membatalkan jalur kereta cepat Kuala Lumpur-Singapura, dengan alasan utang pemerintahnya sudah melampaui 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Prakasra Sabuk dan Jalan digagas China sebagai upaya untuk menurunkan biaya perdagangan, sehingga menjadi lebih efisien. Namun, hal ini akan sia-sia belaka jika AS terus ngotot menggelorakan perang dagang karena dirinya merasa menderita defisit perdagangan yang terlalu besar.
Pusaran inilah yang hendak diingatkan Presiden Joko Widodo, agar disikapi dengan lebih bijaksana. Apakah rivalitas dan kompetisi yang sengit semacam ini lebih dibutuhkan dunia daripada kerja sama dan kolaborasi? Inilah pesan terpenting yang begitu menggugah kesadaran kolektif seluruh peserta pertemuan di Bali. Presiden Joko Widodo membuat metafora, bahwa jika kita tidak bisa mengelola masalah ini dengan baik, maka kita pun bakal segera menghadapi musim dingin yang mencekam (winter is coming). Dalam film seri Game of Thrones, Evil Winter digambarkan sebagai musuh bersama yang bisa meluluhlantakkan semuanya.
Pertemuan tahunan di Bali ternyata tidak hanya berhasil mendatangkan banyak delegasi dari seluruh dunia, serta komitmen investasi masuk ke Indonesia 13,5 miliar dollar AS (setara Rp 202,5 triliun). Hal yang tak kalah penting, Indonesia berhasil menyampaikan pesan moral tentang musuh bersama perekonomian dunia saat ini, yakni proteksionisme, perang dagang, dan berbagai kebijakan lain yang didesain untuk keuntungan segelintir negara kuat.
Semangat kolektivisme dalam konteks multilateralisme sudah seharusnya digalang kembali melalui momentum acara IMF dan Bank Dunia. Indonesia telah secara cerdik memanfaatkan momentum tersebut untuk memulai diskursus ini. Semoga ini bisa menjadi bola salju positif yang menyadarkan negara-negara besar untuk menahan diri dan bertindak bijak. Semua negara di dunia harus kompak bersatu untuk menghindari terjangan badai salju di musim dingin yang mencekam… *****
A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM