Komnas Perempuan mendapat mandat untuk memantau pencegahan dan penanganan tindak kekerasan seksual. Keberadaan Komnas Perempuan akan memperkuat terhadap jaminan kepastian implementasi norma yang ada di UU TPKS.
Oleh
NINIK RAHAYU
·5 menit baca
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) oleh DPR dan Pemerintah pada 12 April 2022 membawa konsekuensi transformatif tidak saja pada aspek susbtantif, tetapi juga struktur dan kultur. Undang-Undang TPKS bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual. Undang-Undang TPKS telah memuat pembaruan hukum yang progresif khususnya dalam memberikan penguatan perlindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual.
Dari aspek struktur, UU TPKS merupakan produk politik hukum yang dalam implementasinya bersifat multi stakeholder baik pada tingkat pusat maupun daerah. Koordinasi dan sinergisitas tentu menjadi kunci agar nanti peran-peran yang dijalankan tidak saling tumpang tindih, salah satunya adalah berkaitan dengan peran pemantauan.
Di dalam Pasal 83 Ayat (4) disebutkan bahwa pemantauan atas pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual dilaksanakan oleh menteri, komisi yang menangani kekerasan terhadap perempuan, hak asasi manusia, perlindungan anak dan disabilitas, serta dilaksanakan oleh masyarakat. Jika merujuk pada pasal tersebut selain kementerian dan masyarakat, maka Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah lembaga yang punya kewenangan dalam melakukan pemantauan tersebut.
Komnas Perempuan merupakan lembaga negara independen yang diperuntukkan dalam rangka penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia, khususnya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998, pada 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005.
Komnas Perempuan merupakan lembaga negara independen yang diperuntukkan dalam rangka penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia.
Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu mandat dan kewenangannya, Komnas Perempuan melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan.
Keberadaan lembaga Komnas Perempuan sebagai pemantau atas implementasi UU TPKS di UU TPKS menjadi hal menarik karena awalnya tidak muncul dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) usulan DPR maupun DIM pemerintah. Namun, seiring dengan dinamika pembahasan di DPR dan keinginan kuat untuk memastikan implementasi UU TPKS akhirnya Komnas Perempuan menjadi salah satu lembaga independen yang mendapatkan mandat pemantauan.
Pilihan tepat
Dilihat secara struktural, meski bukan mandat baru, keberadaan Komnas Perempuan sebagai lembaga pemantau terhadap pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual adalah sangat tepat. Keberadaan Komnas Perempuan akan memperkuat terhadap jaminan kepastian implementasi norma yang ada di dalam UU TPKS. Sebagai lembaga negara independen, fungsi Komnas Perempuan dapat dijalankan secara lebih fleksibel sekaligus mampu manjangkau pada kementerian/lembaga baik pusat dan daerah.
Selain itu, secara fungsional, keberadaan komnas perempuan sebagai lembaga pemantau juga memiliki aspek strategis, antara lain didasari oleh tiga alasan utama. Pertama, isu/subtansi yang diangkat dalam UU TPKS sangat berkaitan dengan tugas dan fungsi komnas perempuan sebagai organ independen yang selama ini dijalankan.
Kedua, kiprah Komnas Perempuan selama ini yang telah menunjukkan upaya penguatan-penguatan hak perempuan berbasis pada fakta lapangan dan dalam kerja-kerjanya senantiasa melibatkan jaringan masyarakat sipil dan lembaga pengada layanan yang luas. Ketiga, fungsi pemantauan atas pemenuhan hak-hak perempuan sebagai bagian dari memastikan perlindungan HAM, terutama hukum acara pidana oleh negara telah dilakukan baik pada level pusat maupun daerah. Artinya, Komnas Perempuan merupakan lembaga independen yang telah memiliki modalitas kuat melalui mekanisme, pendekatan, ataupun jejaring kerjanya.
Komnas Perempuan merupakan lembaga independen yang telah memiliki modalitas kuat melalui mekanisme, pendekatan, ataupun jejaring kerjanya.
Memastikan koordinasi dan sinergi
Dalam aspek pemantauan, hal yang menjadi kunci keberhasilan adalah memastikan koordinasi dan sinergi lembaga terkait. Mandat pemantauan UU TPKS yang diberikan kepada menteri, Komnas Perempuan, lembaga HAM lain dan masyarakat agar dioptimalkan melalui peran-peran yang tidak tumpang tindih, memiliki satu visi dan tujuan yang sama, serta mekanisme kerja yang jelas.
Hal tersebut sangat penting guna memastikan pelaksanaan pemantauan dapat dilaksanakan dengan baik, efektif, serta efisien. Setiap institusi pemantau pasti memiliki potensi yang dapat dipadukan menjadi modalitas memastikan UU TPKS tetap sesuai tujuan awalnya. Hal-hal inilah yang nanti harus menjadi poin-poin pengaturan lebih lanjut, baik melalui peraturan pemerintah maupun peraturan turunan lainnya.
Komnas Perempuan ditetapkan sebagai pemantau implementasi UU TPKS harus memastikan kerja-kerja pemantauan dapat dilakukan dengan baik di tingkat pusat sampai daerah. Koordinasi dan sinergi harus dibangun dengan pemerintah daerah dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) agar pelaksanaan UU TPKS tidak kontraproduktif.
Jaringan kerja masyarakat sipil dan lembaga pengada layanan yang selama ini menjadi mitra Komnas Perempuan adalah komponen penting dalam kerja-kerja pemantauan UUT PKS. Semua harus saling mendukung dan memiliki satu tujuan dalam memajukan dan menguatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
Dengan segala kemajuan yang ada, UU TPKS dapatlah dijadikan sebagai pilar monumental yang mendatangkan peluang sekaligus tantangan ke depan. Kita tahu dan seakan lazim terjadi, kelemahan atau problem kerap kali bukan pada perumusan formulasi undang-undang, melainkan justru memastikan implementasinya.
Formulasi yang begitu progresif pun akan mandul jika tidak didukung dengan kapasitas struktur yang berintegritas. Pentingnya pengetahuan dan kesadaran kolektif guna menyukseskan mandat UU TPKS juga menjadi hal sangat penting. Akhirnya, dengan mandat yang diberikan kepada Komnas Perempuan sebagai pemantau, semoga dapat memperkuat terwujudnya tujuan yang telah ditetapkan dalam UU TPS.