Papua dan Pembangunan
Teater pembangunan dan kekerasan berlangsung berkelindan dalam kehidupan rakyat Papua. Satu hal mendasar yang layak dipikirkan adalah desain pembangunan Papua memberi nuansa menyentuh proses rekognisi identitas Papua.
Terbitnya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Nomor 2 Tahun 2021 atas perubahan kedua terhadap UU No 21/2001 beriringan dengan disetujuinya pemekaran tiga provinsi baru di tanah Papua: Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.
Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga yang diamanatkan otonomi khusus (otsus) sebagai representasi orang Papua, mengajukan uji materi terhadap UU Otsus Jilid 2 yang dianggap merugikan kepentingan dan hak konstitusional orang asli Papua (OAP) itu.
Penolakan melalui demonstrasi terhadap pemekaran mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, Yakob Meklok dan Esron Weipsa, di kota Dekai, Kabupaten Yahukimo, pada 15 Maret 2022. Kedua korban kemudian dimakamkan di pinggir jalan atas permintaan keluarga keesokan harinya. Makam kedua korban yang meregang nyawa saat demo penolakan pemekaran daerah seolah menjadi monumen perlawanan rakyat Papua terhadap Otsus Jilid 2 dan pemekaran yang dipaksakan oleh pemerintah di Jakarta.
Asal-muasal kisruh ini adalah usaha kepengaturan negara dengan argumen memperpendek rentang kendali pemerintahan menuju kesejahteraan rakyat Papua.
Asal-muasal kisruh ini adalah usaha kepengaturan negara dengan argumen memperpendek rentang kendali pemerintahan menuju kesejahteraan rakyat Papua. Seolah tenggelam dari isu pemekaran daerah, salah satu amanat dari UU Otsus Jilid 2 yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 107/2021 adalah penyusunan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) Tahun 2022-2041. RIPPP memuat proyeksi kondisi Papua 20 tahun yang akan datang berisi arah dan strategi percepatan pembangunan Papua. Inilah dokumen teknokratik ambisius yang mencoba ”merumuskan dan menuntun percepatan kemajuan” bagi rakyat Papua.
Namun, kita lupa, lahirnya berbagai dokumen kepengaturan yang teknokratis ini pada akhirnya menenggelamkan narasi-narasi kepedihan dan getir orang Papua menghadapi masa depannya.
Filsuf Jerman, Andreas Husyeen, dengan menyentuh pernah mengatakan, the more monuments there are, the more the past becomes invisible, the easier it is to forget: redemption, thus, through forgetting. Sebuah monumen bisa bermaksud mengingatkan kita, tetapi sebuah monumen juga bisa mengelabui darah korban kekerasan dengan estetika, dengan kemegahan, yang akhirnya memuaskan kita, sampai kemudian kita tak bisa bertanya lagi, sampai kita melupakan apa sebenarnya yang ada di bawah fondasi monumen itu (Santikarma, 2003).
Baca juga: Paradigma Pembangunan Papua
Monumen-monumen kekerasan melekat dalam kehidupan sehari-hari rakyat Papua. Monumen kekerasan dan pembangunan talingkar (baca: berputar) di antara kuasa untuk mengingat dan melupakan ingatan kekerasan dan penderitaan, yang justru terkubur oleh estetika pembangunan dan kemajuan.
Latihan lain, main lain
Berbagai macam dokumen dan desain pembangunan di Papua sudah sesak dengan berbagai istilah dan konsep pemberdayaan dan kemajuan yang dibayangkan para teknokrat pembuat kebijakan. Teater pembangunan dan kekerasan berlangsung berkelindan dalam kehidupan rakyat Papua. Satu hal mendasar yang layak dipikirkan adalah desain atau dokumen pembangunan Papua sering kali kering dan tak memberikan nuansa terhadap proses rekognisi identitas Papua.
Rekognisi yang saya maksudkan adalah usaha untuk mendalami serta menggumuli bagaimana orang Papua memahami dirinya hari ini, bagaimana mereka berelasi dengan alam dan leluhur, bagaimana solidaritas dan kebersamaan, dan bagaimana mereka mengartikulasikan diri dan kedaulatan mereka.
Tentu kita tahu bersama bahwa pembangunan Papua tidak berada di ruang kosong, ia penuh berbagai macam kepentingan. Jika mengikuti diskusi di para-para (tempat berkumpul) rakyat Papua, kita akan akrab mendengar istilah ”latihan lain, main lain” untuk menunjukkan kecanggihan menipu dan ketidakkonsistenan peraturan atau desain pembangunan yang diproduksi dengan praktiknya di lapangan. Pro-kontra Otsus Jilid 2 dan kisruh pemekaran Papua merupakan representasi latihan lain, main lain itu. Pemekaran daerah yang sebelumnya harus disetujui MRP dan DPRP, sekarang ditambah bisa juga dilakukan oleh pemerintah pusat dan DPR.
Dokumen-dokumen pembangunan dan pemekaran Papua adalah proyek ambisius, tetapi nir-rekognisi terhadap pergumulan kekerasan dan penderitaan rakyat Papua. Hal itu ditunjukkan dalam artikel Noer Fauzi Rahman, ”Paradigma Pembangunan Papua” (Kompas, 29/3/ 2022). Meski terkesan emansipatif dan ”memajukan” manusia Papua, basis argumentasinya sangat kering dengan konteks kuasa, kekerasan, dan penjajahan yang dialami rakyat Papua. Inilah praktik artikulasi akademik dan kebijakan tercanggih dari penggunaan pengetahuan demi kekuasaan, bukan untuk pembebasan kemanusiaan (rakyat Papua).
Dokumen-dokumen pembangunan dan pemekaran Papua adalah proyek ambisius, tetapi nir-rekognisi terhadap pergumulan kekerasan dan penderitaan rakyat Papua.
Orientasi-orientasi Papua
Saya mengajukan paling tidak tiga konteks penting yang perlu kita gumuli untuk membongkar pemahaman kita dalam melihat pembangunan Papua. Pertama, perlu dipikirkan kembali konteks historis dan alam berpikir (kosmologi) rakyat Papua yang berpikir apakah Pemerintah Indonesia penjajah atau pembawa emansipasi terhadap rakyat Papua? Pembangunan yang masuk ke seluruh pelosok tanah Papua berlandaskan perspektif kolonialistik (menjajah) yang diskriminatif dan rasis serta tanpa merekognisi identitas Papua.
Kegagalan merekognisi identitas Papua, ditambah lingkaran kekerasan tiada henti, justru semakin menjauhkan cita-cita Presiden Soekarno untuk membebaskan orang Papua dari imperialisme Belanda ketika mengumandangkan Trikora. Pembangunan yang dibayangkan sebagai ”pemberdayaan” menuju kemajuan justru akan dipandang sebagai ideologi yang menjajah orang Papua itu sendiri (Giay, 2000: 68).
Baca juga: Pemerintah Sebut Survei Menunjukkan 82 Persen Rakyat Papua Meminta Pemekaran Wilayah
Konteks kedua, rekognisi terhadap memoria passionis (ingatan kekerasan dan penderitaan) yang membadan dan hidup dalam keseharian rakyat Papua.
Ingatan kekerasan dan penderitaan bagai spirit yang sangat penting dalam merumuskan identitas Papua itu sendiri. Ingatan penderitaan adalah jenis ingatan yang ”berbahaya” dan ”subversif” karena mampu mengguncangkan status quo kekinian dan menyingkapkan banalitas keadaan sekarang yang sudah ditelan mentah-mentah.
Ingatan kekerasan dan penderitaan tak sekadar berbahaya, tetapi berkaitan juga dengan harapan ke masa depan. Relasi ingatan kekerasan dan penderitaan dengan identitas Papua adalah bagaimana rakyat Papua merumuskan dirinya bergumul dengan ingatan penderitaan pada masa lampau, masa kini, dan masa depan (Hernawan, 2021: 335).
Konteks ketiga yang tidak kalah penting adalah reduksi dan simplifikasi terhadap kebudayaan dan identitas Papua. Hal ini merupakan warisan kajian antropologi kolonial terhadap Papua yang menggoda kita untuk menarik batas dan menjelaskan karakteristik yang bervariasi tentang budaya dan bahasa di Papua yang eksotis dan terlokalisasi tanpa adanya mobilitas dan transformasi.
Pemekaran provinsi di Papua mengikuti logika ini dengan menempatkan orang Papua statis dan homogen, bukan dinamis dan heterogen. Penting dikaji lebih mendalam perspektif transformasi dan mobilitas Papua yang memfokuskan pada kelompok dan jaringan generasi muda yang bergerak dalam berbagai bidang, seperti literasi dan sastra, media visual, pendidikan, gerakan perempuan, dan jurnalisme Papua. Kelompok dan jaringan ini terbentuk dalam cakrawala Papua kontemporer, melampaui sekat-sekat budaya lokal (Timmer, 2019).
Rakyat Papua dipaksa jadi bagian dari ideologi pembangunan, sejarah, dan masa depan Indonesia.
Pembangunan dan kemajuan menyingkirkan orientasi-orientasi orang Papua yang berkaitan dengan relasinya dengan tanah, ingatan, berbagi cerita, perjalanan, agama, keterlibatan dengan entitas non-manusia, dan pertemuan dengan negara dan marginalisasi. Perspektif modernitas yang diangkut oleh pembangunan perlu mengakui orientasi-orientasi Papua ini meski sering dianggap melenceng dengan logika kemajuan. Rakyat Papua dipaksa jadi bagian dari ideologi pembangunan, sejarah, dan masa depan Indonesia. Orientasi-orientasi orang Papua kerap menantang kepengaturan yang dilakukan negara. Orientasi-orientasi itu menjelajah jauh menembus modernitas dan kemajuan.
Bagi saya, sangatlah penting kita memahami orientasi-orientasi identitas Papua untuk menantang orientasi modernitas dan pembangunan untuk kesejahteraan yang selalu kita gunakan untuk melihat Papua. Kita perlu menyelami lebih mendalam dan menggumuli sejarah getir serta perjuangan rakyat Papua untuk memahami dirinya sendiri dalam negara bangsa ini.
I Ngurah Suryawan,Dosen Jurusan Antropologi, Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.