Menyempitnya Ruang Perbedaan
Pembiaran kata-kata kasar berseliweran di media sosial seperti memelihara potensi reproduksi kekerasan. Pemerintah harus mengelola hal ini supaya ruang perbedaan dipelihara secara bersama-sama demi masa depan negara ini.
Perbedaan pendapat dengan pihak lain seharusnya tidak menghadirkan ancaman dan kekerasan. Justru perbedaan pendapat menciptakan ruang tersendiri, di mana pihak yang berbeda dapat saling berdialog atau mencoba memahami satu sama lain.
Ruang perbedaan itu seharusnya dikreasi, dikelola, dan dijadikan sebagai sebuah kesepakatan. Dengan adanya ruang perbedaan, jika tak ada titik temu atas satu atau lebih masalah, seharusnya setiap pihak akan dapat menerimanya dengan lapang dada, berbesar hati dengan baik.
Kedewasaan sebuah bangsa ditentukan oleh kehadiran ruang perbedaan ini. Semakin luas ruang perbedaan, semakin terbukalah interaksi yang menghadirkan kerja sama, nasionalisme, penghargaan pada kemanusiaan dan nilai-nilai moral, dan musyawarah demi kepentingan bersama.
Sayangnya, ruang perbedaan itu kini semakin sempit karena perbedaan justru hendak dikebiri. Belakangan ini persekusi marak kepada pihak yang dianggap berbeda. Perbedaan pandangan dan pendapat tak lagi diterima dengan mudah. Mereka yang dianggap berseberangan dihajar habis-habisan.
Baca juga: Memaafkan dan Melepaskan
Kata-kata kasar, makian, dan cercaan, serta hinaan kepada sosok-sosok yang dianggap berbeda dengan pihak tertentu dilontarkan begitu mudah dan vulgar, baik di media sosial maupun dalam kehidupan nyata. Pertemuan fisik yang sejatinya berisi dialog kini berisi kekerasan.
Dalam suasana perdebatan biasa sekalipun, air dalam gelas bisa dilemparkan oleh lawan debat, kertas dalam genggaman bisa menjadi alat memukul lawan bicara. Konon pula ketika suasananya menghadirkan demonstrasi massa, tangan dan kaki digunakan untuk membungkam mereka yang tak sepaham.
Kita tentu patut bersedih karena kekerasan-kekerasan seperti itu bukan dilakukan oleh penjajah kepada mereka yang terjajah, tetapi dilakukan oleh sesama anak bangsa, antarkita sendiri. Bak anomali, kejadian kekerasan demi kekerasan fisik tidak terjadi atau dilakukan oleh rezim yang represif. Masyarakat sipil menjadi sangat garang kepada sesama masyarakat lain. Mereka yang dianggap tidak sepaham mudah untuk dimusuhi, rumahnya dibakar, orangnya diusir, bahkan dijauhi.
Laporan Global State of Democracy Indices (GSDI) 2022 tentang Indonesia mengamini hal ini. Dalam survei global tersebut, kebebasan berekspresi (freedom of expression) berada pada skor 0,53. Skor terbaik adalah Denmark dengan nilai 0,95. Lalu kebebasan berbicara (freedom of speech) kita hanyalah berada pada nilai 45. Tertinggi adalah Norwegia dengan skor 80 dan pada urutan kedua lagi-lagi adalah Denmark dengan skor 79.
Melihat nilai-nilai tersebut, secara cepat kita bisa menyimpulkan bahwa kita berada di tengah-tengah. Negara-negara dengan skor tertinggi umumnya adalah negara dengan iklim demokrasi yang baik, sementara yang terbawah cenderung negara-negara dengan model politik otoritarian. Dengan kata lain, Indonesia sesungguhnya tidaklah demokratis amat dan juga tidak otoritarian amat. Dalam istilah Suryopratomo (Kompas, 16/4/2022), kita ini masih talking democracy, belum working democracy.
Baca juga: Demokrasi yang Bekerja
Namun, laporan tersebut setidaknya mengonfirmasi kenyataan mengenai semakin langkanya ruang perbedaan tadi. Mereka yang berbeda dipaksa menuruti logika pihak lain, umumnya dengan cara-cara kekerasan. Tak ada lagi dialog karena ruang perbedaan tak lagi terbuka lebar-lebar.
Ironisnya, kondisi ini sangat kontras ketika kita masih berada di era penjajahan. Bicara soal kekerasan, saya tidak pernah mendengar penjajah Belanda memukuli Soekarno, hanya karena Soekarno berbeda pendapat dengan mereka. Tidak sama sekali. Saya tidak pernah mendengar atau membaca bahwa Soekarno dan Hatta menerima kekerasan fisik dari Belanda. Dan sepanjang yang saya tahu, tidak ada dokumentasi yang saya baca bahwa mereka pernah dibogem, dikeroyok, dihajar, diseret, dan ditelanjangi sambil disorakin.
Padahal, penjajah Belanda dengan tentara-tentaranya bukan tak mungkin melakukan hal itu. Soekarno dan Hatta telah lama dianggap oleh Belanda sebagai biang onar yang membuat perlawanan kepada Belanda semakin mengeras. Bahkan, mereka dianggap tidak tahu diri karena tidak membalas perbuatan baik Belanda kepada kaum republiken.
Bicara soal kekerasan, saya tidak pernah mendengar penjajah Belanda memukuli Soekarno hanya karena Soekarno berbeda pendapat dengan mereka.
Namun, nyatanya tidak ada kisah kekerasan kepada mereka. Dari balik penjara, Soekarno bahkan bebas menyiapkan pembelaan diri, bebas berdiri di depan pengadilan yang meski berat sebelah, tetapi tanpa sama sekali luka fisik yang ia dapatkan dari mereka yang berseberangan dengan dia. Soekarno tetap bisa lantang bersuara. Ia tetap bisa menyuarakan tulisan-tulisan perlawanan atas penjajahan, bahkan tetap berbicara melalui siaran radio yang menyiarkan orasinya.
Dalam situasi di bawah kendali penjajah, Soekarno-Hatta bisa menyampaikan perbedaan pandangan dengan penjajah tanpa pernah mendapat perlakukan kasar. Di bawah kawalan para prajurit bersepatu lars dan ancaman ditembak oleh senjata, tak ada luka yang terjadi dan dicatat oleh sejarah pada Soekarno dan Hatta.
Waktu itu ruang perbedaan tetap dibuka seluas-luasnya kepada para pemimpin bangsa kita, setidak-tidaknya mulai awal tahun 1900-an pascapolitik balas budi oleh Belanda. Memang Soekarno dan Hatta adalah tokoh penting saat itu sehingga Belanda tidak ingin mengambil risiko melakukan kekerasan kepada mereka meski berseberangan dengan penjajah.
Harus diakui memang bahwa kebebasan yang diperoleh keduanya mungkin tidak dinikmati oleh rakyat biasa kala itu. Namun, setidaknya, kita harus mengakui pula bahwa perbedaan pendapat dengan pihak lain justru lebih dihargai oleh mereka yang kita cap sebagai penjajah.
Jauh setelah penjajah hengkang dari negeri ini, kekerasan malah semakin jamak. Pastilah keadaan ini ada awalnya. Menyempitnya ruang perbedaan tak terjadi begitu saja. Namun, kita percaya bahwa awal dari semua ini adalah ketika satu saja kekerasan, entah itu yang terjadi di media sosial atau di saat pertemuan fisik berlangsung, dibiarkan terjadi.
Kita percaya bahwa awal dari semua ini adalah ketika satu saja kekerasan, entah itu yang terjadi di media sosial atau di saat pertemuan fisik berlangsung, dibiarkan terjadi.
Para pakar ilmu sosial sepaham bahwa ketika satu kekerasan dibiarkan, maka ia akan bertambah secara eksponensial. Apalagi di era teknologi saat ini, di mana kekerasan menjadi tontonan yang mudah diakses. Narasi-narasi yang memutarbalikkan keadaan menjadi mesiu tambahan untuk mempercepat kekerasan baru sekaligus menambah kecepatan reproduksi kekerasan baru.
Jika dulu saat media sosial belum ada, reproduksi kekerasan barangkali hanya dua kali lipat dari kejadian awal. Maka, saat ini mungkin telah menjadi berpotensi meletus ratusan kali dengan sebaran yang semakin luas.
Segala jenis kekerasan semakin masif terjadi di negeri ini dalam beberapa dekade terakhir. Ketika hal itu tidak menjadi perhatian dan pelakunya tidak diberikan efek jera, kekerasan demi kekerasan pun berlanjut karena memperoleh pembenaran sekaligus panggung. Kekerasan dalam konteks agama, politik, sosial, militer, ekonomi, kini mencapai titik puncak kombinasi, telah mewujud menjadi bara api, bukan lagi hanya api dalam sekam, yang dalam beberapa waktu ke depan bukan tidak mungkin akan menyeret kita ke dalam konflik yang lebih besar.
Peran pemerintah
Tentu saja pemerintahlah yang punya kewenangan atas ketertiban umum, serta aparat negara yang memastikan regulasi dipatuhi, telah membiarkan kekerasan ini terjadi. Pemerintah tidak sensitif untuk membangun mekanisme pencegahan dan penghentian kekerasan-kekerasan ini.
Bandingkan dengan Facebook. Sebagai pengguna media sosial itu, saya melihat munculnya regulasi-regulasi yang terus dibenahi oleh perusahaan itu. Komitmen kepada pencegahan ungkapan kekerasan di platformnya membuat Facebook kini menggunakan mesin mendeteksi kata-kata yang dianggap berpotensi kasar atau mengancam.
Saya pernah menulis kata-kata, ”hajar”, ”suntik mati”, dalam konteks bercanda. Alhasil, mesin deteksi Facebook menganggapnya sebagai sebuah pelanggaran komunitas yang mereka kembangkan. Akun Facebook saya pun diblokir dalam dua kasus tersebut.
Jika Facebook saja telah mengembangkan teknologi words recognition, seharusnya pemerintah mampu bekerja lebih lagi.
Pemerintah punya kekuasaan atas teknologi. Maka, seharusnya pemerintah jauh lebih tanggap. Jika Facebook saja telah mengembangkan teknologi words recognition, seharusnya pemerintah mampu bekerja lebih lagi. Ancaman kekerasan di media sosial harus diantisipasi, bahkan pelakunya bukan tidak mungkin dicekal dari penggunaan media sosial. Justru dibiarkannya kata-kata kasar yang berseliweran di media sosial, seperti memelihara potensi reproduksi kekerasan. Pemerintah harus mengelola hal ini supaya ruang perbedaan dipelihara secara bersama-sama demi masa depan negara ini.
Pun kekerasan fisik, memerlukan ketegasan pemerintah. Di negeri ini, siapa pun seharusnya tak boleh mengalami kekerasan atas alasan apa pun. Entah itu sosok berpengaruh, entah tidak, harus dihentikan dari pengalaman menerima kekerasan fisik. Entah itu beragama apa, entah itu dari tokoh parpol mana baik besar maupun kecil, entah itu orang dengan status ekonomi atas ataupun miskin, semua harus dilindungi karena di negeri ini semua orang berada dalam perlindungan negara.
Pembelaan harus dilakukan kepada semua orang tanpa melihat latar belakang individu tersebut. Itulah fungsi pemerintah, memastikan setiap orang aman karena pemerintah selalu hadir dan akan terus-menerus hadir.
Baca juga: Unjuk Eksistensi dalam Wacana Tandingan
Pemerintah harus bekerja lebih keras menghadirkan ruang perbedaan yang terancam rusak ini. Setiap individu harus tunduk pada komitmen untuk memelihara tata krama masyarakat sipil yang demokratis sehingga tidak sembarangan berkomunikasi yang tidak sehat dan melakukan kekerasan sesuka hati.
Ruang perbedaan harus tetap luas dan terpelihara supaya setiap orang nyaman dan berinteraksi dengan sehat, tanpa takut dan tanpa menderita akibat perbedaan. Di negara mana pun, ruang perbedaan yang memadai akan menghasilkan kebahagiaan bagi warganya. Jangan-jangan inilah kata kunci yang membuat kita selama ini terkunci sebagai sekadar negara talking democracy belaka.
Fotarisman Zaluchu, Pengajar di Prodi Antropologi Sosial, FISIP, Universitas Sumatera Utara; Penggiat di Perkamen