Indonesia sudah 24 tahun menjalankan demokrasi setelah Reformasi 1998. Tantangan paling berat dari demokrasi bagaimana mempraktikkannya agar menjadi sesuatu yang bekerja dan menghasilkan menjadi ”working democracy”.
Oleh
SURYOPRATOMO
·5 menit baca
Sudah lama pendiri Kompas, Jakob Oetama. menyampaikan kegundahannya terhadap demokrasi yang kita praktikan. Setiap kali diskusi di ruang rapat redaksi, pertanyaan itu yang selalu dilemparkan. Apakah dengan demokrasi yang dijalankan seperti sekarang Indonesia akan mencapai cita-citanya sebagai negara maju dan modern.
Jakob Oetama merupakan penganut kebebasan. Artikel di majalah Foreign Affair yang berjudul ”Why Democracies Excel” menjadi salah satu referensinya. Hasil penelitian yang dilakukan Joseph T Siegle, Michael M Weinstein, dan Morton H Halperin menjelaskan, negara yang menjalankan demokrasi rata-rata ekonomi dan kehidupan rakyatnya jauh lebih baik dibandingkan dengan negara yang menerapkan sistem otokrasi.
Karena itu, Kompas merupakan institusi yang mendukung proses demokratisasi. Indonesia tak pernah akan naik kelas dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah apabila tidak melakukan transformasi dari sistem Orde Baru ke sistem reformasi.
Indonesia tak pernah akan naik kelas dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah apabila tidak melakukan transformasi dari sistem Orde Baru ke sistem reformasi.
Sekarang kita sudah 24 tahun menjalankan demokrasi. Apakah kita merasakan bahwa ”democracies excel?”. Dari sisi kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, kita merasakan kebebasan itu. Bahkan, saking bebasnya, kita boleh mengambil hak orang lain.
Di sinilah kegundahan itu muncul. Demokrasi bukan sekadar hanya untuk sebuah kebebasan. Kebebasan itu harus berujung pada kebaikan yang lebih mendasar, yakni kehidupan yang lebih baik, yang lebih aman, yang lebih menyejahterakan rakyatnya.
Jakob Oetama selalu menyebutnya, kebebasan itu mempunyai dua muka. Satu adalah ”kebebasan dari” atau freedom from yang sudah kita nikmati sekarang. Kita sudah bebas dari segala larangan yang membungkam. Namun, wajah kedua yang tidak kalah pentingnya ialah ”kebebasan untuk” atau freedom for. Kebebasan yang satu ini penting untuk membuat tesis di awal valid, yaitu ”democracies excel” tadi.
Kebebasan itu harus untuk membuat masyarakat lebih tenang, jauh dari rasa takut agar bisa menjadi pribadi-pribadi yang produktif dan mampu memperbaiki kehidupan keluarga dan bangsanya.
Bukan hanya kata-kata
Tantangan yang paling berat dari demokrasi adalah bagaimana membuatnya tak sekadar hanya dalam kata-kata, talking democracy. Demokrasi harus dipraktikkan menjadi sesuatu yang bekerja dan menghasilkan, menjadi working democracy. Berkata-kata itu cenderung lebih mudah. Orang hanya cukup berucap. Apalagi hanya sekadar mengeluh atau menyalahkan.
Manusia pada umumnya lebih mudah mencari kesalahan orang lain daripada menemukan kebaikannya.
Mengerjakan apa yang dikatakan itu membutuhkan kemauan, keterampilan, dan kesungguhan. Belum tentu apa yang kita kerjakan kemudian berhasil. Yang namanya usaha itu bisa juga gagal atau tak sesuai dengan ekspektasi, apalagi berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Banyak bangsa jatuh-bangun dalam bekerja. Mereka mencoba membangun disiplin dan etos kerja. Dari sana mereka kemudian mampu melakukan produksi, bahkan kemudian direproduksi agar memberi nilai tambah tinggi.
Samuel L Huntington menyebut bangsa Korea sebagai contoh bangsa yang berhasil membangun kultur yang kuat. Kalau mereka mampu menjadi negara industri maju karena demokrasi yang mereka bangun tidak sekadar dalam kata-kata, tetapi dengan bekerja.
Setelah proses demokratisasi berhasil dijalankan pada 1989, seluruh bangsa Korea kembali kepada tugas masing-masing untuk membangun negeri.
Mahasiswa tak larut dalam aksi demonstrasi yang tiada henti, kembali menuntut ilmu di bangku kuliah. Ilmuwan kembali ke ruang penelitian untuk menghasilkan penemuan. Pengusaha kembali mengembangkan bisnis untuk memperkuat perekonomian nasional.
Generasi muda Indonesia kurang tekun untuk mengembangkan diri agar siap jadi ujung tombak kemajuan.
Seorang pengajar Hankuk University, Prof Koh Young-hun, merasa yakin, Indonesia punya potensi untuk lebih maju dari Korea Selatan. Dengan sumber daya alam yang sangat berlimpah, Indonesia bisa menjadi sebuah negara industri yang jauh lebih maju. Namun, ia menyayangkan, mengapa semua sumber daya itu dibiarkan dan tidak dikembangkan secara optimal. Generasi muda Indonesia kurang tekun untuk mengembangkan diri agar siap jadi ujung tombak kemajuan.
Setelah reformasi berhasil dilakukan, seharusnya mahasiswa menjadi model dari warga negara yang memiliki tanggung jawab. Mereka harus menjadi contoh pribadi yang terdidik dan berorientasi pada kemajuan. Pikirannya harus terbuka dan berwawasan luas. Bukan justru malah berpikiran miopik dan bertindak destruktif.
Di tengah dunia yang berlari kencang, semua bangsa berlomba ke arah kemajuan. Siapa yang tidak siap, maka bersiaplah untuk ketinggalan. Setiap bangsa dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif agar memiliki keunggulan.
Perubahan iklim menjadi sebuah tantangan lain yang harus dijawab. Pembangunan industri tidak bisa lagi bertumpu pada industri yang memberikan efek rumah kaca. Ke depan, negara yang tak mampu menghasilkan produk yang ramah lingkungan tidak bisa masuk ke pasar dunia dan bagian dari rantai pasok dunia.
Di sinilah setiap negara dituntut untuk memiliki ilmuwan yang andal. Lembaga riset dan pengembangan (R&D) menjadi sebuah keharusan. Negara harus mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pengembangan R&D.
Kita harus terpacu melihat bagaimana bangsa-bangsa lain berlomba meraih kemajuannya. Singapura yang hanya sebuah negara kota sudah mempersiapkan masa depannya. Mereka sudah menetapkan dirinya sebagai ”Tomorrow City”.
Kalau melihat apa yang sedang mereka bangun di Pelabuhan Tuas, kita pantas untuk kagum. Mereka tidak hanya secara saksama mempersiapkan sebuah pelabuhan baru yang akan jadi tumpuan perdagangan di kawasan, tetapi juga membangun tempat yang akan menyediakan air bersih bagi warganya.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sudah memperingatkan, tantangan yang dihadapi dunia ke depan tidak hanya keterbatasan pasokan pangan, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kelangkaan air bersih.
Singapura sejak dulu tak memiliki pasokan air yang cukup bagi warganya. Mereka membangun 17 tempat penampungan di seluruh negeri tidak hanya dengan menadah air hujan, tetapi juga menyuling air laut.
Danau yang ada di sekitar Marina Bay Sands merupakan air tawar yang dihasilkan dari penyulingan air laut. Persoalan terberat yang dihadapi, penyulingan air laut membutuhkan membran penyaringan yang khusus dan energi listrik yang besar untuk memompa air agar melewati membran saringan itu dan berubah jadi air tawar.
Yang terpenting keterbukaan dan kemauan untuk meraih kemajuan bersama.
Mahasiswa dan ilmuwan di Nanyang Technological University tak berhenti untuk melakukan riset guna menemukan membran yang lebih efisien agar tak memerlukan energi listrik yang terlalu besar. Penemuan ini harus dilakukan karena energi terbarukan bukan barang yang murah dan mudah didapatkan.
Pada zaman terbuka seperti sekarang, penelitian tak harus dilakukan sendiri. Kerja sama bisa dilakukan dengan peneliti dari negara lain. Hasil olah pikir dari banyak orang akan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih berarti. Yang terpenting keterbukaan dan kemauan untuk meraih kemajuan bersama.
Singapura menjadi negara yang sangat terbuka dalam meraih kemajuan. Pelabuhan Tuas yang akan selesai 2040 yang akan datang dibangun dengan mengundang semua pakar terbaik yang ada di dunia. Kemajuan yang mereka raih menjadi modal bagi mereka untuk melompat lebih tinggi lagi. Akhirnya, terbukti kerja keras lebih dibutuhkan daripada sekadar teriakan yang keras.