Transisi dan konsolidasi demokrasi memang harus melalui jalan sulit dan berliku, memerlukan kesabaran revolusioner. Kuantitas dan kualitas habitus demokrasi menentukan keberlanjutan transformasi lembaga dan regulasi.
Oleh
M FADJROEL RACHMAN
·5 menit baca
Mungkinkah demokrasi berakhir? Sangat mungkin! Tak hanya sejarah dunia memberikan contoh kekuasaan yang menghabisi demokrasi seperti Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, Franco di Spanyol, Pol Pot di Kamboja, dan yang lainnya. Mengguntur teriakan Il Duce Mussolini, ”Tidak ada kompromi antara totaliterisme dan demokrasi!” (Packard, 2003).
Ideologi penghancur demokrasi umumnya bersumber dari ideologi ekstrem kiri dan kanan di berbagai belahan dunia, juga para pihak yang menjadikan demokrasi sekadar alat meraih kekuasaan politik dan ekonomi.
Di Indonesia dalam perjalanan sejarah sepanjang 76 tahun Indonesia merdeka, perjuangan untuk menegakkan republik demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat dengan konstitusi UUD 1945 juga bersimbah darah, nyawa, air mata, dan pengkhianatan.
Moral demokrasi
Menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan politik kekuasaan tentu berlawanan dengan moral demokrasi. Tujuan demokratis haruslah diperoleh dengan cara-cara demokratis.
Apabila prinsip moral ini dilanggar dengan menghalalkan segala cara Machiavellistik (The Prince, 1990), maka bukan tujuan demokratis yang dicapai, melainkan tujuan yang sebaliknya, antidemokrasi.
Moral demokrasi tumbuh secara historis dan organis sebagai habitus demokrasi, sebagaimana proses ”hidup dalam kebenaran” dalam gagasan tokoh demokratis Chekoslowakia, Vaclac Havel (1990), ”living the truth… simply ordinary citizens who were able to maintain their human dignity”.
Pengkhianatan terhadap demokrasi merupakan pengkhianatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.
Menyatukan cara dan tujuan demokratis merupakan cermin dari moral demokrasi, dan menumbuhkan habitus demokrasi yang organis untuk mempertahankan martabat kemanusiaan. Pengkhianatan terhadap demokrasi merupakan pengkhianatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.
Dengan demikian, segala upaya untuk membenarkan cara-cara antidemokrasi untuk meraih tujuan demokrasi dengan rasionalisasi tujuan tertentu harus dihindari sejauh mungkin. Bahkan, di masa lalu Bung Hatta menolak untuk melanggengkan ”kerja seorang patriot yang cinta pada tanah air dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya” (Bung Hatta dalam risalah Demokrasi Kita, 1960).
Itu karena hal-hal tersebut bertentangan dengan gagasan dan moral demokrasi yang mendasari perjuangan demokrasi sejak perjuangan kemerdekaan hingga perjuangan reformasi yang akan berusia 24 tahun pada 21 Mei 2022.
Upaya untuk mempertentangkan cara dan tujuan demokrasi ini merupakan penyakit kekanak-kanakan, kekurangan pemahaman dan tanggung jawab terhadap perjuangan demokrasi dan reformasi, yang diiming-imingi oleh keinginan ultrapragmatis untuk mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi dalam lingkaran politik kekuasaan pada suatu masa tertentu.
Transisi dan konsolidasi demokrasi memang harus melalui jalan yang sulit dan berliku, memerlukan kesabaran revolusioner. Hal itu terutama karena prasyarat materialnya yang melibatkan elite-elite lama yang berkuasa di masa lalu dengan segala beban dan kewajiban masa lalu yang di-carry over (transplacement, kata Huntinton, 1995).
Dalam Democracy Without the Democrat (2007), saya ingin menunjukkan bahwa proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia melibatkan transformasi sistem demokrasi berupa: lembaga demokrasi, regulasi demokrasi, dan habitus demokrasi. Kuantitas dan kualitas habitus demokrasi ini yang menentukan apakah transformasi lembaga dan regulasi demokrasi bakal berkelanjutan atau terhambat.
Jika timbangan kuantitas dan kualitas habitus demokrasi ini rendah, maka demokrasi dalam bahaya dan dapat berakhir, walau untuk sementara, kata Bung Hatta—walau kata sementara bisa berarti puluhan tahun kematian demokrasi.
Ada enam arena yang terus-menerus harus ditransformasi pada tahap transisi dan konsolidasi demokrasi karena carry over dari rezim dan elite lama, yaitu (1) ideologi demokrasi, (2) masyarakat politik, (3) masyarakat ekonomi, (4) masyarakat sipil, (5) supremasi hukum (rule of law), dan (6) aparatur negara (birokrasi).
Indonesia berjuang menyelesaikan tahap transisi dan konsolidasi demokrasi selama 24 tahun terakhir, dengan lima presiden silih berganti. Kazakhstan yang baru merdeka 30 tahun dari Uni Soviet (16 Desember 1991) juga berjuang keras menyelesaikan tahapan transisi dan konsolidasi demokrasi dengan carry over masa lalu.
Walau sudah 30 tahun, ujian demokrasi yang dialami Presiden Kassym Jomart Tokayev masih sangat keras dan mematikan. Pada Tragedi Januari 2022, Kazakhstan menghadapi kerusuhan yang mengakibatkan kerugian 239 juta dollar AS, 20 aparat keamanan terbunuh, 600 mobil terbakar, fasilitas umum rusak, dan sekitar 9.900 orang ditangkap.
Berujung dideklarasikan situasi darurat (State of Emergency), perdana menteri mundur dan kabinet dibubarkan. Sekarang terpilih perdana menteri baru Alikhan Smailov dengan narasi New Kazakhstan.
Bung Hatta meyakini bahwa demokrasi merupakan habitus perjuangan dan kehidupan bangsa Indonesia.
Demokrasi kita
Bung Hatta meyakini bahwa demokrasi merupakan habitus perjuangan dan kehidupan bangsa Indonesia. Kata Bung Hatta, ”Ada dua hal yang memberikan keyakinan itu kepada saya. Pertama, cita-cita demokrasi yang hidup dalam pergerakan kebangsaan di masa penjajahan dulu, yang memberikan semangat pada perjuangan kemerdekaan. Kedua, pergaulan hidup Indonesia yang asli berdasarkan demokrasi, yang sampai sekarang masih ada di desa-desa.”
Saya menambahkan keyakinan Bung Hatta terhadap demokrasi dengan relevansi konteks sosial-historis kontemporer, yaitu ketiga, perjuangan reformasi 1998 berdasarkan cita-cita demokrasi yang berakar pada pergerakan kemerdekaan di masa perjuangan kemerdekaan. Dan keempat, habitus demokrasi telah bersemi kembali sepanjang 24 tahun reformasi, pascarezim antidemokrasi dalam masyarakat Indonesia, khususnya pada generasi milenial dan zilenial yang diperjuangkan terus-menerus oleh generasi pertama eksponen reformasi 1998.
Akhirnya Bung Hatta menuntaskan keyakinan pada demokrasi, ”Demokrasi dapat berjalan baik apabila ada rasa tanggung jawab… pada pemimpin-pemimpin politik…. Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan… dengan tegapnya.”
Demokrasi juga berjalan baik jika regenerasi kepemimpinan politik dan periodisasi kepresidenan berjalan sesuai konstitusi reformasi 1998.
Seperti Bung Hatta, kita semua tegak lurus pada demokrasi dan amanat reformasi 1998 dengan berdiri tegak dan berjuang tanpa pamrih di bawah bendera demokrasi.
M Fadjroel Rachman,Dubes Indonesia untuk Kazakhstan dan Tajikistan; Jubir Presiden RI 2019-2021