Hiperpolitik Demokrasi Digital Kita
Bahaya hiperpolitisasi nyata. Bukan hanya soal radikalisme agama yang merusak toleransi dan solidaritas nasional. Hiperpolitisasi juga bisa mengganggu kebijakan pemerintah yang dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat.
Partisipasi politis telah berimigrasi dari semula berbagi opini di forum publik, koran, radio, televisi, dan demonstrasi di jalan ke tombol- tombol layar sentuh.
Tentu demonstrasi masih ada, tapi kali ini dibuat panas dan dikomando dari telepon cerdas. Politik tidak lagi menakutkan. Klik pada layar disangka tidak berisiko. Maka itu, sekarang segalanya, entah itu celetukan, keseleo lidah, atau umpatan, bisa ‘digoreng’ menjadi politis.
Dalam politik, kita memihak karena sedang memperjuangkan kepentingan. Politik memang terdiri atas persepsi kepentingan sehingga tak ada satu benda -pun di muka Bumi ini yang netral di bawah sorot mata politik. Karena itu polarisasi saat Pemilu Presiden 2019 yang waktu itu sanggup mengganggu persahabatan dan bahkan membelah keluarga bisa diteruskan ke mana-mana.
Presiden yang menang sudah merangkul kubu tandingannya. Seharusnya polarisasi berhenti dan segera diganti deliberasi. Sayang sekali, hal itu tidak kita dapatkan. Polarisasi elektoral dilanjutkan dalam bentuk oposisi informal di media-media sosial. Rupanya itulah demokrasi digital kita saat ini.
Dalam negara hukum demokratis, polarisasi tak perlu abadi karena pada akhirnya harus berlabuh pada keputusan hukum yang dipatuhi bersama.
Dalam negara hukum demokratis, polarisasi tak perlu abadi karena pada akhirnya harus berlabuh pada keputusan hukum yang dipatuhi bersama. Negara hukum dan demokrasi itu komplementer. Negara hukum membutuhkan demokrasi agar tidak tiranis, dan demokrasi membutuhkan negara hukum agar tidak anarkis. Pilpres berakhir, pemerintahan baru menjalankan programnya, dan semua pihak yang pernah bertarung harus mendukungnya.
Demokrasi perlu dijaga oleh hukum. Politik pasca pemilu harus memiliki wajah lain: tak terobsesi untuk menggulingkan kekuasaan yang sah, melainkan untuk mengawasinya dalam koridor hukum. Politik seperti itu bisa tetap agonistis, tetapi dalam rangka perbaikan.
Menghancurkan wajah lawan
Kondisi lapangan tentu berbeda. Suara politis sering diredam oleh prosedur dan sistem yang kaku. Kehendak untuk beroposisi pun menemukan ruang-ruang kebebasan baru yang nyaris tanpa dinding, yakni media-media sosial. Di situlah kekecewaan dan ketidaksukaan terhadap lawan politis dilolongkan keras-keras beyond good and evil. Lolongan tidak perlu benar, tetapi harus kontroversial, sensasional, dan ekstrem agar merebut perhatian di tengah luapan informasi. Target mereka: menghancurkan wajah lawan lewat gawai.
Agaknya demokrasi digital kita membenarkan pendapat ahli hukum Nazi, Carl Schmitt. Yang politis dihasilkan dari dikotomi kawan dan lawan. “Setiap pertentangan agama, moral, ekonomi, etnis atau lain-lainnya,” tulisnya, ”berubah menjadi pertentangan politis, jika ia cukup kuat secara efektif mengelompokkan orang-orang menurut kawan dan lawan”. Jika terjadi di saat kampanye pilpres yang notabene semacam permainan untuk suksesi damai, hal itu masih wajar. Peluit KPU bisa ditiup.
Baca juga : Homo Digitalis
Kawan dan lawan dalam kampanye ada dalam bentuk kompetisi, bukan permusuhan. Namun di negeri kita, dikotomi itu tidak berhenti setelah pilpres. Pertentangan kawan dan lawan melebar ke mana-mana, termasuk agama, politik, kebudayaan, dan kebijakan.
Mengapa hal itu terjadi? Mungkin karena gairah oposisi yang tinggi? Mungkin karena ketidakpuasan yang tersumbat? Banyak mungkin lainnya. Namun satu hal yang cukup jelas: konten-konten media sosial berkontribusi untuk polarisasi berkepanjangan itu. Polarisasi adalah hal yang sensasional dan kontroversial, maka bisa selalu menarik mata untuk menatap layar ponsel.
Di layar itu kita tidak lagi menghadapi politik biasa, melainkan hiperpolitik. Dalam politik demokratis pertarungan kawan dan lawan masih dibatasi bingkai sistem negara hukum. Namun dalam hiperpolitik bingkai itu dilepas. Hiperpolitik melebarkan dikotomi itu sampai ke pertarungan Weltanschauung (wawasan dunia).
Lawan dalam politik itu wajar karena orang sedang bersaing untuk kekuasaan. Namun hal itu menjadi berlebihan, kalau lawan itu dipersepsi sebagai musuh agama. Dikotomi kawan dan lawan sudah tersedia dalam kitab-kitab suci.
Lawan di situ berasal dari zaman kitab-kitab itu ditulis, tapi permusuhan yang terkandung di dalamnya dipelihara lewat khotbah-khotbah. Di situ bukan hanya ada Yahudi, orang kafir, tetapi juga setan. Hal-hal itu bisa menjadi kategori-kategori lentur yang bisa memuat apapun yang tidak disukai atau berbeda kepentingan. Umat agama lain, lawan politik, pemerintah, dan bahkan NKRI bisa masuk ke sana. Di tangan para ekstremis, agama dipakai sebagai sumber hiperpolitik. Yang sakral didegradasi menjadi alat bagi naluri kekuasaaan.
Masalahnya, warga biasa sulit mengambil jarak terhadap agamanya. Agama menjadi identitas bagi mereka. Dikotomi kawan dan lawan tidak hanya beroperasi di kepala, melainkan juga di hati. Jika demagogi para ulama ekstremis hinggap di kepala mereka, hati mereka menyambutnya juga. Membenci musuh dan produknya adalah proyek hiperpolitis.
Namun kita harus hati-hati. Kalau kita mulai melihat setan pada barang atau orang konkret akibat demagogi para ekstremis itu, setan itu sebetulnya sudah bercokol di mata kita, bukan pada barang atau orang yang kita lihat.
Sebagaimana hiper-hiper yang lain, ada rasa ketagihan atau kemelekatan yang diidap. Obsesi itu memiskinkan persepsi. Kalau pengidap hiperseks gandrung seks, pengidap hiperpolitik gandrung politik, sehingga tidak sanggup mempersepsi hal-hal yang non politis. Semua, entah itu orang atau barang, mau dilihat dalam kategori kawan atau lawan. Lebih daripada sekadar perbedaan pendapat, hal itu melibatkan sesat pikir dan bahkan gangguan psikis.
Bahaya hiperpolitisasi nyata. Apa yang semula berupa pesan, video, dan gambar, kemudian muncul di depan kita sebagai aparat sipil negara, mahasiswa, siswa atau bahkan pasangan kita. Mereka bukan avatar. Sudah lama internet jadi media radikalisme. Tapi bahaya bukan hanya soal radikalisme agama yang pasti merusak toleransi dan solidaritas nasional. Hiperpolitisasi juga bisa mengganggu kebijakan pemerintah yang dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat.
Sebetulnya kontroversi kebijakan itu wajar dan bahkan perlu dalam demokrasi. Namun jika calon kebijakan kurang cukup dideliberasikan secara publik, akan ada celah untuk dihiperpolitisasikan oleh oposisi-opisisi informal di media-media sosial.
Hiperpolitisasi membuat mata tidak jernih melihat persoalan.
Dulu kontroversi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja berujung pada demonstrasi yang rusuh. Baru-baru ini ada kasus Wadas yang terkait proyek Bendungan Bener. Fakta menjadi keruh oleh banyaknya kepentingan dan berita simpang siur di media-media sosial menempatkan pemerintah sebagai rezim yang lalim. Hiperpolitisasi membuat mata tidak jernih melihat persoalan. Semua mau diulur ke soal politis sampai ke Pilpres 2024, padahal banyak yang harus diselesaikan secara teknis, hukum, dan sosial-ekonomis sekarang ini.
Alihkan mata ke realitas
Sebaiknya alihkan mata dari layar ke realitas. Salah satu penyebab hiperpolisasi adalah kurangnya interaksi korporeal. Di luar layar ada banyak hal non politis dan non religius. Alamilah jeda hening yang menyadarkan betapa jauhnya kita salah mempersepsi mereka. Kolega, tetangga, pasangan, orang partai lawan bukanlah politik.
Mereka bukan – pinjam istilah Rorty - “orang dari jenis keliru” yang distigma lewat konten digital sebagai “kafir”, “komunis”, “cebong” atau “kadrun”. Seperti juga kita, mereka adalah pribadi-pribadi konkret yang punya banyak sisi, tetapi juga bisa terluka.
Untuk mengurangi hiperpolitisasi perbanyaklah interaksi korporeal (saat ini pakai protokol kesehatan). Mungkin perlu forum dialog restoratif untuk memperkuat komitmen kebangsaan kita. Deliberasi publik dan pembukaan kanal-kanal komunikasi antara pemerintah dan civil society perlu diperbanyak. Untuk mengurangi oposisi liar, perlu ditimbang kemungkinan institusionalisasi oposisi agar mekanisme check and balance berjalan dengan keadaban publik. Akhirnya, etika komunikasi digital perlu diberikan sejak SD, bahkan jika perlu masuk kurikulum kita.
Jadi, baliklah cepat-cepat ke realitas, sebelum hiperpolitik membelah republik kita yang nyata ini.
F Budi Hardiman Guru Besar Filsafat di Universitas Pelita Harapan