Cara cerdas untuk menanggapi wacana kontroversial di media sosial adalah dengan pula memberikan wacana. Namun, wacana yang mengedukasi bagi masyarakat.
Oleh
ANNA PUJI LESTARI
·5 menit baca
Beberapa waktu lalu terjadi unjuk rasa oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di depan Gedung MPR/DPR. Salah satu tujuan besar aksi tersebut adalah menolak penundaan Pemilu 2024. Namun, aksi mahasiswa dengan tujuan mulia tersebut ternyata berujung pada aksi anarki sekelompok orang untuk memersekusi seorang akademisi dan pegiat media sosial di Indonesia.
Korban persekusi tersebut adalah Ade Armando, pakar Ilmu Komunikasi, mengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Aksi persekusi yang dialamatkan kepada seseorang dengan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan sama sekali dan tidak etis.
Apabila merujuk pada etika unjuk rasa, sebenarnya telah ditetapkan pada Peraturan Kapolri No 7 Tahun 2012, salah satunya, tidak boleh menyertakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Aksi persekusi tersebut juga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28I Ayat 2 yang berbunyi, ”Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Kehadiran Ade Armando adalah untuk mengawasi aksi demonstasi mahasiswa agar tidak terjadi aksi anarki. Namun, beberapa orang justru mengincar dan menargetkan Ade Armando untuk dipersekusi. Persekusi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan tindakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas.
Kesewenang-wenangan tersebut dilakukan dengan cara menyakiti fisik guna mempermalukan dan menyakiti psikis dengan melontarkan ujaran kebencian terhadap akademisi dan pegiat media sosial tersebut. Dari beberapa informasi disebutkan bahwa Ade Armando mengalami luka fisik cukup serius.
Ironisnya, sebagian besar netizen justru merasa senang dan mendukung aksi persekusi yang dilakukan terhadap yang bersangkutan. Hal ini terlihat pada banyaknya komentar-komentar kebencian di akun Instagram Ade Armando. Banyak netizen dalam komentarnya malah ikut menyalahkan, menilai Ade layak dipersekusi.
Secara logika, apa yang dilakukan netizen sebenarnya keliru. Namun, justru kekeliruan tersebut secara kolektif dilakukan. Ini artinya, mayoritas netizen menunjukkan tidak membentuk jiwa sosial untuk berempati terhadap korban. Empati adalah kemampuan untuk memahami perspektif orang lain, seolah-olah menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan, dalam hal ini adalah menempatkan diri sebagai korban persekusi.
Rata-rata, netizen yang tidak berempati dengan cara melontarkan komentar-komentar negatif di akun Intsagram Ade Armando terlihat dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan mereka dengan sejumlah cuitan dan unggahan yang pernah dilakukan Ade di media sosial.
Sontak saja, komentar-komentar dan unggahan-unggahan kontroversial di masa lampau masih diingat netizen dan menimbulkan kontra hingga kini. Namun, kontra netizen, sekali lagi, belum dilakukan di jalur yang benar sehingga menimbulkan gangguan pada disrupsi komunikasi. Disrupsi sendiri diartikan sebagai perubahan yang fundamental atau mendasar.
Kontra netizen, sekali lagi, belum dilakukan di jalur yang benar sehingga menimbulkan gangguan pada disrupsi komunikasi.
Dalam kajian komunikasi, disrupsi berkaitan dengan teknologi digital berbasis daring (online), memiliki karakter perubahan secara cepat, luas, mendalam, sistemik, dan berbeda secara signifikan dengan situasi sebelumnya (Sobari, 2020). Namun, nyatanya masyarakat Indonesia belum siap menjalankan kegiatan yang berorientasi digital. Pasalnya, banyak komentar netizen justru mengandung ujaran kebencian ditujukan kepada figur publik ataupun sosok yang tidak disenangi.
Banyaknya komentar negatif netizen yang ditujukan kepada pegiat media sosial, seperti Ade Armando, merupakan indikator bahwa masyarakat kita belum siap menjalankan komunikasi di era kekinian. Komunikasi di era kekinian merupakan arus komunikasi berkesinambungan di antara para pihak yang terlibat.
Apabila pada zaman dulu internet belum mengemuka seperti sekarang, komunikasi hanya dominan dilakukan dari satu sumber kepada khalayak ramai atau audiens. Namun, saat ini sistem komunikasi tersebut sudah tidak relevan lagi. Sistem komunikasi di era kekinian sudah tidak satu arah atau dua arah lagi, tetapi komunikasi banyak arah.
Komunikasi banyak arah merujuk pada adanya transmisi pesan dari banyak sumber komunikasi, kemudian direspons oleh banyak pihak, baik pihak yang berkaitan langsung maupun tidak. Pihak yang merespons pun bisa membuka wacana komunikasi lain melalui media sosial miliknya. Komunikasi sebagai wacana, yakni komunikasi yang bukan hanya berwujud dari ide-ide yang dibahasakan melalui kata-kata atau tulisan, melainkan berkaitan erat dengan konteks atau situasi yang melatarbelakanginya. Istilah analisis wacana (discourse analisys) ini pertama kali dikenalkan oleh Harris (1952) yang selanjutnya dikembangkan oleh para ahli komunikasi.
Dalam kasus banyaknya komentar negatif yang diterima Ade Armando di akun-akun media sosial miliknya, yakni Twitter, Facebook, dan Instagram, menunjukkan bahwa netizen membalas wacana bukan dengan wacana, melainkan dengan memberikan ujaran kebenciaan. Tentu saja, cara tersebut tidak cerdas dan sudah tidak relevan lagi dilakukan.
Cara cerdas untuk menanggapi wacana kontroversial yang dikemukakan Ade Armando adalah dengan pula memberikan wacana. Namun, wacana yang mengedukasi bagi masyarakat. Misalnya saja, apabila netizen tidak setuju dengan cuitan Ade Armando yang menyatakan bahwa azan tidak suci, itu dapat dilakukan dengan membuat wacana tandingan bahwa azan merupakan panggilan dari Allah SWT bagi hambanya.
Wacana tandingan dapat disalurkan melalui platform digital semacan Tiktok, Youtube, atau Instagram. Tentu saja, hal demikian akan lebih bermanfaat, daripada membuat konten mengenai memukul pohon pisang, melempar kucing ke selokan, memasak telur ceplok dengan dua liter minyak goreng atau memberikan tutorial tidak bermanfaat lainnya.
Apabila banyak netizen cerdas, ia akan menanggapi wacana kontroversial dengan membuat wacana tandingan yang mencerdaskan. Dengan adanya wacana tandingan, selain menunjukkan eksistensi diri bagi sang kreator konten, diharapkan memperbanyak wacana positif yang menyebar ke masyarakat. Apabila hal tersebut terwujud, akan tercipta kondisi yang dinamakan heteroglossia.
Istilah heteroglossia pertama kali dikemukakan oleh Mikhail Bakhtin, filsuf Rusia yang menunjukkan bahwa beberapa bentuk bahasa dapat eksis dalam satu teks kohesif. Bahasa yang dimaksudkan di sini adalah bentuk ide atau buah pikiran yang dirangkai menjadi wacana, sedangkan teks yang dimaksudkan di sini merupakan situasi komunikasi yang menggejala di masyarakat.
Anna Puji Lestari,Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang; IG: annapujilestari_anna