Memaafkan dan Melepaskan
Dalam suasana lebaran, ada kebiasaan untuk saling memaafkan. Kita dapat memanfaatkan kebiasaan ini untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Masih dalam suasana lebaran, biasanya mereka yang menjalankan ibadah puasa belum lepas dari rasa syukur telah berhasil memenangkan berbagai ujian untuk menahan diri selama sebulan, menjaga lapar dan haus, rasa marah, dan kebiasaan buruk lainnya, termasuk untuk tidak mudik atau berkumpul dengan keluarga besar secara langsung dalam upaya menjaga agar tidak tertular Covid-19 selama masa pandemi ini.
Namun ada satu kebiasaan lain, yaitu saling memaafkan yang acapkali dilakukan bahkan sebelum puasa dijalani. Terlepas dari adanya perbedaan pendapat mengenai kebiasaan yang satu ini di hari lebaran, sesungguhnya kita dapat memanfaatkannya untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Menurut Abeda Ahmed (2021), seorang terapis untuk masalah relasi antar manusia yang tinggal di Birmingham, sepanjang bulan Ramadan, doa yang paling sering kita ucapkan adalah, “Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan cinta pada pengampunan, jadi maafkan aku”. Jadi kita berharap untuk menggunakan hari-hari penuh berkah ini untuk mencari pengampunan dan mungkin juga memaafkan orang lain.
Baca juga Memaafkan
Namun, menurutnya, acapkali kita tidak dapat mencari jalan keluar dari sakit hati yang mendalam. Karena itu, khotbah spiritual kerap memotivasi orang, tetapi mereka sering tidak mengizinkan penyembuhan dan menutup rasa sakit kronisnya. Strategi penanggulangan mereka tidak berhasil dan sering kali memengaruhi hubungan dan kualitas hidup secara umum.
Mereka berusaha keras tidak membiarkan masa lalu memengaruhi masa kini, tetapi masa lalu menyeret mereka setiap hari, yang lalu mencoba lagi untuk berdiri tegak sampai mereka tersandung kembali. Lingkaran setan ini menyakitkan dan melelahkan karena secara kognitif mereka tahu memaafkan dan melepaskan adalah satu-satunya jalan ke depan.
Pengertian
Pemaafan mungkin memiliki arti berbeda bagi orang yang berbeda. Namun menurut Zorka Hereford (penulis berbagai buku, di antaranya Essential Life Skills, 2007), pemaafan dapat diartikan sebagai keputusan untuk melepaskan kebencian, kemarahan, dan pikiran balas dendam sebagai akibat dari pelanggaran, sakit hati, atau kesalahan yang nyata atau dirasakan oleh Anda.
Memaafkan tidak berarti menyangkal tanggung jawab seseorang karena telah menyakiti Anda, juga tidak berarti meremehkan atau membenarkan maupun membebaskan tindakan tersebut.
Menurut Dr Robert Enright, profesor psikologi pendidikan di University of Wisconsin dan pelopor studi ilmiah tentang pemaafan, memaafkan merupakan sebuah pilihan. Ini menjadi proses mengungkapkan dan melepaskan amarah, sambil memulihkan harapan dan melanjutkan hidup.
Baca juga ”Aku Menolak untuk Minta Maaf”
Meski tidak diragukan lagi bahwa kita berhak merasa kesal dan keinginan untuk merespons secara tepat, kita memiliki kemampuan membuat pilihan untuk tidak melakukannya.
Memaafkan tidak berarti menyangkal tanggung jawab seseorang karena telah menyakiti Anda, juga tidak berarti meremehkan atau membenarkan maupun membebaskan tindakan tersebut.
Ketika melaksanakannya, kita menolak untuk berperan sebagai korban dan kita melepaskan kendali serta kekuasaan yang dimiliki oleh orang yang melanggar atau situasi yang menimpa kita. Kita memilih untuk tidak membiarkan dendam, sakit hati atau kesalahan menentukan hidup kita.
Semua sepakat bahwa memaafkan tidak berarti melupakan atau membenarkan rasa sakit atau bahaya yang telah menimpa Anda, ataupun berbaikan dengan orang yang menyebabkan kerugian itu. Pemaafan mendatangkan kedamaian yang membantu Anda melanjutkan hidup, memulihkan pikiran, perasaan, perilaku positif, dan meningkatkan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan.
Pada akhirnya, tindakan pemaafan membebaskan kita dari luka, ingatan, dan perbudakan masa lalu. Itu sebabnya memaafkan berarti juga melepaskan.
Cara memaafkan
Berikut saya menggabungkan pandangan yang disampaikan oleh Zorka Hereford dan Abeda Ahmed mengenai bagaimana langkah-langkah untuk memaafkan.
Pertama, mulai dengan niat Anda ingin ‘memarkirkan’ masa lalu, melepaskan rasa sakit hati dan kemarahan yang dibawa sebagai bagasi, yang Anda tahu telah memperlambat laju pertumbuhan emosional dan spiritual Anda selama bertahun-tahun. Terimalah bahwa Anda siap melangkah maju karena ini demi Anda sendiri yang kini mengambil langkah pertama menuju penyembuhan dan pemulihan diri.
Kedua, cobalah mengakui apa yang menyakiti atau menyinggung perasaan Anda. Meski menyangkal ada pelanggaran yang menyakitkan, yang terbaik adalah mengakui bahwa itu terjadi, Anda mampu mengartikulasikan apa yang tidak dapat diterima tentang situasi tersebut. Renungkan dan perhatikan bagaimana Anda bereaksi, serta apa yang telah dilakukan terhadap kesehatan dan kesejahteraan mental Anda.
Baca juga Memaafkan dan Membangun Peradaban
Ketiga, mencari perspektif yang lebih luas tentang apa yang terjadi. Berusahalah untuk memahami orang lain, apakah pelanggaran itu disengaja, atau hanya tidak dipikirkan dan tidak peka? Mungkin orang tersebut tidak mengira mereka menyakiti Anda. Apakah mereka melakukannya karena keegoisan, kecerobohan, atau adakah keadaan lain yang tidak diketahuinya?
Kadang melewati suatu proses untuk mencoba memahami situasinya bisa memberi pencerahan baru tentang masalah itu dan dapat mengurangi respons yang menyakitkan. Mungkin juga Anda terlalu sensitif saat itu. Perasaan terluka selalu subyektif. Mungkin Anda maupun dia sedang mengalami hari yang buruk.
Keempat, atasi emosi. Selain mengakui peristiwa tersebut, akui kemarahan, frustrasi, dan segudang emosi lain yang dirasakan, tetapi jangan terjebak di dalamnya. Lakukan teknik manajemen stres seperti olahraga, yoga, pernapasan dalam, dan meditasi terpandu, atau apa pun yang menurut Anda menenangkan serta membuat rileks. Penggunaan strategi kognitif seperti menulis jurnal ataupun berbicara dengan teman atau konselor yang bijak, juga sangat bermanfaat.
Tahap kelima, ubah kosakata Anda, mulailah menggunakan kata-kata yang berbeda, berhenti memakai kata-kata yang mengabadikan masa lalu dan trauma. Semakin Anda fokus menggunakan kata-kata netral, luka akan mulai sembuh. Bahasa dapat membantu kita beralih dari pola pikir sebagai korban ke pola pikir berkembang, yang bisa menjadi transformatif dan membebaskan.
Pada saat yang sama, pergeseran spiritual dari mengutuk menjadi memberkati orang tersebut, akan memfasilitasi penyembuhan emosional. Selain itu, pastikan Anda mulai menjaga diri sendiri dan mulai mempraktikkan merawat dan mengasihi diri.
Keenam, berkomitmen untuk melepaskan dan melanjutkan hidup. Fokus untuk membawa diri Anda kembali ke sini dan masa kini tiap kali Anda mengalami pemicu trauma. Pertama, ingatlah bahwa tindakan memaafkan lebih untuk keuntungan Anda sendiri daripada orang lain. Kedua, memaafkan dan melepaskan membutuhkan waktu, tidak terjadi dalam semalam, jadi bersabarlah dengan diri Anda.
Baca juga Berani Malu
Tentu sulit untuk memisahkan apa yang Anda rasakan secara emosional dengan apa yang masuk akal untuk dilakukan secara logis. Namun, jika Anda berkomitmen mengerahkan energi untuk berfokus pada manfaat pemaafan dan melepaskan, Anda bisa lebih mudah melanjutkan hidup Anda.
Semoga dalam suasana lebaran saat ini, kita dapat mulai belajar benar-benar memaafkan orang lain.