Kesehatan merupakan salah satu bekal utama menghadapi era bonus demografi, khususnya kesehatan pemuda dan anak-anak. Kualitas kesehatan pemuda dan anak-anak perlu dijaga agar mereka bisa mengoptimalkan kemampuan mereka.
Oleh
M NURUL ALAM HASYIM
·5 menit baca
Bonus demografi merupakan kesempatan emas bangsa Indonesia untuk mempercepat pembangunan karena pada periode tersebut struktur penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk usia produktif. Namun, hal tersebut dapat terwujud jika penduduk muda di Indonesia memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya, jika kualitas pemuda Indonesia buruk, alih-alih menjadi bonus demografi, mereka hanya akan menjadi ”beban” demografi.
Menurut hasil Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), 70,72 persen penduduk Indonesia merupakan penduduk usia produktif (15-64 tahun). Dari data tersebut menunjukkan bahwa saat ini Indonesia sudah mulai memasuki masa bonus demografi.
Menurut para pakar, bonus demografi diperkirakan mencapai puncaknya pada 2030. Artinya, penduduk yang saat ini merupakan pemuda dan anak-anak akan berperan penting saat puncak bonus demografi nanti. Perlu persiapan matang agar mereka mampu mengoptimalkan potensinya.
Salah satu hal mendasar agar para pemuda dan anak-anak mampu memaksimalkan potensi mereka adalah dengan meningkatkan kualitas kesehatan mereka. Permasalahan kesehatan pemuda dan anak-anak saat ini cukup kompleks mengingat pada 2020 hingga saat ini pandemi Covid-19 masih terjadi di Indonesia. Selain itu, gaya hidup pemuda saat ini, seperti kebiasaan merokok, dapat menurunkan kualitas kesehatan mereka. Kesehatan anak juga dihadapkan dengan berbagai permasalahan, salah satunya adalah kasus tengkes (stunting) yang masih tinggi di Indonesia.
Kesehatan pemuda dan anak-anak
Kondisi kesehatan sangat memengaruhi tingkat produktivitas seseorang. Meskipun secara umum pemuda memiliki fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan anak-anak dan lansia, produktivitas pemuda akan turun ketika mengalami gangguan kesehatan. Menurut data BPS, pada 2020 angka kesakitan pemuda adalah 8,58 persen dan meningkat menjadi 10,23 persen tahun 2021.
Gangguan kesehatan pada pemuda bisa diakibatkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah gaya hidup. Kebiasaan merokok para pemuda membuat kualitas kesehatan mereka menurun. Pada 2021, persentase pemuda yang merokok sebesar 22,93 persen. Artinya, dari 100 pemuda di Indonesia, 20 di antaranya merupakan perokok aktif.
Dampak negatif merokok ini bisa jadi tidak langsung terlihat. Namun, jika kebiasaan merokok ini diteruskan hingga beberapa tahun ke depan, itu dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru dan penyakit jantung. Hal ini tentu dapat menjadi risiko dalam memaksimalkan potensi pemuda dalam menghadapi era bonus demografi.
Dampak negatif merokok ini bisa jadi tidak langsung terlihat. Namun, jika kebiasaan merokok ini diteruskan hingga beberapa tahun ke depan, itu dapat menyebabkan berbagai penyakit.
Pandemi Covid-19 juga memberikan dampak terhadap kesehatan pemuda, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari hasil sebuah kajian yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta pada Desember 2021, misalnya, kelompok umur yang memiliki risiko tertinggi terhadap penularan Covid-19 adalah kelompok umur 20-40 tahun. Hal ini dapat terjadi karena penduduk usia tersebut lebih mobile dalam menjalani kegiatannya, seperti bekerja ataupun kegiatan lainnya.
Covid-19 juga memberikan pukulan telak terhadap dunia ketenagakerjaan para pemuda. Banyak usaha yang tutup dan para pekerja banyak yang dirumahkan. Akibatnya, banyak masyarakat yang menganggur selama tahun 2020. Menurut data BPS, pada 2020 tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda mencapai 15,23 persen. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2016.
Kesehatan anak-anak juga perlu dijaga agar menjadi pemuda yang tangguh saat puncak bonus demografi kelak. Masa anak-anak merupakan saat yang penting untuk menerima asupan gizi yang cukup dan seimbang agar tumbuh kembangnya menjadi optimal. Kurangnya asupan gizi dapat mengakibatkan banyak dampak buruk, salah satunya adalah tengkes.
Menurut Kementerian Kesehatan, tengkes merupakan permasalahan gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam rentang yang cukup waktu lama. Selain mengalami pertumbuhan yang terhambat, tengkes juga dapat menyebabkan perkembangan otak anak tidak optimal.
Menurut data Kementerian Kesehatan, pada 2013 angka tengkes di Indonesia mencapai 37,2 persen. Hampir 40 persen anak balita di Indonesia kala itu mengalami tengkes. Kini, mereka telah tumbuh menjadi remaja dan bersekolah di berbagai jenjang pendidikan. Pada 2030 saat puncak bonus demografi, mereka akan turut berperan dalam menopang perekonomian dan pembangunan bangsa. Hal ini cukup mengkhawatirkan dan perlu perhatian khusus agar mereka mampu mengoptimalkan kemampuannya saat dewasa dan tidak menjadi ”beban” demografi.
Kasus tengkes erat kaitannya dengan kemiskinan. Kebanyakan anak balita tengkes ditemukan di rumah tangga dengan kemampuan ekonomi rendah. Asupan gizi rendah terhadap anak balita diakibatkan karena orangtua mereka tidak mampu membeli makanan-makanan bergizi untuk anaknya. Selain itu, pendidikan orangtua yang rendah juga dapat menyebabkan kurangnya pengetahuan orangtua mengenai pentingnya asupan gizi seimbang bagi perkembangan dan pertumbuhan anak balita.
Peran penting
Kesehatan merupakan salah satu bekal utama dalam menghadapi era bonus demografi, khususnya kesehatan para pemuda dan anak-anak. Kualitas kesehatan para pemuda dan anak-anak perlu dijaga agar mereka mampu mengoptimalkan kemampuan mereka. Upaya tersebut tentunya memerlukan peran sejumlah pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.
Pemerintah memegang peran penting dalam penyelenggaraan program-program yang ditujukan terhadap kesehatan masyarakat. Program kesehatan, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tentunya sangat membantu masyarakat miskin untuk berobat secara gratis. Dengan adanya program ini, diharapkan kesehatan para anak balita di rumah tangga miskin menjadi lebih terjamin dan menurunkan risiko tengkes. Namun, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam penentuan penerima bantuan tersebut agar tepat sasaran.
Untuk meningkatkan kualitas kesehatannya, para pemuda dan anak-anak perlu menerapkan gaya hidup sehat, seperti olahraga teratur serta makan makanan sehat, misalnya buah dan sayur, tidak merokok, dan mengurangi makan makanan instan. Hal ini tentu memerlukan komitmen yang kuat dari diri mereka sendiri dan dukungan dari lingkungan terdekatnya.
M Nurul Alam Hasyim, Pegawai di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Utara