Pemuda Dalam Impitan Demografi dan Pandemi
Hanya sepersepuluh pemuda Indonesia berpendidikan tinggi, sepertiga lebih dari mereka menjadi pekerja kasar.
Para pemuda Indonesia akan menghadapi tantangan besar bonus demografi tahun 2030. Kalangan pemuda dengan pendidikan dan keterampilan rendah akan bertemu penduduk muda lain dengan kualifikasi tinggi, di pasar kerja yang menyusut karena dampak pandemi.
Besarnya populasi pemuda tidaklah cukup menjadi modal sumber daya manusia untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Besarnya jumlah perlu dibarengi juga dengan unsur kualitas yang antara lain tecermin dari capaian tingkat pendidikan dan keterampilan.
Profil pemuda menurut hasil Sensus Ekonomi Nasional tahun 2020 mencapai 64,50 juta jiwa atau hampir seperempat (23,86 persen) total penduduk Indonesia tersebut, terbilang belum menunjukkan kondisi ideal. Hal ini tecermin dari data statistik Pemuda Indonesia.
Dilihat dari aktivitas utamanya, lebih dari separuh pemuda Indonesia (51,98 persen) berstatus sebagai bekerja. Bahkan, masih ada sekitar 21,08 persen pemuda usia 16-18 tahun yang juga bekerja.
Seharusnya, penduduk muda pada usia tersebut masih perlu membekali diri dengan pendidikan formal. Pendidikan menjadi variabel penting tidak hanya terkait dengan persaingan dalam mencari kerja, melainkan juga dalam hal menciptakan lapangan kerja.
Berdasarkan data Statistik Pemuda Indonesia tahun 2020, sekitar 74 persen pemuda Indonesia baru menamatkan pendidikan sampai di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA). Hanya sepersepuluh pemuda Indonesia yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga di tingkat perguruan tinggi.
Ada pula pemuda Indonesia yang sudah bekerja. Sayangnya, sebagian besar dari mereka diisi oleh tamatan pendidikan rendah. Sebanyak 36,32 persen adalah tamatan SD, SMP, bahkan tidak tamat SD. Proporsi pemuda bekerja yang tamat SMA/sederajat mencaku hampir separuh (48,15 persen), sedangkan proporsi pemuda bekerja yang berasal dari tamatan perguruan tinggi hanya 15,53 persen.
Hasil survei BPS tersebut juga menunjukkan, lebih dari dua pertiga pemuda (67,30 persen) yang bekerja di sektor jasa ada di perkotaan. Selain itu, jika dilihat dari jenis pekerjaannya, mayoritas pemuda Indonesia masih di level pekerja kerah biru/pegawai tingkat rendah.
Sepertiga lebih pemuda (32,40 persen) jenis pekerjaan utamanya adalah sebagai tenaga produksi operator alat angkutan dan pekerja kasar, diikuti tenaga usaha penjualan (21,57 persen), tenaga usaha tani, kebun, ternak, ikan, hutan dan perburuan (19,78 persen), dan tenaga tata usaha (8,81 persen). Sementara posisi sebagai tenaga profesional sebesar 8,50 persen, dan tenaga kepemimpinan 0,61 persen.
Baca juga: Normal Baru dan Tantangan Penganggur Baru
Daya Saing Rendah
Potret pemuda Indonesia yang sebagian besar berpendidikan rendah dan menjadi pekerja kerah biru untuk perusahaan, menunjukkan rendahnya daya saing mereka. Kondisi demikian sejalan dengan laporan World Economic Forum (WEF) 2019 yang mencatat daya saing Indonesia berada di peringkat 50 dari 141 negara di dunia.
Peringkat daya saing tenaga kerja muda Indonesia itu turun lima peringkat dari tahun sebelumnya, seiring menurunnya skor indeks daya saing global (Global Competitiveness Index/ GCI) dari 64,9 menjadi 64,6.
Beberapa komponen menyebabkan GCI Indonesia merosot, diantaranya berkaitan dengan kondisi Sumber Daya Manusia (SDM), adopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang merosot tajam sebesar 5,7 poin dari 61,1 menjadi 55,4. Komponen pasar produk juga menurun 0,3 poin, serta kemampuan SDM dan pasar tenaga kerja melemah 0,1 poin.
Pada komponen kemampuan SDM, penurunan terlihat pada indikator kemampuan para lulusan, kemampuan digital pada populasi produktif, dan kemudahan mendapatkan tenaga kerja terampil. Sementara kapabilitas inovasi mendapat skor terendah 37,7 (dari skor maksimum 100). Kondisi ini menyebabkan daya saing Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Sementara itu Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) sebagai instrumen yang menggambarkan kemajuan pembangunan pemuda di Indonesia baru mencapai separuh dari nilai maksimum 100. Komponen IPP terkait pencapaian di bidang lapangan dan kesempatan kerja juga masih mencatat skor terendah dibanding komponen lainnya, meski telah meningkat dari 40,00 (2018) menjadi 45,00 (2019).
Baca juga: Jalan Terjal SMK Era Digital
Pendidikan dan Keterampilan
Data BPS menyebutkan hanya 12,99 persen pemuda yang mempunyai usaha sendiri, sementara lebih dari separuh pemuda bekerja sebagai buruh/karyawan (51,82 persen). Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak pemuda yang menggantungkan masa depannya sebagai buruh atau bekerja kepada pihak lain dan memperlihatkan masih minimnya inovasi, kreasi, serta keberanian pemuda untuk mengambil risiko.
Data Himpunan Pengusaha Muda Indonesia juga mencatat, jumlah wirausahawan Indonesia, termasuk wirausaha muda pada tahun 2019 masih sekitar tiga persen dari jumlah penduduk. Persentase tersebut masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lainnya.
Peran pemuda dalam menciptakan lapangan kerja akan semakin penting di masa depan. Hal ini mengingat pandemi Covid-19 telah menggerus berbagai bidang pekerjaan pada satu sisi sehingga menambah angka pengangguran penduduk muda.
Baca juga: Wajah Pendidikan Indonesia di ASEAN
Hasil kajian Ruth dan Yanti, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada Juli 2020 juga menunjukkan kesimpulan yang sama. Penelitian bertajuk “Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap PHK dan Pendapatan Pekerja di Indonesia” menunjukkan terjadinya PHK 34,5 persen pekerja muda pada kelompok usia 15-24 tahun. Penelitian ini juga menganalisis lebih jauh perkiraan penurunan jam kerja hingga 23 persen pada seluruh pekerja muda.
Pada sisi lain, pandemi juga membuka sejumlah peluang bidang usaha baru. Hanya saja, peluang baru tersebut memerlukan proses kreatvitas dan keterampilan memadai agar terealisasi secara kongkret. Dalam konteks inilah pendidikan dan keterampilan menemukan makna yang semakin penting di masa mendatang.
Apalagi, Tahun 2024 diharapkan jumlah wirausahawan Indonesia mencapai 4 persen untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berdaya saing. Untuk itu, peningkatan kualitas pemuda yang menurut Undang-Undang No.40 tahun 2009 adalah warga negara Indonesia berusia 16 sampai 30 tahun itu harus terus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Potret kualitas pemuda Indonesia dari capaian pendidikan dan ketenagakerjaan saat ini memerlukan solusi cepat dan sinergis dari berbagai pihak. Upaya meningkatkan keterampilan (upskilling) maupun pembekalan ulang (reskilling) sangat diperlukan agar pemuda Indonesia lebih produktif dan kompetitif sehingga pada gilirannya mampu menjadi pendukung bonus demografi secara nyata.
(LITBANG KOMPAS)