Berdasarkan Sakernas Agustus 2019, terdapat 126,5 juta pekerja di Indonesia. Sekitar 56 persen di antaranya bekerja di sektor informal yang sangat terdampak Covid-19.
Oleh
Sonny Harry B Harmadi
·5 menit baca
”Momentumnya adalah sekarang tatkala kita, antara 2020 hingga 2024, berada di puncak periode bonus demografi. Jika kita lebih fokus mengembangkan kualitas SDM dan menggunakan cara-cara baru, maka saya yakin bonus demografi menjadi bonus lompatan kemajuan….” (Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi, 16/8/2019)
Sejak memasuki periode bonus demografi di 2012, rasio ketergantungan Indonesia terus turun di bawah angka 50. Maknanya, setiap 100 penduduk usia produktif menanggung kurang dari 50 penduduk usia nonproduktif.
Data proyeksi penduduk 2015-2045 BPS berdasarkan Survei Penduduk Antar-Sensus (Supas) 2015 mendukung penggalan pidato kenegaraan Presiden Jokowi di atas. Indonesia berada di puncak bonus demografi selama 2020 hingga 2024, dengan rasio ketergantungan di angka 45. Periode ini disebut the window of opportunity, sebuah kesempatan singkat yang harus dimanfaatkan secara cepat.
Setelah 2024, perlahan tapi pasti, rasio ketergantungan terus naik. Beban tanggungan penduduk usia produktif akan meningkat seiring kenaikan rasio ketergantungan. Bonus demografi diperkirakan berakhir antara tahun 2038 hingga 2041 mendatang.
Indonesia berada di puncak bonus demografi selama 2020 hingga 2024, dengan rasio ketergantungan di angka 45.
Namun, harapan dan kenyataan tak selamanya sama. Memasuki 2020, dunia dilanda pandemi global Covid-19, tak terkecuali Indonesia. Covid-19 tidak hanya menular secara medis, tetapi juga sosial-ekonomi. Krisis kesehatan telah berubah menjadi krisis kemanusiaan yang menimbulkan krisis ekonomi dan sosial secara global. Menghentikan sebagian besar aktivitas dunia. Setidaknya 15 negara yang masuk 20 besar negara dengan perekonomian terbesar di dunia justru menghadapi kenyataan jumlah kasus positif Covid-19 terbanyak di dunia.
Wabah ini menghantam seluruh lapisan masyarakat, baik kelompok kaya, menengah, miskin, semua umur, mulai dari bayi hingga lansia, tanpa terkecuali.
Butuh strategi yang tepat agar di masa pandemi ini, the window of opportunity tak berubah jadi the door to disaster.
Sebuah negara dikatakan berhasil memanfaatkan bonus demografi jika mampu mentransformasikannya menjadi bonus kesejahteraan. Intinya, sebelum periode bonus demografi berakhir pada 2038-2041, Indonesia sudah harus masuk dalam kelompok negara dengan IPM sangat tinggi dan negara berpendapatan per kapita tinggi.
Setelah berakhirnya periode bonus demografi, jika pendapatan per kapita tinggi, penduduk lansia dapat membiayai hidupnya dari tabungan dan aset produktif. Tak bergantung pada penduduk usia produktif. Apabila ini terwujud, setelah 2041 kita dapat meraih the second demographic dividend (bonus demografi kedua).
Mitigasi dampak pandemi
Setidaknya ada empat pilar utama bonus demografi, yaitu pendidikan, kesehatan, produktivitas (lapangan kerja), dan keluarga berencana (KB). Mutlak dibutuhkan upaya mitigasi dampak Covid-19 terhadap keempatnya.
Menyikapi kondisi yang ada, pemerintah bersama pelaku pendidikan nasional perlu menciptakan beberapa skenario pembelajaran. Bukan hanya merancang metode pembelajaran secara digital, melainkan juga nondigital. Tetap harus ada strategi pembelajaran tanpa teknologi.
Mutlak dibutuhkan upaya mitigasi dampak Covid-19 terhadap keempatnya.
Tak semua siswa dan mahasiswa memiliki komputer dan akses internet. Kalaupun punya, belum tentu mampu membiayai pembelajaran dengan teknologi. Jika hanya mereka yang kaya dapat tetap belajar, ketimpangan akan semakin tinggi. Dalam kondisi pandemi, kita dituntut untuk mencari solusi agar pendidikan tetap berjalan dan inklusif.
Kita juga harus memastikan angka putus sekolah (drop out) pasca-Covid-19 tidak naik. Putusnya waktu belajar bagi sebagian penduduk usia sekolah, ditambah kesulitan ekonomi, dapat berpengaruh terhadap motivasi siswa untuk melanjutkan pendidikan.
Jika angka putus sekolah naik, variabel harapan lama sekolah penduduk usia muda dalam IPM akan turun. Berpengaruh terhadap kinerja pembangunan manusia Indonesia secara keseluruhan. Setelah pandemi berakhir, pemda bersama sekolah harus melakukan strategi ”jemput bola” bagi siswa yang tidak kembali ke sekolah.
Pilar kedua, kesehatan. Konsentrasi pengerahan sumber daya untuk penanganan Covid-19 dapat berakibat pada menurunnya sumber daya untuk pelayanan kesehatan lainnya. Program imunisasi, perbaikan gizi anak balita, pelayanan kesehatan ibu hamil dan melahirkan, ataupun penanganan penyakit lainnya dapat mengendur. Jika tidak ditangani secara proporsional, justru kita bisa mengalami penurunan kinerja kesehatan pasca-Covid-19.
Setidaknya fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (FKTP) sebagai garda terdepan tetap dapat memberikan layanan kesehatan non-Covid-19. Dibarengi prosedur untuk mencegah penularan Covid-19.
Ketersediaan pangan harus tetap dijaga untuk memenuhi gizi penduduk. Terutama pemenuhan gizi 1.000 hari pertama kehidupan di mana penyediaan gizi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak di bawah 2 tahun menjadi prioritas. Kita tak ingin generasi emas ini terabaikan. Jika gizi ibu hamil dan bayi tak terpenuhi, akan meningkatkan risiko kematian bayi dan berdampak penurunan usia harapan hidup penduduk Indonesia.
Ketersediaan pangan harus tetap dijaga untuk memenuhi gizi penduduk.
Pilar ketiga menyangkut produktivitas dan lapangan kerja. Pandemi menyebabkan tambahan pengangguran sulit dihindari. Aktivitas ekonomi perkotaan mengalami kontraksi dengan konsekuensi menurunnya kesempatan kerja.
Berdasarkan Sakernas Agustus 2019, terdapat 126,5 juta pekerja di Indonesia. Sekitar 56 persen di antaranya bekerja di sektor informal yang sangat terdampak Covid-19. Di saat butuh lapangan kerja yang layak agar kita dapat mentransformasi bonus demografi jadi bonus kesejahteraan, justru kesempatan kerja turun dan pengangguran naik.
Pemerintah beserta dunia usaha perlu merespons dengan tepat. Pendataan pengangguran sangat penting. Data pengangguran bisa diperoleh selama pendataan penerima program perlindungan sosial yang diluncurkan pemerintah bagi masyarakat terdampak Covid-19.
Pemerintah perlu punya data pengangguran yang lebih baik, by name by address. Serupa dengan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) untuk program perlindungan sosial, kita perlu memiliki data terpadu pencari kerja.
Dengan data ini, pemerintah dapat memetakan karakteristik pencari kerja. Mulai dari umur, jenis kelamin, pendidikan, keahlian, pengalaman kerja, dan sebagainya. Informasi demografi, sosial, dan ekonomi pencari kerja berguna untuk perencanaan pasar kerja.
(Sonny Harry B Harmadi, Ketua Umum Koalisi Kependudukan Indonesia/ Pengajar Departemen Studi Pembangunan FDKBD ITS)