Profesor Tidak Tercatat dan Ijazah Lulusan
Proses untuk menjadi profesor bagi dosen di Indonesia terbilang rumit. Mulai dari aturan terus berganti, tidak ada kisi-kisi, hingga kekurangpahaman penilai atas aturan yang berlaku.
—
Urusan keprofesoran di Indonesia memang beragam sudut pandangnya, tulisan bernada positif dan negatif silih berganti muncul di media massa. Beberapa terbaru yang bernada negatif seperti sulitnya persyaratan hingga melahirkan joki (Profesor karena Joki, Syamsul Rizal, Kompas, 15/12/2021), tingginya biaya yang dibutuhkan (Profesor, Publikasi, dan Biaya Ekonomi, A Khomsan, Kompas, 7/3/2022), sampai terjadinya gugatan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 yang berakhir ditolak majelis hakim pada 29 Maret 2022.
Sementara, yang bernada positif justru menginformasikan bahwa di negara maju, persyaratannya lebih sulit (Menakar Guru Besar Kita, Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Kompas, 18/1/2022), biayanya juga tidak mahal (Jadi Guru Besar Berbiaya Minimalis, Tauchid Komara Yuda, Kompas.id, 20/3/2022), dan proses pengusulannya cepat (Sutawi, Detik, 25/32022). Sulit-mudah, mahal-murah, dan lama-cepat adalah soal persepsi dan kasuistik, sehingga semua pendapat bisa sama benarnya.
Kabar terbaru, seorang profesor sekaligus rektor universitas di Jakarta dilaporkan sebagai profesor gadungan. Sang rektor menyatakan gelar profesornya diberikan oleh universitasnya sendiri dan salah satu universitas di Malaysia.
Kita yang selama ini disuguhi berbagai tulisan terkait proses keprofesoran di Indonesia tentu memahami pernyataan tersebut tidak sesuai prosedur yang berlaku di sini. Meskipun, pengakuan dari universitas Malaysia bisa jadi benar.
Baca juga: Guru Besar, Jurnal Predator, dan Insentif Jurnal
Jika keprofesoran dapat ditetapkan oleh tiap universitas, gugatan dosen Universitas Indonesia (UI) atas Pasal 50 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tidak perlu terjadi karena dalam pasal itu tertulis: ”…pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu … ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Isi ayat tersebut berlaku di Malaysia, tetapi belum di Indonesia. Sehingga, persetujuan tim penilai internal UI, tidak serta-merta menjadikan pengusul sebagai profesor.
Saya pernah berseloroh dengan rekan dari universitas ternama Malaysia. Jika saya melamar dosen di kampusnya, apakah gelar profesor saya diakui? Pertanyaan yang sulit dijawab, katanya. Lalu saya tambahkan, menjadi profesor di Indonesia tidak gampang, seolah mengejek di Malaysia lebih mudah. Dia langsung menyahut, ”Yes, I know, since yours is centrally managed!” disertai ulasan bahwa menjadi profesor di Malaysia sulit dari aspek rekam jejak, bukan secara manajemen dan administrasinya.
Ulasannya seperti balas mengejek saya. Bahkan katanya, sejak dipimpin rektor yang memiliki h-indeks 90, kampusnya memperketat syarat pengajuan profesor dengan h-indeks minimal 15. Jika menggunakan syarat ini, di Indonesia baru ada ratusan profesor, bukan 6.000-an seperti saat ini. H-indeks seseorang bisa dihitung dengan beberapa cara, salah satunya Scopus. H-indeks 15 artinya ada minimal 15 publikasi terindeks Scopus yang masing-masing dirujuk 15 publikasi Scopus lain.
Penetapan terpusat
Penjelasan rekan tersebut memicu saya menelisik dokumen keprofesoran di Malaysia. Saya sepakat bahwa menjadi profesor di sana lebih sulit. Bukan hanya syarat publikasi di jurnal internasional bereputasi yang jumlahnya puluhan (di Indonesia cukup minimal satu), melainkan juga persyaratan pengalaman memimpin riset dengan dana minimal 500 juta, membimbing mahasiswa doktoral, menjadi pembicara kunci, atau editor jurnal, atau me-review manuskrip jurnal bereputasi.
Belum lagi persyaratan h-indeks minimal yang bisa ditetapkan sendiri oleh perguruan tinggi. Di kampus rekan saya yang memakai h-indeks minimal 15 tersebut, gelar profesor saya otomatis gugur. Aturan seperti memimpin riset, membimbing, me-review, dan lain-lain juga tertuang dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen (PO PAK 2019) yang digunakan di Indonesia, namun sifatnya ”atau” bukan ”dan”.
Berarti harus diakui, ejekan rekan saya ada benarnya. Ada, artinya tidak semua. Terlepas dari panjangnya proses, penetapan secara terpusat mestinya baik, karena untuk keperluan penjaminan mutu. Tetapi praktiknya, bagi dosen perguruan tinggi swasta, alurnya jadi lebih panjang, karena harus melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL-Dikti) dengan pernik-pernik tambahan.
Saya menunggu sekitar 3 tahun untuk memperoleh surat keputusan profesor dan separuhnya dijalani di LL-Dikti.
Saya menunggu sekitar 3 tahun untuk memperoleh surat keputusan profesor, dan separuhnya dijalani di LL-Dikti. Kekurangan angka atas berkas usulan tidak saya alami di internal kampus, tetapi terjadi beberapa kali di LL-Dikti. Bahkan, kekurangan awal yang sudah ditambahi berkas dengan jumlah tiga kali lipat permintaan, dikembalikan lagi karena kekurangannya justru makin banyak, tanpa disertai informasi resmi penyebabnya.
Secara tidak resmi saya terinfo, bahwa reviewer-nya berubah pikiran. Jika pedoman untuk menilainya jelas dan rinci, hal ini seyogianya tidak terjadi. Kecuali sejak awal reviewer kurang memahami pedoman atau kurang menyeluruh membaca berkas usulan.
Drama di LL-Dikti bisa berlanjut di kementerian. Di tim penilai pusat, penentuan suatu publikasi bereputasi atau tidak, bisa membutuhkan waktu panjang, padahal mudah saja memeriksanya secara daring, kemudian membaca kontennya.
Baca juga: Peneliti dan Pendanaan Riset Ilmiah
Publikasi saya terindeks Scopus dan masuk Q (kuartil) 1—yang merupakan kuartil tertinggi—ditolak tim penilai pusat sebagai tidak terindeks. Setelah disusuli surat berisi tautan daring Scimago untuk memeriksa keterindeksan dan kuartil, serta dilampiri surat keputusan bahwa publikasi ini memperoleh hibah publikasi internasional dari kementerian yang sama, maka persetujuan langsung diberikan.
Pingpong penolakan dan konfirmasi ulang ini memakan waktu tiga bulan karena diproses melalui LL-Dikti. Tim penilai yang kurang lihai menelisik reputasi jurnal, idealnya dibantu tenaga administrasi sehingga tim penilai angka kredit kampus, LL-Dikti, dan pusat dapat lebih fokus menilai konten. Pun, akan lebih adil, jika rentang nilai diperkecil bukan 0-40, tetapi dibagi per kuartil atau lainnya, agar tidak terjadi penurunan secara drastis berdasarkan persepsi individu, misalnya dari 40 menjadi hanya 15. Padahal saat diperiksa, indeks dan kuatilnya valid. Jamak terjadi, penilai tidak memiliki bidang yang sama dengan pengusul sehingga bisa menilai sangat rendah.
Kasus dosen UI juga bisa dihindari jika kisi-kisi publikasi bereputasi tertuang secara jelas di Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO PAK) dan dipahami penilai di semua level. Dalam pertimbangan penolakan gugatan oleh dosen UI, hakim menyatakan perlu integrasi antara tim penilai perguruan tinggi dan tim penilai kementerian (juga penilai LL-Dikti, tentu), untuk menghindari kemungkinan ada perbedaan cara menilai.
Banyak dosen bahkan penilai belum memahami bahwa kementerian menggunakan SJR (SCImago Journal Rank) lebih dari 0,1 atau faktor dampak lebih dari 0,05 untuk menentukan reputasi suatu jurnal. Angka-angka rinci ini baru tertuang di PO PAK 2019, dan dapat diperiksa di laman Scimago atau Web of Science.
Mengacu angka tersebut, maka karya publikasi dosen UI untuk pengusulan keprofesoran seyogianya ditolak sejak internal kampus. Namun karena saat itu masih digunakan PO PAK 2014, yang hanya menuliskan terindeks atau memiliki faktor dampak tanpa angka, maka acuan reputasi jurnal kabur.
Sesungguhnya, tanpa melihat skor SJR, pemeriksaan di Scimago menunjukkan bahwa Far East Journal of Mathematical Science (FJMS) yang digunakan untuk memenuhi syarat khusus profesor sudah tidak terindeks sejak 2017. Di Web of Science pun tidak muncul faktor dampaknya. Sementara persetujuan internal kampus dan penolakan penilai pusat terjadi pada 2019.
Baca juga: Guru Besar yang Nyata
Terus bergantinya aturan, ketiadaan kisi-kisi, dan kekurangpahaman penilai atas aturan yang berlaku dapat membuat tim penilai bertafsir bebas, bahkan bisa berubah pikiran di tengah jalan, atau istilah hakim: kurang terintegrasi. Sebentar lagi akan terbit PO PAK terbaru yang memberikan pilihan syarat khusus bisa publikasi atau karya lain yang fenomenal atau setara. Kisi-kisi ”fenomenal” dan ”setara” perlu dijabarkan agar tidak multitafsir.
Kerumitan inilah yang membuat keprofesoran di Indonesia belum ditentukan oleh internal kampus seperti di Malaysia. Oleh karena itu, sanggahan profesor rektor yang menyatakan keprofesorannya tidak tercatat karena tidak mendapatkan tunjangan negara menjadi tidak logis, sebab penganugerahan oleh universitasnya sendiri belum memungkinkan di sini.
Namun, benarkah diperoleh dari Malaysia? Dari penjelasan rekan saya, dokumen yang saya baca, serta penelusuran rekam jejak sang profesor rektor, rasanya juga tidak. Rektor menandatangani ijazah lulusan sehingga gelar dan jabatan akademik yang resmi tercatat secara negara dari seorang penandatanganlah yang membuat ijazah juga resmi diakui. Nah, apakah profesor rektor yang tengah dilaporkan ini juga membubuhkan keprofesorannya di ijazah para lulusan?
Christina Eviutami Mediastika, Profesor di Universitas Kristen Petra