Profesor karena Joki
Kalau pada UMPTN, yang menjadi gacok biasanya para senior yang telah masuk PTN dan terbukti hebat, maka yang menjadi gacok bagi kandidat profesor ini biasanya adalah dosen yang lebih yunior, tetapi sangat produktif.
Grup Whatsapp tim penilai jabatan akademik dosen pusat beberapa waktu yang lalu dihebohkan oleh berita adanya jasa konsultan untuk mempercepat proses menjadi guru besar.
Layaknya sebuah konsultan jasa, biro ini pun berani memasang janji: garansi uang kembali jika SK (surat keputusan) guru besar tidak terbit. Biro jasa ini pun memberikan bonus untuk memublikasikan artikel.
Sebegitu rendahkah derajat profesor di Indonesia? Dulu istilah joki atau gacok dikenakan untuk para siswa. Sekarang istilah joki ini sudah memasuki wilayah yang paling tinggi, yaitu pada jabatan akademik profesor. Sungguh dalam bidang akademik, negara kita sudah kehilangan segala-galanya, termasuk kehilangan karakter.
Sebagai seorang dosen yang bertugas sejak 1987, saya sudah kenyang dengan pengalaman menjaga ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, karena hampir setiap tahun saya ditugasi rektor untuk menjadi pengawas UMPTN.
Beberapa hari sebelum ujian berlangsung, kami, semua pengawas, di-training terlebih dahulu. Mulai dari hal-hal yang sangat formal, seperti cara menulis nama dan tanda tangan di lembar jawaban oleh peserta ujian, sampai dengan hal-hal yang tidak formal, misalnya bagaimana mendeteksi calon peserta ujian yang curang.
Sekarang istilah joki ini sudah memasuki wilayah yang paling tinggi, yaitu pada jabatan akademik profesor.
Karena saya sudah bertahun-tahun mengikuti training tersebut, saya menjadi mengerti bahwa kecurangan yang ditunjukkan oleh calon mahasiswa semakin lama semakin canggih saja. Dan memang, banyak sekali kisah tertangkapnya mahasiswa yang curang. Bahkan beberapa gacok atau joki sering tertangkap dalam setiap UMPTN berlangsung.
Gacok atau joki adalah pekerja haram yang dipakai untuk membantu calon mahasiswa yang mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Gacok sangat menghancurkan asas keadilan dalam sebuah persaingan. Karena adanya gacok, calon mahasiswa yang bodoh bisa mengalahkan calon mahasiswa yang pandai. Akibatnya juga menjadi panjang dan sangat merugikan bangsa kita.
Mahasiswa yang tak pantas lulus, tapi lulus ini ke depan secara legal bisa menjadi apa saja: PNS, ABRI, pemimpin partai politik, konsultan hukum, dan seterusnya. Mereka secara mental dan moral akan sulit menjalani pekerjaannya. Ini karena di atas landasan atau fondasi yang rusak secara moral akan sulit dibangun sesuatu yang baik dan berkah.
Baca juga : Plagiasi dan Pembusukan Akademik
Syarat menjadi profesor
Sejak profesor diberi tunjangan kehormatan dan tunjangan profesi, gaji profesor menjadi sangat besar dibandingkan dengan gaji seorang lektor kepala. Dari lektor kepala menjadi profesor dibutuhkan hanya satu langkah lagi.
Apakah syarat untuk menjadi profesor sangat berat? Tidak. Syaratnya, seseorang harus bergelar doktor dan punya satu artikel yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi (JIB).
Sejak diberlakukannya syarat publikasi di JIB sebagai pengarang pertama untuk menjadi seorang profesor, banyak dosen yang mengeluh. Padahal, hanya satu buah publikasi pada JIB yang diminta.
Persyaratan ini sebetulnya tidak sulit, tidak berlebihan, sangat logis, dan masuk akal, karena pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti), seorang mahasiswa doktor atau S-3, sebelum dinyatakan lulus, harus juga memublikasikan satu artikel pada JIB.
Karena tugas seorang profesor, salah satunya harus mampu membimbing mahasiswa S-3, maka menjadi logis apabila sebelum menjadi profesor, seorang kandidat profesor harus menulis pada JIB terlebih dahulu, minimal satu buah. Bahkan, sebenarnya, syarat satu buah publikasi pada JIB terlalu sedikit karena mahasiswa S-3 yang baru lulus pun dipersyaratkan satu buah publikasi pada JIB oleh SN Dikti.
Bagi kandidat profesor yang merasa kesulitan memublikasikan artikelnya pada JIB, tentu saja itu menjadi cobaan yang amat berat. Hanya satu buah artikel di JIB, lalu jadi profesor yang bergaji dan berderajat tinggi!
Ini tentu saja angan-angan dan mimpi yang indah. Angan-angan dan mimpi indah inilah yang ditangkap juga oleh joki atau gacok yang ingin memanfaatkan peluang bisnis haram ini. Sekarang joki atau gacok ini sudah secara terbuka mengoperasikan bisnisnya.
Berbeda dengan gacok yang bekerja untuk peserta ujian masuk PTN, gacok yang bekerja untuk menulis artikel di JIB untuk kepentingan kandidat profesor ini tidak ada yang berani mengusik, karena ini menyangkut dosen senior yang hampir menjadi profesor dan sesama kolega di universitas pula.
Banyak contoh kasus kerja haram seperti ini yang tidak bisa diselesaikan di universitas. Misalnya, beberapa kasus plagiat yang tidak tuntas di universitas. Karena di universitas, kita mengasumsikan semua dosen berkomitmen untuk menjunjung moral yang tinggi. Maka, kalaupun ada kasus plagiat, misalnya, kita selalu mencoba untuk membuang muka, membuang badan, dan mencoba menghilangkannya dari memori.
Para dosen lebih memilih berperilaku pura-pura tidak tahu.
Para dosen lebih memilih berperilaku pura-pura tidak tahu. Bukan karena kita setuju dengan plagiat, tetapi kita malu untuk membahasnya. Karena ini persoalan tabu, sehingga untuk membicarakannya pun kita merasa tak pantas. Dosen di Indonesia sangat rendah hati.
Kerendahan hati inilah yang dimanfaatkan oleh para gacok dan kandidat profesor yang tak tahu malu. Para kandidat profesor jahat ini paham betul kondisi psikologis para dosen yang menjadi pemeriksa pangkat akademik di level fakultas, dan level universitas.
Perbuatan jahat ini begitu mudahnya lolos di level fakultas dan universitas. Sementara di level Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, perilaku ini sulit terdeteksi karena pemeriksa pangkat akademik tidak tahu kredibilitas kandidat prosesor yang diusulkan universitas. Di samping itu, pemeriksa pangkat akademik tidak mungkin mencurigai koleganya sendiri sebagai kandidat profesor.
Baca juga : Pendidikan Tinggi dan Perburuan Gelar
Siapa yang menjadi gacok?
Kalau pada UMPTN, yang menjadi gacok biasanya adalah para senior yang telah masuk PTN dan sudah terbukti hebat, maka yang menjadi gacok bagi kandidat profesor ini biasanya adalah dosen yang lebih yunior, tetapi sangat produktif dalam meneliti dan menulis.
Sampai saat ini memang belum ada kasus yang terungkap ke permukaan tentang para profesor yang membuat karya ilmiahnya dengan memanfaatkan jasa gacok. Namun, kita bisa menduga dan mendeteksi dari beberapa fakta yang ada.
Apakah ciri-ciri atau indikator seseorang—yang pantas diduga—telah menggunakan gacok untuk menuju jenjang profesor?
Paling tidak, ada tiga indikatornya. Pertama, kandidat profesor ini biasanya tidak pernah melakukan penelitian tentang apa yang telah ditulisnya pada JIB. Penelitian dia tentang A, misalnya, tetapi dia menulis sesuatu tentang B. Padahal, kandidat profesor ini tidak mempunyai kepakaran tentang B.
Kedua, sebelum dia menulis di JIB tentang B, seharusnya ada laporan-laporan penelitian dan artikel-artikel lainnya tentang masalah B di jurnal nasional, di jurnal nasional terakreditasi, dan publikasi-publikasi lainnya oleh kandidat profesor ini. Dengan demikian, kepakaran profesor ini terlihat prosesnya, dari rekam jejak yang ada.
Ketiga, sesudah menjadi profesor, profesor joki ini tidak aktif lagi memublikasikan karyanya di JIB.
Apa yang harus dilakukan?
Di negara-negara maju, profesor adalah seorang ketua laboratorium yang menguasai otoritas keilmuan yang tinggi. Dengan demikian, apabila sebuah universitas ingin mengangkat jabatan akademik profesor, universitas itu membuka iklan perekrutan profesor.
Dari sejumlah calon yang ada dilakukan seleksi berkas, berdasarkan rekam jejak dalam penelitian, publikasi, dan lain-lain. Berdasarkan seleksi tersebut, biasanya terpilih 3-5 calon profesor. Lalu semua calon tersebut diminta melakukan presentasi dan diskusi (tanya-jawab) berdasarkan keilmuan yang mereka kuasai. Dari seleksi ini, baru ditentukan profesor yang dianggap memenuhi syarat. Sungguh sebuah seleksi yang sangat ketat dan hati-hati.
Untuk kasus di Indonesia, meskipun kita sudah sepakat bahwa syarat untuk menjadi profesor harus ada syarat khusus berupa satu tulisan di JIB sebagai pengarang pertama, saya berpendapat, seorang calon profesor seharusnya melakukan presentasi di hadapan tim reviewer tentang bidang ilmunya. Saya kira, meminta calon profesor melakukan presentasi ini bukanlah sesuatu yang berlebihan.
Syamsul Rizal, Profesor di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, dan Tim Penilai Jabatan Akademik Dosen Pusat