Karakter dasar (fitrah) gerakan radikal berusaha melakukan propaganda melalui isu-isu keagamaan dengan tidak segan-segan merekayasa ajaran Islam untuk menyukseskan target yang diinginkan.
Oleh
M SAEKAN MUCHITH
·5 menit baca
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah merilis kriteria penceramah radikal. Penceramah dianggap radikal jika memiliki lima ciri. Pertama, anti-Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri, yaitu mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham ataupun agama.
Ketiga, menanamkan sikap antipemerintah yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan menyebar berita bohong (hoaks). Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan dan perubahan serta intoleran terhadap perbedaan ataupun keagamaan. Kelima, memiliki pandangan antibudaya atau anti-kearifan lokal keagamaan.
Dari kelima ciri itu, yang paling dikritisi sebagian masyarakat adalah ciri nomor dua, yakni tentang paham takfiri. Bagi kelompok yang sejak awal sudah memiliki ”tabungan keyakinan” radikal, mereka memahami bahwa menuduh kafir agama lain itu perintah agama.
Bagi kelompok yang sejak awal sudah memiliki ”tabungan keyakinan ” radikal, mereka memahami bahwa menuduh kafir agama lain itu perintah agama.
Bahkan lebih dari itu, perintah kafir itu bukan perintah manusia, tetapi perintah Tuhan yang harus dilaksanakan. Dengan bangga dan penuh percaya diri, mereka menyitir salah satu firman Allah, ”Sungguh telah kafir orang orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang orang kafir diantara mereka akan ditimpa azab yang pedih (QS Al Maidah: 73).
Berdasarkan ayat tersebut, sebagian kecil masyarakat mengatakan, jika mengafirkan agama non-Muslim merupakan ciri penceramah radikal, berarti BNPT telah merusak ajaran tauhid bagi umat Islam. Cara berpikir seperti inilah yang membahayakan keutuhan bangsa Indonesia yang sudah lama dibangun oleh para pendiri bangsa.
Makna ayat dan hadis
Ayat Al Quran dan hadis paling banyak dirujuk atau dijadikan landasan umat Islam dalam menjalankan realitas kehidupan. Sebab, berpegang teguh kepada Al Quran dan hadis akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Firman Allah swt: ”Maka jika datang petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkanya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thahaa: 123-124).
Rasul juga bersabda ”Aku tinggalkan padamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya yaitu kitab Allah (Al Quran) dan sunahku (hadits), (HR. AlBaihaqi).
Umat Islam yang memegang teguh Al Quran dan hadis akan memiliki sikap dan perilaku yang baik, damai, toleran, dan bahagia tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Kebaikan dirinya membawa kebaikan orang lain, kedamaian dirinya membawa kedamaian orang lain. Kebahagiaan dirinya harus menjadikan orang lain bahagia.
Dalam realitas masih ada pihak-pihak justru meneror, mengancam, mengadu domba, memfitnah, dan menebar kebencian, menghina, serta merendahkan orang lain dengan cara merekayasa makna ayat Al Quran ataupun hadis. Mereka merasa benar dan bangga mengafirkan agama lain dengan alasan perintah agama.
Al Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi semua manusia agar mengetahui perbedaan yang baik (haq) dan buruk (bathil) (QS Al Baqarah 185), selain itu Al Quran juga sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman (QS Al A'raf 52), Al Quran bisa dijadikan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang sabar atau berserah diri (QS An Nahl 89). Selain itu, Al Quran juga menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa (QS Baqarah 2-3).
Artinya, Al Quran diturunkan dimaksudkan untuk memberi petunjuk tiap-tiap manusia. Hanya orang-orang yang berhati mulia, beriman, berserah diri, sabar, dan takwa yang bisa menjadikan Al Quran sebagai sarana untuk mewujudkan kedamaian, ketenangan, kenyamanan dalam kehidupan.
Manusia yang hatinya kotor atau condong kepada kesesatan selalu merekayasa ayat untuk memenuhi ambisi pribadi dan kelompoknya dengan cara-cara yang kotor dan tidak bermartabat. Firman Allah, ”...Adapun orang orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat ayat mutasyaabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah ....” (QS Ali Imron: 7).
Pesan atau istilah yang ada dalam Al Quran seperti kriteria orang beriman, bertakwa, munafik, muysrik, dan kafir dimaksudkan sebagai pelajaran (petunjuk) bagi tiap-tiap umat Islam agar mereka berusaha memiliki sikap dan perilaku seperti yang ditentukan menurut Al Quran. Jika pesan atau istilahnya positif, misalnya beriman, bertakwa, bersabar, harus berusaha menyesuaikan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya jika pesan dan istilahnya negatif, seperti musyrik, munafik, dan kafir, harus berusaha menghindari atau menjauhi secara optimal agar tidak sampai memiliki ciri seperti yang ditentukan tersebut.
Al Quran sebagaj petunjuk bukan digunakan untuk menunjuk atau menjustifikasi orang lain. Kata kafir dalam Al Quran tidak dimaksudkan sebagai pembenar menuduh kafir kepada orang lain yang beda keyakinan (paham) ataupun agama, tetapi sebagai bahan instrospeksi diri sendiri untuk menjauhi agar tidak memiliki sifat-sifat kafir yang ditentukan Allah dalam firman-Nya.
Sesama manusia tidak memiliki kewenangan menjustifikasi kualitas kedekatan manusia dengan Allah (beribadah). Yang berwenang menentukan manusia itu mukmin, takwa, dan kafir hanya Allah swt. Tugas tiap-tiap manusia hanya berusaha menyesuaikan dengan sifat-sifat yang baik dan menjauhi sifat-sifat yang buruk.
Sesama manusia tidak memiliki kewenangan menjustifikasi kualitas kedekatan manusia dengan Allah (beribadah).
Bagaimana dengan BNPT?
BNPT sebagai lembaga negara yang dibiayai dengan uang rakyat dengan tupoksi penanggulangan terorisme sudah sangat tepat merilis lima kriteria penceramah radikal. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan renungan bagi seluruh bangsa Indonesia. Bagi penceramah (mubalig) supaya berhati-hati dalam menyampaikan kebenaran, bagi masyarakat umum agar bisa memilih siapa penceramah yang tepat untuk diundang dalam kegiatan keilmuan ataupun keagamaan.
Bagaimana respons masyarakat terhadap kriteria penceramah radikal bisa menunjukkan gambaran apakah mereka mempunyai potensi radikal atau tidak. Jika mereka melakukan protes atau keberatan terhadap paham takfiri sebagai salah satu ciri penceramah radikal, sangat mungkin mereka bagian dari penceramah radikal atau setidaknya pendukung gerakan radikal, begitu juga sebaliknya.
Karakter dasar (fitrah) gerakan radikal berusaha melakukan propaganda melalui isu-isu keagamaan dengan tidak segan-segan merekayasa ajaran Islam untuk menyukseskan target yang diinginkan. Isu yang cukup efektif agar bisa memasukkan ide gerakan radikal sampai saat ini melalui organisasi atau kegiatan keagamaan dengan mencari tafsir atau takwil teks agama yang menguntungkan pribadi dan kelompoknya meskipun tafsir atau takwilnya sesat dan menyesatkan.
BNPT tidak perlu ragu dalam melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan gerakan radikal yang berujung terorisme. Terorisme musuh besar kita bersama. Melawan terorisme adalah harga mati seperti halnya kita mempertahankan NKRI.
M Saekan Muchith, Dosen FITK UIN Walisongo Semarang; Pemerhati Pendidikan dan Sosial Keagamaan