Benang Merah Radikalisme dan Terorisme
Salah besar jika radikalisme hanya disematkan pada agama tertentu, semisal Islam. Karena semua punya potensi yang sama: jika salah pemahaman dan salah tafsir.
Kemenangan Taliban atas Amerika di Afghanistan, menjadikan pembicaraan seputar terorisme hangat kembali.
Pengamat dengan ragam pendekatan, seperti tak mau ketinggalan, ikut berpendapat. Namun sayang, masih ada yang gegabah dan menggeneralisasi penampilan tertentu sebagai ciri teroris.
Semua sepakat, jika terorisme adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa (extraordinary) yang perlu penanganan serius. Maka, glorifikasi kemenangan Taliban juga perlu meningkatkan kewaspadaan bersama. Sinergi antara pemerintah, pihak berwajib, dan seluruh elemen masyarakat mutlak diperlukan untuk menanggulangi gerakan terorisme.
Berbagai negara termasuk Indonesia telah berusaha memutus mata rantai terorisme, meskipun aksi-aksi mereka seperti tak pernah selesai. Bahkan terdapat tren baru dalam aksi-aksi kekerasan dan bom bunuh diri dengan melibatkan perempuan dan anak-anak.
Namun karena faktor human error dalam mempelajari agama, seseorang bisa terseret pada radikalisasi pemikiran.
Salah tafsir
Seseorang menjadi teroris sebenarnya karena berbagai persoalan yang sangat kompleks; bisa karena persoalan kemiskinan, ketidakadilan sosial, budaya kekerasan, kekalahan politik, dan bahkan salah tafsir agama. Agama pada hakikatnya tak mengajarkan sedikitpun budaya kekerasan, apalagi terorisme. Namun karena faktor human error dalam mempelajari agama, seseorang bisa terseret pada radikalisasi pemikiran.
Radikalisme pemikiran ini, sering disebut fundamentalisme, dan radikalisme dalam tindakan disebut terorisme.
Karen Armstrong dalam buku The Batlle for God: A History of Fundamentalism (2001) membenarkan, respons irasional terhadap sekulerisme dan krisis spiritual dunia modern memunculkan fundamentalisme radikal.
Menurut Muhammad Imarah (1999), fundamentalisme menyebabkan seseorang bersikap kaku, ekstrem, dan tidak segan-segan berperilaku dengan kekerasan dalam mempertahankan ideologinya.
Sementara Bassam Tibi (2000), menganggap fenomena fundamentalisme merupakan fenomena global dan dapat ditemui pada semua agama besar dunia. Fundamentalisme biasanya beriringan dengan radikalisme, terlebih lagi jika keinginan mereka terhalang oleh situasi sosial politik dan tidak tercapainya sebuah harapan dan cita-cita mereka.
Salah besar jika radikalisme hanya disematkan pada agama tertentu, semisal Islam. Karena semua punya potensi yang sama: jika salah pemahaman dan salah tafsir. Kesalahan tafsir agama, selain disebabkan kapasitas dan ekspektasi keilmuan agama; biasanya juga dipengaruhi afiliasi ideologi dan politik radikal. Kemudian membentuk semacam budaya hasil ekspresi keagamaan yang secara teologis bersifat eksklusif.
Jika melacak perspektif sejarah, kemunculan radikalisme Islam adalah akibat kekalahan umat Islam terhadap Barat. Kemudian terdapat sebagian umat Islam yang antipati dan selalu bermusuhan dengan Barat.
Kelompok radikal ini, punya tokoh-tokoh yang selalu menginspirasi, membakar amarah, dan semangat revolusi. Menurut John Elposito (2003), mereka di antaranya Hasan al-Bana (1906-1949), pendiri Ikhwanul Muslimin Mesir, serta Maulana Maududi (1903-1979) pendiri Jamaat Islami di Pakistan dan Sayyid Qutub.
Sementara berkecambahnya aliran radikalisme di Indonesia, sangat dimungkinkan juga terinspirasi pada ketiga tokoh ini.
Di samping itu, radikalisme terjadi karena proses kesalahan manusia; baik yang dilakukan melalui pendidikan di sekolah, masyarakat, dan keluarga, yang tidak berjalan dengan baik dan jauh dari ajaran para leluhur yang menjunjung tinggi kearifan lokal.
Sebagaimana pengakuan dari eks narapidana teroris (napiter). Ia menjadi teroris berawal dari keterlibatannya dalam kegiatan kelompok yang sering membahas doktrin-doktrin keagamaan, sampai akhirnya melakukan aksi terorisme.
Faktanya lagi, maraknya gerakan ideologi transnasional yang tidak sesuai dengan pancasila telah memengaruhi pola hidup sebagian masyarakat, termasuk generasi muda, perempuan bahkan anak-anak.
Gerakan radikalisme secara nyata semakin masif di tengah-tengah masyarakat, akibat kelalaian guru, sekolah, orangtua, dan pemerintah.
Gerakan radikalisme secara nyata semakin masif di tengah-tengah masyarakat, akibat kelalaian guru, sekolah, orangtua, dan pemerintah. Seperti membiarkan anak-anak tumbuh kembang bercengkerama dengan gadget dan terseret pada radikalisasi pemikiran dan agama. Padahal secara sengaja, media sosial banyak dipakai oleh kelompok radikal untuk menyosialisasikan ideologi mereka. Kemudian merekrut dan mempersiapkan generasi milenial pro-khilafah.
Tak disangkal, melalui medsos banyak anak muda karena terpesona dan mabuk khilafah, terseret pada kelompok terorisme. Bahkan ada yang menjadi "pengantin" dan melakukan bom bunuh diri.
Kelompok radikalisme ini biasanya bermula dari suka menarasikan kebencian, menyebar hoaks, berusaha mencari anggota radikal lain dan nantinya akan menjadi komunitas. Setelah berkomunitas akan muncul kultur kebencian yang melekat pada diri mereka.
Baca juga : Virus Kebencian
Deradikalisasi
Munculnya paham radikal lantaran tak bersikap moderat dan kurangnya literasi, seperti pemahaman bahwa agama bukan tentang ajaran perang saja, namun juga terdapat kasih sayang. Maka, cara untuk mencegahnya adalah membuka ruang dialog, melakukan dialog antar-agama (interfaith dialog), terutama bagi mualaf.
Selain itu, deradikalisasi yang dibutuhkan masyarakat adalah dengan aksi nyata seperti mengadakan perjumpaan, silaturahmi penuh keakraban, seni budaya dan sebagainya yang menebarkan kasih, dengan tujuan menimbulkan sikap saling menghormati keanekaragaman iman, budaya, dan agama.
Di samping itu, perlu meningkatkan pemahaman dan berbagi pengalaman dan gerakan untuk mengatasi sejumlah masalah yang sedang dihadapi serta bisa mendorong terwujudnya transformasi sosial dan mewujudkan tatanan masyarakat yang beradab, berbudaya, dan berdaya saing tinggi.
Syamsul Ma’arif Guru Besar dan Dekan FPK UIN Walisongo