Kebijakan DMO-DPO dan HET minyak goreng mensyaratkan pengawasan ketat dan data akurat, dua hal yang belum bisa dipenuhi. Agar pasar kembali normal, beleid DMO-DPO dan HET sebaiknya ditimbang ulang, bahkan dibatalkan.
Oleh
KHUDORI
·5 menit baca
Menginjak bulan kelima, pemerintah—lewat Kementerian Perdagangan—belum mampu menjinakkan kisruh minyak goreng. Jika semula hanya soal harga yang tinggi, kini kebutuhan masyarakat itu sulit didapatkan di pasar, baik tradisional maupun modern.
Bagai orang buta, pemerintah tampak masih mencoba meraba-raba dengan racikan aneka jurus. Bongkar pasang kebijakan tak terelakkan, bahkan tidak sampai satu bulan keluar empat peraturan menteri perdagangan. Bukannya tertangani, karut-marut justru kian meruyak. Bisa jadi kesal atau habis akal hingga ada tudingan ngawur: warga menimbun minyak goreng di rumah.
Lewat kebijakan terakhir, yakni kombinasi tiga aturan—wajib pasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) CPO dan olein, wajib harga domestik (domectic price obligation/DPO), dan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng—pemerintah yakin pasar bisa dijinakkan. Sayangnya, pasar tidak bisa dikomando secara serampangan. Intervensi pasar akan berhasil apabila pemerintah bisa meracik kebijakan yang ramah pasar. Sebaliknya, pasar kian kacau jika intervensi pasar justru melawan pasar.
Itulah yang terjadi pada pasar minyak goreng hari-hari ini. Ke publik, Kemendag menebar janji heroik: kebutuhan minyak goreng akan terpenuhi sesuai HET. Sejak beleid berlaku 1 Februari 2022, harga minyak goreng masih nangkring di atas HET. Merujuk Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, 14 Maret 2022, harga minyak goreng curah Rp 17.050 per liter (HET Rp 11.500 perliter), minyak goreng kemasan bermerek II Rp 19.550 per liter (HET Rp 13.500 perliter), dan minyak goreng kemasan bermerek I Rp 20.600 per liter (HET Rp14.000 per liter). HET dikejar mati-matian. Pertanyaannya, perlukah HET minyak goreng?
Untuk memastikan HET berlaku di pasar, pemerintah melakukan dua kebijakan sekaligus. Pertama, intervensi pasar dengan cara “melawan pasar”. Ini dilakukan dengan memaksa pelaku usaha memasok 20 persen CPO dan olein dari volume ekspor dengan harga tetap: Rp 9.300 per kilogram (kg) untuk CPO dan Rp 10.300 per kg untuk olein. Kemendag, lewat kebijakan ini, hendak mengoreksi tata niaga yang selama ini open trade dan open market.
Pada tata niaga lama, apa yang terjadi di pasar dunia langsung ditularkan ke pasar domestik. Lewat DMO-DPO, pasar domestik dikunci dari gejolak harga dunia. Masalahnya, DPO dipatok terlalu rendah (baca: melawan pasar). Harga CPO saat ini, misalnya, Rp 18.000 per kg.
Saat ini satgas intens memeriksa pengusaha minyak goreng, distributor, pedagang, juga memeriksa gudang.
Kedua, untuk memastikan intervensi pasar berjalan baik, dikombinasikan dengan intervensi nonpasar dengan cara melibatkan Satgas Pangan. Lewat satgas, pemerintah berharap aneka perilaku culas bisa ditindak. Saat ini satgas intens memeriksa pengusaha minyak goreng, distributor, pedagang, juga memeriksa gudang. Sejumlah pelaku yang diduga menimbun ditangkap.
Sejauh ini, belum ada pelaku kakap dicokok. Masalahnya, keterlibatan polisi seperti dalam Satgas Pangan, yang terjadi adalah ketidakpastian usaha. Pengusaha yang beritikad baik pun bisa terjaring. Juga terbuka peluang pemerasan.
Titik krusial kebijakan DMO, DPO, dan HET adalah memastikan CPO hasil DMO-DPO menjangkau pabrik minyak goreng yang membutuhkan. Kurang dari 10 dari 74 pabrik minyak goreng saat ini yang terintegrasi dengan kebun sawit. Jika tak dipasok CPO hasil DMO-DPO, pilihan pabrik minyak goreng yang tak terintegrasi kebun ada dua, yaitu terus berproduksi atau berhenti operasi. Jika ingin beroperasi, mereka harus beli CPO di pasar lelang yang hari-hari ini harganya Rp 18.000 per kg. Tak mungkin mereka menjual minyak goreng di bawah Rp 14.000 per liter. Pilihan ini bukan tanpa risiko. Risiko pasti di depan mata adalah diperiksa satgas. Tak ingin menantang bahaya, mogok produksi jadi opsi.
Kebijakan DMO, DPO, dan HET niscaya juga menciptakan pasar gelap (black market). Karena di pasar ada dua harga dengan disparitas tinggi untuk barang yang sama. CPO DMO Rp 9.300 per kg versus CPO di pasar lelang seharga Rp 18.000 per kg, minyak goreng sesuai HET (Rp 11.500 per liter hingga Rp 14.000 per liter) versus harga minyak goreng industri (Rp 18.000 per liter). Hari-hari ini harga minyak goreng sawit di pasar dunia bisa Rp 26.000-an per liter. Tak heran sejak beleid ini banyak pedagang minyak goreng dadakan, atau muncul dugaan CPO dan minyak goreng hasil DMO mengalir ke pihak yang tak berhak atau diekspor (ilegal).
Hal yang mengejutkan, kala beleid ini belum sepenuhnya efektif di pasar, Kemendag justru memperbesar DMO, dari 20 persen menjadi 30 persen per 10 Maret 2022. Sebenarnya, DMO 20 persen lebih dari cukup untuk aneka kebutuhan domestik (minyak goreng, biodiesel, oleokimia, dll). Kala dinaikkan, buat apa tambahan CPO 10 persen itu? Pada saat yang sama, pasokan CPO ke pasar dunia akan menyusut 10 persen. Karena pasokan CPO dari Indonesia kian ketat, harga di pasar dunia dipastikan akan naik. Siapakah yang paling diuntungkan?
Salah satu yang ketiban durian runtuh itu adalah Malaysia, kompetitor utama Indonesia. Tanpa memeras keringat, Malaysia bisa menikmati harga tinggi sabagai free rider. Di sisi lain, karena ekspor berpotensi menurun, pajak ekspor dan pungutan ekspor (yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) bagi Indonesia bisa menyusut. Jika ini terjadi, program B-30 dan peremajaan sawit rakyat bakal terancam.
Elaborasi ini menunjuk satu titik: pasar yang semula tenang justru bergejolak kala diintervensi. Kebijakan DMO-DPO dan HET mensyaratkan pengawasan ketat dan data akurat, dua hal yang belum bisa dipenuhi saat ini. Agar pasar kembali normal, beleid DMO-DPO dan HET sebaiknya ditimbang ulang, bahkan dibatalkan. Sebagai gantinya, naikkan pajak ekspor CPO dan produk hilir secara proporsional. Pemerintah bisa memakai dana hasil pajak ekspor untuk membeli minyak goreng. Minyak goreng ini dijual dengan harga subsidi untuk UMKM terdaftar dan warga ekonomi lemah, by name by addres. Warga mampu bisa membeli minyak goreng sesuai preferensi dengan harga pasar.
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)