Kecemasan dan ketakutan akan kepunahan bahasa daerah adalah sesuatu paradoks palsu karena tidak ada keseriusan selama ini dalam membangun satu kebijakan yang utuh untuk masyarakat adat.
Oleh
ERNEST L TEREDI
·4 menit baca
Di tengah hiruk-pikuk kemajuan dengan kecepatan informasi dan teknologi, tentu ada banyak persoalan yang hadir dalam kehidupan kita, baik dalam komunitas kecil maupun pada sebuah bangsa. Persoalan yang menarik untuk dikupas saat ini terkait ancaman kepunahan bahasa daerah di Indonesia.
Tajuk Rencana Kompas, Sabtu (19 Maret 2022), menuliskan, terdapat 11 bahasa yang punah, 6 bahasa dalam kondisi kritis, dan 25 terancam punah. Ini ancaman cukup serius. Bayangkan ke-multi-an Indonesia dalam konteks bahasa sudah di ambang kehancuran.
Dalam pemetaan umum, kepunahan bahasa daerah karena beberapa hal. Pertama, menguatnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Ini juga digunakan dalam ranah resmi (formal) seperti pemerintahan dan pendidikan yang sering kali menyebabkan frekuensi pemakaian bahasa daerah semakin berkurang (Tondo, 2009).
Kedua, perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain secara masif—terjadinya kontak bahasa yang menghasilkan pergeseran bahasa (language shift) dan perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari (Kridalaksana 1993, dalam Tondo 2009).
Ketiga, menguatnya bahasa slang yang sering digunakan oleh generasi muda. Seperti bahasa slang yang paling dominan didukung oleh berbagai media dan informasi. Hal ini membuat daerah-daerah baik di pelosok maupun di kota-kota terbuai mengikutinya hingga menjadi bahasa mainstream.
Paradoks palsu dan depolitisasi bahasa
Meski demikian, dari beragam masalah yang diulas selama ini, baik bersifat spesifik maupun umum, terdapat sesuatu yang absen. Kealpaan itu dirumuskan dalam konsep depolitisasi bahasa. Depolitisasi secara konseptual menekan pada penundukan kepada subyek dan populasi tertentu untuk selalu apolitis, dikontrol, dan disiplinkan dalam berpikir dan bertindak agar sesuai dengan konstruksi berpikir kekuasaan.
Konteks depolitisasi bahasa hadir dengan mengabaikan hal-hal yang substansial dari bahasa di mana selama ini kita cenderung memandang bahasa sebagai sesuatu yang tunggal dan berdiri sendiri. Inilah logika umum yang keliru. Dan, parahnya hal demikian dibawa ke ranah kebijakan publik oleh negara selama ini.
Dari beragam masalah yang diulas selama ini, baik sifatnya spesifik maupun umum, terdapat sesuatu yang absen. Kealpaan itu dirumuskan dalam konsep depolitisasi bahasa.
Katakanlah pada konteks masyarakat adat. Ada banyak komunitas masyarakat adat di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis (AMAN, 2020), di Indonesia terdapat 2.371 komunitas masyarakat adat dengan bahasa yang berbeda-beda dan juga terdapat beberapa komunitas memiliki bahasa yang sama.
Dalam tradisi masyarakat adat, maka bahasa tidak berdiri sendiri. Bahasa memiliki saudara kandungnya, yaitu ritual, sistem, dan pengetahuan tentang adat. Jika bahasa daerah sudah ada yang punah, maka otomatis sistem dan pengetahuan adatnya bermasalah. Dengan demikian, bagaimana mungkin kita ingin agar bahasa daerah itu terpelihara. Namun, di sisi lain tanahnya perlahan hilang karena dicaplok dan kepercayaan adatnya tidak diakui secara hukum, serta berbagai kealpaan negara dalam memandang masyarakat adat.
Inilah logika dasar depolitisasi, memandang masyarakat daerah/adat sebagai subyek yang apolitis, irasional, dan berbagai bentuk sematan lainnya. Kebijakan terhadap masyarakat adat selama ini menempatkan dan mendudukkan masyarakat adat sebagai—meminjam bahasa (Said, 2001) orientalisme—suatu corak berpikir yang dibuat bahwa masyarakat adat sebagai the orient sementara negara pusat sebagai the occident.
Melampaui paradoks palsu
Kebiasaan yang salah ini akhirnya secara politik negara menolak Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat. Padahal, ide ini sangat menarik, sebab di dalamnya mengandung soal menjaga bahasa dan sistem lainnya.
Jadi, kecemasan dan ketakutan akan kepunahan bahasa daerah adalah sesuatu paradoks palsu karena tidak ada keseriusan selama ini dalam membangun satu kebijakan yang utuh untuk masyarakat adat. Alih-alih kita merindukan supaya bahasa daerah dijaga, dirawat, dan dikembangkan, pada satu sisi sistem hingga pengetahuan adat tidak dirindukan untuk dijaga.
Oleh sebab itu, hal yang harus diubah adalah logika kita memandang bahasa. Bahwasanya bahasa bukan berdiri sendiri. Jadi, dalam rangka mengembalikan dan mengaktifkan bahasa daerah, maka dipandang perlu merumuskan kebijakan yang komprehensif dan bersifat holistik.
Sederhananya, yang perlu dilakukan, merumuskan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat. Di dalamnya berisi tentang sistem, pengetahuan, ritual, dan bahasa adat itu sendiri. Dengan itu, ketakutan akan kepunahan bahasa akan berakhir. Serta ke-multi-an Indonesia tetap terjaga dan masih menjadi kekayaan bangsa di masa-masa yang akan datang.
Ernest L Teredi, Peneliti Lembaga Terranusa Indonesia