Bahasa ibu atau bahasa daerah bisa eksis jika para penuturnya tetap mau mempertahankan. Generasi yang terlahir dari suku pada daerah tertentu seharusnya melestarikan bahasa daerahnya, bukan malah malu menggunakannya.
Oleh
DENI ISKA DIAN NITA
·5 menit baca
Jika ditanya apa hal paling membanggakan yang pernah saya raih? Maka jawabannya adalah menjadi seorang ibu. Tidak bisa dipungkiri jika ibu adalah akar penyangga dalam kehidupan seseorang. Hal ini karena semua pengalaman yang diterima oleh manusia pertama kali bisa dikatakan berasal dari ibu. Begitu juga bahasa. Bahasa ibu seharusnya menjadi alat komunikasi yang pertama dan mendasar pada kehidupan manusia.
Menurut KBBI, bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Jadi, bahasa ibu bisa diartikan juga sebagai bahasa daerah, bahasa yang seharusnya pertama kali didengar, diucapkan, dan dikuasai oleh seorang manusia.
Meskipun demikian, ada data yang cukup memprihatinkan terkait keberadaan bahasa ibu tersebut. Menurut UNESCO, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir telah ada 200 bahasa daerah di dunia yang punah. Penyebab utama kepunahan bahasa daerah adalah karena para penutur jatinya (native speakers) tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasanya kepada generasi berikutnya.
Keadaan ini tentu cukup memprihatinkan, karena kepunahan sebuah bahasa berarti juga akan diikuti dengan hilangnya kekayaan batin para penutur bahasa tersebut. Bukan hanya itu, bahasa daerah juga merupakan khasanah kekayaan budaya, pemikiran, dan pengetahuan. Jika keberadaannya semakin terkikis, keadaan ini sama saja dengan pengikisan sebuah kebudayaan.
Bagaimana dengan bahasa daerah di Indonesia? Di Indonesia ada sekitar 718 bahasa daerah yang masih hidup, meskipun tidak semua dalam kondisi baik. Banyak bahasa daerah di Indonesia yang keadaannya terancam punah karena berbagai sebab. Kondisi ini dapat dibuktikan dari beberapa fakta tentang penggunaan bahasa daerah di kehidupan sehari-hari.
Ada anggapan bahwa berbahasa daerah itu identik dengan kampungan, tidak keren, bahkan ketinggalan zaman.
Pertama, kita menyaksikan jika para orangtua sudah jarang menggunakan bahasa daerah di awal komunikasi dengan anaknya. Padahal, komunikasi pertama manusia ada di lingkungan keluarga. Ketika keluarga sudah mulai enggan membiasakan diri berbahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari, maka wajar jika generasi saat ini merasa asing dengan bahasa daerahnya.
Kedua, ada anggapan bahwa berbahasa daerah itu identik dengan kampungan, tidak keren, bahkan ketinggalan zaman. Anggapan ini akhirnya membuat bahasa daerah berada pada fase kritis. Menurut pengakuan beberapa anak yang kberusia sekitar 11-15 tahun, mereka lebih nyaman berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing. Mereka merasa diterima jika menggunakan bahasa yang menurut mereka lebih modern. Tentu saja itu bukan bahasa daerah. Fenomena ini bukan hanya terjadi di kota besar, tetapi juga sudah terjadi di daerah-daerah yang sejatinya merupakan akar penutur bahasa ibu.
Sebagai guru bahasa Jawa, saya sering mendapat pengalaman kurang menyenangkan pada saat mengajar. Ketika saya berbicara menggunakan bahasa Jawa, beberapa siswa sering kali menahan tawa, mengernyitkan dahi, atau bahkan tersenyum dengan ekspresi muka mengejek. Ketika saya bertanya apa alasan mereka bertindak seperti itu, jawabannya adalah karena mereka merasa tidak biasa dan tidak mengerti maksud kata atau kalimat yang saya sampaikan dalam bahasa Jawa. Padahal, kata atau kalimat yang saya sampaikan itu hanya dalam konteks dialog bahasa Jawa sehari-hari yang biasa saja, tetapi hal itu ternyata menjadi luar biasa bagi para siswa saya.
Tingkah laku konyol siswa saya juga pernah terjadi pada waktu pembelajaran daring melalui media Google Meet. Saat itu adalah jadwal penilaian nembang macapat. Salah satu siswa rela menutup wajahnya dengan topeng spiderman demi menutup rasa malunya nembang berbahasa Jawa. Sungguh saya hanya mampu menghela napas panjang karena merasa heran.
Keempat, ada anggapan bahwa berbahasa daerah itu sulit. Hal ini terbukti dari informasi yang disampaikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui akun Instagram-nya. Dalam unggahan tersebut disampaikan bahwa bahasa Tobati merupakan salah satu bahasa di Papua yang mengalami kemunduran dan berstatus terancam punah. Salah satu penyebabnya adalah generasi muda merasa sulit berbicara bahasa Tobati karena orangtua berbicara terlalu cepat dan tidak memaksa anaknya untuk mempelajari bahasa Tobati. Dalam bahasa Jawa pun demikian. Sebagian besar generasi saat ini tidak menggunakan bahasa Jawa karena takut salah. Adanya tataran ngoko dan krama membuat bahasa Jawa terkesan menyusahkan dan tidak fleksibel.
Sebagai generasi yang terlahir dari suku pada suatu daerah tertentu seharusnya justru melestarikan bahasa daerahnya, bukan malah malu menggunakannya. Keluarga juga harus berperan aktif dalam upaya mempertahankan bahasa daerah. Tanpa pengenalan dan pengajaran dari keluarga, generasi baru akan tetap enggan menggunakan bahasa daerah. Rasa bangga memiliki bahasa daerah sudah sepatutnya ditanamkan pada generasi baru. Hal ini bisa menjadi senjata untuk berperang melawan musuh-musuh penyebab kepunahan bahasa daerah.
Revitalisasi bahasa daerah
Tanggal 22 Februari 2022, sehari setelah peringatan hari bahasa ibu internasional, salah satu senjata pelestarian bahasa ibu mulai dirakit. Pada hari tersebut, Kemendikbudristek meluncurkan Merdeka Belajar episode ketujuh belas, yaitu revitalisasi bahasa daerah. Program ini dilaksanakan untuk merespons kondisi kritis bahasa daerah di Indonesia.
Harapan saya, kebijakan tersebut bukan hanya sekadar program secara formalitas belaka, melainkan harus dilaksanakan dengan serius dan penuh ketulusan.
Dengan menyasar para komunitas tutur, guru, kepala sekolah, dan pengawas, program ini diharapkan mampu membangkitkan kembali kekuatan bahasa daerah untuk terus eksis. Bahkan rencananya, pada akhir tahun 2022 revitalisasi bahasa daerah akan dirayakan di tingkat nasional melalui Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI). Harapan saya, kebijakan tersebut bukan sekadar program secara formalitas belaka, melainkan harus dilaksanakan dengan serius dan penuh ketulusan.
Dalam konteks bahasa Jawa, berbagai cara pelestarian juga sudah mulai nampak. Mulai dari adanya kebijakan terkait pelajaran bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib di setiap satuan pendidikan. Kemudian, saat ini film-film pendek berbahasa Jawa dengan berbagai genre juga sudah mulai bermunculan di kanal Youtube.
Munculnya seniman musik dengan berbahasa Jawa yang sesuai minat generasi saat ini nampaknya perlu didukung dengan mengintegrasikan karya tersebut ke dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Sepertinya karya-karya tersebut dapat menjadi sarana ”dakwah” untuk mempererat hubungan bahasa Jawa dengan para penuturnya.
Sebenarnya, kebijakan dan karya-karya tersebut membuktikan bahwa bahasa ibu bukan bahasa yang tertinggal. Bahasa ibu bisa eksis jika para penuturnya tetap mau mempertahankan. Jadi, bukankah tidak ada alasan untuk malu berbahasa ibu?
Deni Iska Dian Nita, Guru di SMPN Satu Atap Pesanggrahan 2 Kota Batu; Pengurus MGMP Bahasa Jawa SMP/MTs Kota Batu