Punahnya sebuah bahasa menyebabkan hilangnya pengetahuan yang ditempa oleh proses kebudayaan tersebut. Sejumlah upaya perlu dilakukan untuk mencegah hilangnya bahasa juga pengetahuan yang dibentuknya.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
Setidaknya satu bahasa di dunia hilang tiap bulan. Dengan laju ini, diperkirakan minimal 1.500 dari 7.000 bahasa di dunia bakal hilang di akhir abad. Padahal, hilangnya bahasa mengakibatkan punahnya pengetahuan yang ditempa oleh proses panjang kebudayaan.
Ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah ini diungkap para peneliti dari The Australian National University (ANU) dalam kajian yang dipublikasikan di jurnal Nature Ecology and Evolution pada 16 Desember 2021. Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi 51 prediktor yang bisa menyebabkan suatu bahasa berisiko tinggi atau terancam punah.
Berlawanan dengan persepsi umum, para peneliti menemukan bahwa kontak dengan bahasa lain bukanlah pendorong utama kehilangan bahasa. Namun, semakin banyak jalan yang menghubungkan negara ke kota dan desa ke kota, semakin tinggi risiko hilangnya bahasa. ”Seolah-olah jalan membantu bahasa yang dominan ’menggulung’ bahasa yang lebih kecil,” tulis Lindell Bromham, penulis utama kajian ini.
Selain itu, rata-rata tahun sekolah yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan meningkatnya risiko hilangnya bahasa. Ini menjadi bukti penting bahwa pendidikan formal dapat berkontribusi pada hilangnya keragaman bahasa.
Ketika sebuah bahasa hilang, kita akan kehilangan begitu banyak pengetahuan.
Para peneliti juga menemukan, Australia mengalami kehilangan bahasa tertinggi di dunia, terutama dialami para penutur Aborigin. Sebelum kedatangan bangsa Barat, terdapat lebih dari 250 bahasa yang digunakan Aborigin-Australia, tetapi sekarang tersisa 40 bahasa dan hanya 12 bahasa yang dipelajari anak-anak.
Di Indonesia, ancaman kehilangan bahasa terutama terjadi di Papua. Pendataan Balai Bahasa Papua dan Papua Barat dari 2006 hingga 2019 menemukan ada 428 bahasa daerah di Tanah Papua. Namun, jumlahnya terus menyusut karena jumlah penuturnya semakin berkurang.
Bahasa dan pengetahuan
Ketika sebuah bahasa hilang, kita akan kehilangan begitu banyak pengetahuan. Penelitian Rodrigo Camara-Leret dan Jordi Bascompte dari University of Zurich dan dipublikasikan di jurnal PNAS pada Mei 2021 menemukan, hilangnya bahasa daerah bakal menghilangkan pengetahuan tentang tanaman obat. Hal ini karena setiap bahasa, terutama yang dituturkan masyarakat adat, merupakan sumber pengetahuan tentang pengobatan.
Penelitian ini berfokus pada masyarakat adat di tiga wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Amerika Utara, Amazon, dan Pulau Papua, termasuk Papua Niugini.
Kajian ini menunjukkan, lebih dari 75 persen dari 12.495 tanaman obat di tiga wilayah ini memiliki kaitan unik dengan linguistik—yaitu dikenal dengan satu bahasa. Sementara sebagian besar spesies tumbuhan yang terkait dengan pengetahuan unik secara linguistik tidak terancam, sebagian besar bahasa yang melaporkan pengetahuan unik tersebut secara linguistik terancam.
Temuan tentang keunikan dalam pengetahuan asli dan keterkaitan yang kuat dengan bahasa yang terancam menunjukkan bahwa hilangnya bahasa lebih berdampak terhadap kepunahan pengetahuan obat daripada hilangnya keanekaragaman hayati.
Sementara sebagian besar spesies tumbuhan yang terkait dengan pengetahuan unik secara linguistik tidak terancam, sebagian besar bahasa yang melaporkan pengetahuan unik tersebut secara linguistik terancam.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memproklamirkan tahun 2022-2032 sebagai Dekade Internasional Bahasa Adat yang bertujuan meningkatkan kesadaran global tentang pentingnya bahasa daerah bagi pembangunan berkelanjutan.
Untuk menghindari hilangnya bahasa, yang berarti juga pengetahuannya, perlu dilakukan sejumlah upaya, di antaranya mendokumentasikan bahasa-bahasa yang terancam hilang, program pendidikan sekolah menggunakan dwibahasa, salah satunya bahasa lokal. Selain itu, yang terpenting, menjaga ruang hidup masyarakat adat yang menjadi sumber kebudayaan mereka.