Membangun IKN yang Cerdas
Membangun kawasan ibukota baru harus disertai dengan visi yang cerdas untuk memastikan bahwa IKN merupakan investasi yang bermakna dan bermanfaat dari berbagai dimensi pembangunan nasional.
Pemerintah bergerak cepat setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) disahkan. Presiden sudah melantik ketua Otorita IKN, mengundang semua gubernur untuk hadir di Titik Nol, yang menandai segera dimulai pembangunan infrastruktur besar-besaran di lokasi inti beserta prasarana pendukungnya. Perpres tentang Otorita IKN sedang dikebut, yang termasuk dalam penyiapan 10 perangkat peraturan turunan dari undang-undang IKN. Agenda besar untuk IKN Nusantara secara bertahap hingga tonggak waktu Indonesia Emas pada tahun 2045 segera dimulai.
Dalam kebijakan nasional, upaya memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke wilayah lain sudah dilakukan sejak Presiden Soekarno. Maka, komitmen dan keputusan Presiden Joko Widodo untuk memindahkan IKN ke Kalimantan Timur bagi sebagian adalah saat yang ditunggu-tunggu.
Masalahnya, keputusan untuk memulai proyek besar ini harus dibuat dalam situasi yang kurang menguntungkan. Dalam dua tahun ini, energi dan perhatian para perumus kebijakan sudah terkuras untuk mengatasi pandemi Covid-19 beserta konsekuensi dan dampaknya terhadap ekonomi rakyat.
Terlebih lagi, selain masih terdapat kontroversi mengenai legitimasi UU No 3/2022, terdapat berbagai risiko baik finansial maupun teknis-operasional yang harus menjadi perhatian serius dari pelaksana kebijakan untuk mewujudkan IKN Nusantara yang memenuhi ekspektasi ideal bangsa Indonesia. Berkaca dari pengalaman di banyak negara, membangun kawasan ibukota baru harus disertai dengan visi yang cerdas untuk memastikan bahwa IKN merupakan investasi yang bermakna dan bermanfaat dari berbagai dimensi pembangunan nasional.
Baca juga: Yang Datang dan Doa Mereka yang Gelisah Tersisih dari IKN
Skema pembiayaan
Berbagai prediksi tentang kemanfaatan IKN Nusantara dalam jangka menengah dan jangka panjang sudah diuraikan oleh banyak pakar. Selain akan menyeimbangkan kutub pertumbuhan antara wilayah barat dan timur di Indonesia, kemanfaatan terhadap ekonomi regional akan cukup signifikan. Yang segera dapat dilihat, pembangunan wilayah inti IKN akan mendorong peningkatan kontribusi sektor konstruksi di Kaltim hingga sekitar 11 persen. Namun yang harus diperhatikan adalah konsistensi dalam penerapan skema pembiayaannya.
Rencana IKN Nusantara yang menyebutkan total biaya Rp 486 triliun di kawasan inti yang seluas 6.671 hektar dengan luas total kawasan IKN mencapai 56.180 hektar, jelas merupakan proyek raksasa yang membutuhkan skema pembiayaan yang cerdas. Kecerdasan dan kejelian dalam upaya menggalang dana dan dan mengalokasikannya berdasarkan prioritas yang tepat merupakan tantangan yang harus dijawab dengan baik oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan.
Berdasarkan dokumen yang disiapkan Bappenas, proyek IKN Nusantara akan membutuhkan waktu 15-20 tahun, setidaknya diperlukan dana sebesar Rp 32,4 triliun per tahun.
Berdasarkan dokumen yang disiapkan Bappenas, proyek IKN Nusantara akan membutuhkan waktu 15-20 tahun, setidaknya diperlukan dana sebesar Rp 32,4 triliun per tahun. Rencana awal, sebagian besar biaya (54,4 persen atau Rp 253,4 triliun) akan didanai dengan skema KPBU (kerja sama pemerintah - badan usaha), sebagian melalui investasi swasta (Rp 123,2 triliun), dan hanya sebagian kecil (19,2 persen atau Rp 89,4 triliun) yang dibiayai APBN. Pertanyaannya, apakah proporsi rencana pembiayaan seperti ini dapat benar-benar dijalankan secara konsisten?
Rencana KPBU akan menggunakan dua skema, yaitu KPBU tarif (user payment) yang pengembalian investasinya berasal dari pengguna dan KPBU ketersediaan layanan (availability payment) yang berasal dari pembayaran ketersediaan layanan. Dari kedua skema ini, belum ada studi kelayakan mengenai sumber-sumber potensial yang dapat diakses publik.
Pengalaman membuktikan, cukup banyak proyek besar pemerintah yang rencana pendanaan dan alokasi pembiayaannya tidak dilaksanakan secara konsisten, terutama karena skema KPBU gagal meyakinkan investor swasta. Skema pembiayaan untuk pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya, banyak yang meleset dan di tengah perjalanan implementasi harus direvisi lagi. Prediksi tentang investasi swasta ternyata terlalu ambisius sehingga untuk mengejar tenggat dan memastikan proyek tetap bisa diselesaikan akhirnya dana yang menjadi beban APBN membengkak cukup signifikan.
Untuk itu, hendaknya pemerintah perlu berhati-hati dengan skema yang terlalu menggantungkan pada KPBU karena tidak selalu dapat dijadikan sebagai patokan. Sebagian pakar menyebut bahwa untuk saat ini, proporsi KPBU mungkin hanya sekitar 7 persen. Itu pun kemungkinan besar swasta lebih berminat kepada sarana pelengkap yang sifatnya komersial seperti apartemen, hotel, rumah sakit, dan sebagainya, ketimbang infrastruktur di kawasan inti yang lebih banyak non-komersial. Di tengah ketidakpastian ekonomi global karena perang Rusia-Ukraina, sebagian besar investor asing saat ini mungkin masih bersikap wait and see untuk membuat komitmen investasi dalam jangka panjang.
Hendaknya pemerintah perlu berhati-hati dengan skema yang terlalu menggantungkan pada KPBU karena tidak selalu dapat dijadikan sebagai patokan.
Di tengah sulitnya mengharapkan investasi murni dari swasta (PMA maupun PMDN), alternatif yang mudah bagi pemerintah sebagai pemegang otoritas adalah melalui penugasan pembangunan. Sejumlah perusahaan milik negara dapat dikerahkan untuk memulai proyek awal di IKN Nusantara dan meneruskannya untuk beberapa tahun ke depan.
Namun perlu dilihat bahwa dalam lima tahun terakhir kewajiban utang dari BUMN sektor konstruksi seperti Adhi Karya, Waskita Karya, Pembangunan Perumahan, Jasa Marga, Wijaya Karya, dan Hutama Karya terus menggunung. Total utang enam BUMN karya tersebut ssudah lebih dari Rp 375 triliun dan sebagian sedang menjalani restrukturisasi utang untuk menyehatkan kondisi keuangan mereka. Oleh karena itu, perlu alternatif kebijakan skema pembiayaan yang lebih cerdas agar pola penugasan yang selama ini digunakan tidak menambah beban manajemen dari BUMN karya.
"Smart City"
Penunjukan Bambang Susantono dan Donny Rahajoe sebagai Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Nusantara yang berasal dari kalangan profesional diharapkan mampu menjawab tantangan teknokratis dari pembangunan di IKN. Sesuai visi pemerintah, IKN Nusantara diharapkan bisa menjadi IKN baru yang modern, aman, stabil, dan inklusif. Sudah banyak pernyataan dari para pakar yang memperingatkan agar pemindahan IKN bukan sekadar memindah secara fisik ibu kota negara, apalagi kalau sekadar memindahkan berbagai persoalan yang selama ini dihadapi di Jakarta.
Dari tagline visi IKN, tersurat adagium Reimagined Indonesia: Locally Integrated, Globally Connected, Universally Inspired. Khusus untuk aspek universally inspired, terdapat penjelasan bahwa IKN Nusantara harus dibangun berdasarkan contoh-contoh terbaik dari kota yang cerdas, inklusif, dan berkelanjutan di dunia. Inilah pertanyaan krusial yang harus dijawab; mampukah IKN Nusantara belajar dari kesalahan yang pernah dilakukan oleh banyak negara ketika membangun ibukota baru?
Baca juga: Ibu Kota Negara, Beberapa Catatan
Dalam kurun waktu setengah abad terakhir, ada lebih dari 40 negara yang membangun ibukota baru. Pengalaman dari negara yang cukup dekat adalah Australia yang membangun Canberra, Malaysia membangun Putrajaya, China membangun Beijing, atau Myanmar membangun Naypyidaw. Tidak semua berjalan sukses, dan karena itu Indonesia tidak boleh melakukan kesalahan yang sama. Kesabaran, komitmen, dan evaluasi berkelanjutan adalah kunci dari kesuksesan pemindahan ibukota negara (Hill, 2020).
Di masa mendatang, tata kelola dan keputusan lembaga pemerintah semakin banyak tergantung kepada analisis big data, sementara banyak aspek layanan publik semakin membutuhkan konektivitas dan konvergensi. Rancangan IKN Nusantara dengan landasan konsep kota cerdas (smart city) bukan lagi merupakan kebutuhan, tetapi sudah menjadi keharusan atau prasyarat mutlak.
Rancangan IKN Nusantara dengan landasan konsep kota cerdas ( smart city) bukan lagi merupakan kebutuhan, tetapi sudah menjadi keharusan atau prasyarat mutlak.
Jadi, IKN Nusantara harus mampu menyediakan alternatif tata kelola pemerintahan yang cerdas dengan desain yang fleksibel bagi kebutuhan penerapan teknologi digital di masa mendatang. Berdasarkan rujukan konseptual, ada enam komponen dari kota cerdas, yaitu: smart governance, smart branding, smart economy, smart living, smart society, dan smart environment (Citiasia, 2016). Kementerian Kominfo sudah mengadopsi konsep ini dalam upaya mengejar pengembangan 100 kota cerdas, dengan segala pernik keberhasilan maupun keterbatasannya.
Yang jelas, pembangunan ibukota yang modern membutuhkan tata kelola pemerintahan, pencitraan, sistem ekonomi, pola hidup, pola perilaku, serta tata kelola lingkungan yang serba cerdas dengan pemanfaatan teknologi dan pengetahuan secara optimal. Setelah infrastruktur dan fasilitas pemerintahan awal terpenuhi, gagasan untuk memprioritaskan kepindahan 2.080 aparatur sipil negara (ASN) dengan kualifikasi teknologi digital (Kompas, 14/3/2022) sangat perlu didukung.
Belakangan, konsep kota cerdas juga menambahkan komponen ketujuh berupa smart mobility, yaitu perancangan sistem transportasi, pergerakan manusia, serta sistem pengolahan data yang efisien dan efektif sehingga tercipta masyarakat di kawasan ibukota yang memiliki produktivitas yang tinggi dan sekaligus ditunjang dengan teknologi yang berkelanjutan. Bagi pelayanan publik, kota-kota cerdas di masa mendatang akan lebih mengutamakan pergerakan data ketimbang pergerakan orang, dengan sisi kemanusiaan dan kualitas hidup yang menjadi tumpuan pokok.
Di wilayah Kaltim, infrastruktur telekomunikasi masih terbatas di dua kota utama, yaitu Balikpapan dan Samarinda. Di wilayah kabupaten penyangga IKN seperti Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Paser dan Kutai Barat (Kubar), infrastruktur telekomunikasi masih sangat terbatas. Di Kubar, misalnya, hingga tahun 2019 masih sekitar 63 persen area termasuk kategori blank-spot bagi telekomunikasi seluler. Maka infrastruktur telekomunikasi tentu sangat krusial. Namun program smart city sering hanya terhenti pada penyediaan infrastruktur telekomunikasi dan kurang diimbangi dengan komponen smart living dan smart society.
Bagi pelayanan publik, kota-kota cerdas di masa mendatang akan lebih mengutamakan pergerakan data ketimbang pergerakan orang.
Literasi digital di Kaltim juga masih rendah, sebagaimana dapat dijumpai kawasan lain yang tingkat pendidikan dan pengetahuannya masih terbatas. Kecerdasan sosial untuk memahami apa yang akan terjadi dengan perubahan status menjadi IKN sangat perlu ditingkatkan. Begitu antusiasnya warga menyambut terbentuknya IKN di Kabupaten Penajam Pasir Utara. Tetapi banyak yang belum menyadari bahwa menjadi warga ibukota membutuhkan keterampilan, pengetahuan, dan profesionalisme tinggi supaya tetap memiliki daya-saing individual.
Cukup ironis bahwa dengan adanya status sebagai IKN, saat ini jalur menuju ke Kecamatan Sepaku justru dimanfaatkan warga untuk kepentingan jangka pendek. Misalnya dengan terlibat dalam spekulasi jual-beli tanah. Ada yang bahkan membuat portal-portal untuk menuju ke kawasan inti dengan mengutip sejumlah uang kepada siapa saja yang masuk ke kawasan tersebut.
Pembangunan inklusif
Pada dasarnya, komposisi etnis di Kaltim sangat heterogen dan sebagian besar masyarakat cukup terbuka terhadap pendatang baru dari luar. Ini terbukti dari besarnya proporsi suku pendatang yang sekarang sudah mencapai 63,5 persen dari seluruh penduduk. Suku khas Kaltim adalah Dayak, Kutai, Paser, Tidung, Berau, dan Banjar. Sedangkan suku pendatang adalah Jawa, Bugis, Tionghoa, Padang, dan Toraja. Semua dapat hidup berdampingan dengan tingkat toleransi dan kerja sama yang sangat baik.
Namun peluang ekonomi dan pembangunan di IKN berpotensi menimbulkan gesekan jika pelaksanaan pembangunan kurang inklusif dan mengakibatkan ketimpangan dan kecemburuan. Oleh sebab itu, kecerdasan dalam melaksanakan pembangunan IKN Nusantara secara inklusif sangat dibutuhkan.
Namun peluang ekonomi dan pembangunan di IKN berpotensi menimbulkan gesekan jika pelaksanaan pembangunan kurang inklusif dan mengakibatkan ketimpangan dan kecemburuan.
Pimpinan Otorita IKN Nusantara saat ini memiliki keahlian yang tidak diragukan dalam bidang planologi, arsitektur, dan pengembangan modern city di BSD dan beberapa kawasan di sekitar Jakarta. Untuk membangun kawasan inti dan prasarana pendukung di Kaltim, keahlian tersebut perlu dilengkapi dengan keahlian sosial yang mendalam tentang pembangunan yang inklusif di Kecamatan Sepaku dan Kecamatan Samboja serta wilayah pendukung IKN.
Dari tiga kedeputian di Otorita IKN, yang telah terbentuk adalah kedeputian investasi, pembangunan, dan komunikasi. Alangkah baiknya jika dalam struktur ini ditambahkan kedeputian yang mengurusi aspek sosial dan inklusivitas pembangunan. Aspek ini sangat dibutuhkan, misalnya, untuk melakukan pendekatan simpatik kepada setidaknya 21 komunitas masyarakat adat yang ada. Implementasi pembangunan hendaknya bukan sekadar membuat gedung, jalan, beserta pasokan air bersih, energi, listrik, dan semua hal yang menarik investor, tetapi juga harus memperhitungkan konsep forest city yang diusulkan banyak pihak, kemungkinan dampak dari relokasi penduduk, dan khususnya dampak negatif bagi kelestarian alam di kawasan penyangga.
Untuk memulai pembangunan jalan lingkar Sepaku beserta infrastruktur pendukung di Teluk Balikpapan yang akan menjadi jalur utama pengangkutan material, misalnya, harus diperhatikan bahwa kelestarian lingkungan tetap diutamakan. Demikian pula rencana pembangunan bandara untuk pejabat VVIP di Kelurahan Gresik yang sangat berdekatan dengan kawasan mangrove harus memperhitungkan daya-dukung lingkungan di sekitarnya.
Baca juga: Ibu Kota Negara Berkelanjutan
Kawasan mangrove di Teluk Balikpapan yang seluas 16.800 hektar merupakan habitat bagi beragam jenis ikan, pesut, bekantan, dugong, buaya muara, dan ratusan jenis burung. Kawasan mangrove dan pesisir tersebut selama ini menjadi tumpuan mata-pencaharian bagi warga, terutama para nelayan kecil yang masih menggunakan alat-alat tradisional.
Kendatipun warga di kawasan IKN Nusantara sebagian besar senang dan menyambut baik pembangunan di sekitarnya, sebagian sudah mulai khawatir tentang naiknya harga tanah, kemungkinan relokasi penduduk, hilangnya mata-pencaharian, serta rusaknya ekologi akibat pembangunan infrastruktur dan fasilitas IKN yang segera dijalankan. Perumus kebijakan dan otorita IKN harus bisa memastikan bahwa kekhawatiran itu bisa dikurangi.
Wahyudi Kumorotomo, Guru Besar pada Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada