Pembangunan ibu kota negara baru berbasis ”smart sustainable and resilient city” yang berketahanan dan berkelanjutan membutuhkan persiapan matang dalam hal perencanaan dan eksekusi pelaksanaan proyeknya.
Oleh
MOHAMMED ALI BERAWI
·4 menit baca
Pemindahan ibu kota negara atau IKN ke Kalimantan Timur dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kepadatan konsentrasi penduduk, ketimpangan pertumbuhan ekonomi nasional, dan berbagai masalah perkotaan di Jakarta.
Bappenas (2019) mengungkapkan bahwa konsentrasi penduduk Indonesia di Pulau Jawa mencapai 56,54 persen. Di lain pihak, terkonsentrasinya kegiatan ekonomi menyebabkan ketidakmerataan kontribusi ekonomi nasional, dengan PDRB Jabodetabek menyumbangkan atas 20,85 persen PDB nasional.
Kepadatan wilayah yang tinggi juga ditambah dengan pertumbuhan urbanisasi yang tinggi, terutama di kawasan Jabodetabekpunjur. Aktivitas ekonomi akibat pertumbuhan wilayah dan penduduk mengakibatkan terjadi konversi lahan paling tinggi di Pulau Jawa. Kondisi ketersediaan air, terutama di DKI Jakarta, kian mengancam keberlangsungan kawasan dengan kepadatan tinggi serta bertambahnya beban perkotaan yang berdampak pada tingginya angka kemacetan, penurunan kualitas air sungai, bencana banjir, dan laju penurunan tanah yang tinggi.
Pengembangan kota baru membutuhkan perencanaan komprehensif yang mampu menjawab tantangan dari laju urbanisasi, seperti krisis lingkungan dan krisis sosio-ekonomi. Perkembangan teknologi menjadi alat untuk menciptakan kota cerdas (smart city) sebagai solusi dari permasalahan urban melalui penerapan inovasi teknologi perkotaan. Pendekatan berkelanjutan juga penting dilakukan untuk memastikan pemenuhan kebutuhan di masa depan melalui penggunaan sumber daya yang berkelanjutan.
Pengembangan kota cerdas untuk IKN bertujuan menghasilkan kota yang berketahanan (resilient) dan berkelanjutan (sustainable) dengan menghasilkan pelayanan kota yang lebih baik, termasuk perbaikan transportasi, sumber daya air, pembuangan limbah, sampai pelayanan kesehatan. Smart city dapat meningkatkan kemampuan kota untuk dapat menggunakan sumber daya dengan cara efisien, membuat transportasi umum lebih atraktif, dan menyediakan data kepada perencana dan pengambil keputusan untuk mengalokasikan sumber daya secara tepat. Atau dengan kata lain, konsep smart city berkontribusi dalam pembentukan lingkungan terbangun dengan kualitas tinggi, sehat, dan regeneratif yang dimodelkan berdasarkan circular economy dan dengan dampak positif secara keseluruhan terhadap lingkungan.
Perencanaan kawasan IKN diharapkan mampu merepresentasikan kemajuan bangsa yang unggul dan katalis peningkatan peradaban manusia Indonesia melalui penciptaan kawasan kota yang cerdas dan modern dengan mewujudkan ruang kota yang berkualitas, berkelanjutan, dan berketahanan. IKN merupakan perwujudan konsep pembangunan Indonesia sentris dengan membangun dan menyebarkan pusat produktivitas dan kegiatan ekonomi.
IKN merupakan perwujudan konsep pembangunan Indonesia sentris dengan membangun dan menyebarkan pusat produktivitas dan kegiatan ekonomi.
Berdasarkan penelitian CSID (2020), fungsi dan proporsi guna lahan bagi pengembangan kawasan IKN berbasis smart city yang berkelanjutan dan berketahanan terdiri dari 67,43 persen ruang terbuka hijau, 14,32 persen perumahan, 9,21 persen infrastruktur, 2,00 persen dikembangkan untuk area komersial, 3,03 persen fasilitas rekreasi dan kebudayaan, 2,00 persen fasilitas komunitas, 1,44 persen fasilitas pemerintahan, dan 0,58 persen luas lahan untuk industri.
Seperti halnya megaproyek pada umumnya, pembangunan IKN berbasis smart sustainable and resilient city tentu akan menghabiskan biaya pembangunan yang cukup besar. Sebagai perbandingan, pembangunan ibu kota negara serupa pada negara lain, seperti Sejong di Korea, menghabiskan biaya hingga Rp 289 triliun dan Putrajaya di Malaysia menghabiskan biaya hingga Rp 117 triliun.
Tentu variasi besarnya pendanaan yang dikeluarkan sangat tergantung dengan perencananaan dan desain pembangunan pada tiap-tiap kawasan wilayah. Keterbatasan pendanaan dari APBN untuk alokasi pembangunan infrastruktur menghasilkan financial gap dalam pendanaan proyek. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut, melalui Perpres Nomor 38 Tahun 2015, pemerintah memfasilitasi keterlibatan swasta dalam skema pendanaan investasi dan pelaksanaan pembangunan.
Seperti pada pembangunan megaproyek yang rawan mengalami pembengkakan biaya dan keterlambatan waktu pembangunan proyek, maka perpindahan IKN memerlukan persiapan matang dalam hal perencanaan dan eksekusi pelaksanaan proyeknya. Kematangan sisi teknis, financial, dan good governance perlu dilakukan untuk menjalankan pembangunan megaproyek kawasan ini.
Dari sisi teknis, pembangunan smart city yang berketahanan dan berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan komponen lokal (tingkat komponen dalam negeri) baik material maupun sumber daya manusia (SDM). Untuk alternatif pendanaan proyek, dilakukan melalui kerja sama investasi serta pemanfaatan dan manajemen aset pemerintah yang ada di Jakarta dapat dilakukan oleh Indonesia Investment Authority (INA). Selain itu, melaksanakan proses good governance yang accountable dan prudent dalam proses pembangunan menjadi faktor penting dalam pembangunan megaproyek ini. Dengan kata lain, ketiga hal ini akan menentukan seberapa jauh tingkat kesuksesan pembangunan IKN.
Mohammed Ali Berawi, Direktur Center for Sustainable Infrastructure Development (CSID), Universitas Indonesia