Kompleksitas ancaman iklim dan isu perempuan membutuhkan solusi dan kemitraan multipihak dengan semangat inklusivitas. Perempuan pun harus menjadi subyek pembangunan berkelanjutan di semua aspek/sektor.
Oleh
GRACIA PARAMITHA
·5 menit baca
Perempuan dan perubahan iklim merupakan cross cutting issues yang semakin mencekam dunia. Berbagai studi menyatakan bahwa perempuan menjadi salah satu kelompok rentan yang terdampak perubahan iklim. Temuan ilmiah dari the London School of Economics and Political Science (LSE) terhadap 141 negara yang terkena bencana pada periode 1981-2002 telah menemukan kaitan erat antara bencana alam dan status sosial ekonomi perempuan.
Mirisnya lagi, seorang anak perempuan berusia 12 tahun di Bangladesh menikah dengan pemuda berusia 24-25 tahun karena dampak banjir telah mengakibatkan tempat tinggal keluarganya rusak dan gagal panen. Kisah nyata ini terangkum dalam laporan penelitian International Union for Conservation of Nature (IUCN) di tahun 2020, yang menyatakan bahwa kekerasan berbasis jender dan pernikahan usia anak terkorelasi dengan krisis lingkungan yang terjadi di beberapa negara berkembang.
Di Indonesia, ada sekitar 9,9 juta rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan yang akan terkena dampak negatif dari bencana alam (BPS, 2017). Berbagai fenomena dan fakta ini turut menentukan langkah Presidensi G-20 Indonesia 2022 dengan sebuah pertanyaan: apakah anak perempuan dan ibu selalu dianggap sebagai korban yang membebani ekosistem alam sehingga tidak mampu membantu ketahanan iklim di bumi ini?
Secara historis, isu perubahan iklim telah dibahas dan dimasukkan ke dalam deklarasi pemimpin G-20 sejak tahun 2009 melalui G-20 Leader’s Statement pada 2 April 2009 dan terus menjadi poin penting setiap tahun hingga di Deklarasi Roma pada 31 Oktober 2021. Adapun isu perempuan mulai dikumandangkan sejak G-20 Leader’s Communique pada 15-16 November 2014 melalui Brisbane Goal tentang penurunan gender gap partisipasi antara perempuan dan laki-laki hingga 25 persen di tahun 2025.
Pencapaian Brisbane ini semakin diperkuat dengan adanya pembentukan engagement group (EG) atau kelompok masyarakat khusus perempuan yang disebut Women 20 (W-20) di tahun 2016. Tiga tahun kemudian, pada 2019, terbentuk pula G-20 Empower sebagai wadah utama antara sektor swasta dan sektor publik yang memajukan kepemimpinan perempuan di sektor swasta antarnegara G-20.
Presidensi G-20 Indonesia telah menetapkan Environment Deputy Minister on Climate Sustainability Working Groups (EDM-CSWG) di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai leading sector isu perubahan iklim di G-20. Sementara berbagai isu perempuan, penghapusan diskriminasi berbasis jender, inklusi ekonomi, peningkatan kesehatan untuk kemakmuran jender, serta pemberdayaan perempuan di perdesaan dan penyandang disabilitas telah menjadi isu prioritas kelompok W-20 Indonesia 2022. Kelompok G-20 Empower yang didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga turut mencapai terlaksananya berbagai inisiatif, gerakan, kebijakan, dan aksi nyata kelompok perempuan di tingkat nasional ataupun global.
Akan tetapi, kelembagaan dan inisiatif di atas tidaklah cukup menjawab masalah anak dan perempuan yang menjadi obyek/korban krisis iklim. Kompleksnya ancaman iklim dan isu perempuan membutuhkan solusi dan kemitraan multipihak dengan semangat inklusivitas. Luaran dan kebijakan G-20 Communique di era pemulihan pandemi Covid-19 ini perlu diimplementasikan ke cakupan yang lebih luas dan lebih konkret berupa aksi perubahan atau gerakan bersama.
Kompleksnya ancaman iklim dan isu perempuan membutuhkan solusi dan kemitraan multipihak dengan semangat inklusivitas.
Aksi perubahan telah terungkap dalam survei Women’s Forum 2021 Barometer ke 9.500 responden dan 500 wawancara di 19 negara anggota G-20 mengenai gaya hidup berkelanjutan. Hasilnya, perempuan lebih mudah termotivasi dan tergerak langsung untuk melakukan aksi ramah lingkungan ketimbang lelaki di negara-negara G-20. Perubahan gaya hidup perempuan, seperti minim sampah plastik dan pengurangan konsumsi daging, ini didasari oleh gentingnya Planet Bumi untuk menjadi tempat yang layak huni bagi generasi masa datang.
Inklusivitas dan aksi perubahan nyata ini bisa dilakukan oleh kaum perempuan selama ada transformasi pola pikir. Transformasi yang dimaksud adalah perempuan bukan lagi sebagai obyek, melainkan subyek pembangungan berkelanjutan di semua aspek/sektor. Anak dan remaja perempuan, ibu, nenek, perempuan penyandang disabilitas, perempuan desa, dan kelompok perempuan lainnya punya kesempatan dan peluang yang sama untuk berdaya, berkarya, dan bersuara atas peran mereka terhadap permasalahan dan solusi perubahan iklim.
OS
Perempuan aktivis dari kelompok Extinction Rebellion menggelar aksi di Manchester, Inggris, Selasa (1/9/2020). Aksi yang menyuarakan dampak perubahan iklim berlangsung di sejumlah tempat di Inggris.
Transformasi
Di dalam memajukan peran perempuan dan Presidensi G-20 Indonesia 2022, ada tiga transformasi yang bisa diupayakan dan dilakukan bersama dengan semua pihak. Pertama, tim Presidensi G-20 Indonesia ataupun mitra organisasi internasional memberikan apresiasi dan rekognisi kepada remaja dan perempuan muda yang telah bergerak di bidang ketahanan iklim.
Seperti contohnya Plan International Indonesia yang memilih 24 perempuan muda menghadapi krisis iklim melalui Girls Leadership Programme on Climate Change 2022. Selain itu, ada pula inisiatif pertama kalinya tim Y-20 Indonesia mengadakan penghargaan pemuda sedunia melalui Y-20 Awards 2022, yang salah satu topik penghargaannya berupa dokumentasi proyek ekonomi sirkular.
Di dalam memajukan peran perempuan dan Presidensi G-20 Indonesia 2022, ada tiga transformasi yang bisa diupayakan dan dilakukan bersama dengan semua pihak.
Sosok perempuan muda yang layak diapresiasi adalah Eva Bachtiar, pendiri LSM Garda Pangan, yang mengolah makanan sisa lalu membagikan ke penduduk yang membutuhkan. Selain itu, ada juga Melania Hegemur dari Papua Barat yang telah membuat Desa Wisata Aisandami dari binaan World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia sejak 2017. Desa tersebut merupakan kampung wisata pertama di Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, yang menyuguhkan atraksi burung Cendrawasih.
Kedua, meningkatkan literasi dan kapasitas digital bagi kelompok UMKM perempuan. Aksi nyata berupa pelatihan digital telah dilakukan Maria Silangen sejak 2017, yakni mendirikan Pijar Manado untuk pengembangan desa wisata di Kecamatan Tabukan, Sangihe. Adapun kelompok Digital Economy Working Group (DEWG) di bawah koordinasi Kementerian Komunikasi dan Informatika telah membuat program Digital Entrepreneurship Academy (DEA), yang melibatkan 5.544 ibu rumah tangga untuk mengembangkan UMKM berbasis digital. Aksi Maria dan DEWG G-20 bisa diselaraskan dengan kegiatan W-20 dan Empower G-20.
Ketiga, kolaborasi dan parade aksi berbagai engagement group (EG) dan working group (WG) G-20 untuk memajukan peran aktif perempuan dalam aksi ketahanan iklim. Salah satu proyek menarik dari BUMN yang patut didukung dan disinergikan oleh tim Presidensi G-20 Indonesia ialah Desa Energi Berdikari di Lampung Tengah. Program tersebut merupakan binaan PT Pertamina berkolaborasi dengan Asosiasi Kelompok Wanita Tani (Askowani), pemerintah daerah, dan Yayasan Rumah Energi pada Maret 2021. Selain desa di Indonesia, ada aksi Callie Broaddus berusia 26 tahun yang sukses mengumpulkan dana sebesar 178.296 dollar AS dan terbentuklah Youth Land Trust, untuk pemberdayaan dan konservasi hutan hujan tropis di Ekuador.
Kedua program tersebut layak diberdayakan dan dieksplorasi lebih lanjut oleh tim EG dan WG G-20 demi keberlanjutan bumi yang lebih baik. Perempuan memiliki kesabaran, kegigihan, serta kemandirian dalam beraksi untuk ketahanan iklim. Selamat Hari Perempuan Sedunia.
Gracia Paramitha, Co-Chair Youth 20 Indonesia 2022; Co-Founder Indonesian Youth Diplomacy