Memaknai Dampak Perubahan Iklim
Sikap kita dalam memaknai dampak perubahan iklim selayaknya seperti saat kita menghadapi pandemi Covid-19, yaitu harus dihadapi secara global, bersama-sama dengan negara-negara lain.

Didie SW
Masalah pemanasan global (global warming) bukan masalah Indonesia saja, melainkan juga masalah dunia. Berkali-kali masalah ini dibahas di tingkat internasional untuk mencari jalan keluar cara mengatasinya. Namun, berkali-kali juga negara-negara tersebut, yang mengikuti konferensi—khususnya negara besar yang berpengaruh—belum sepakat mengambil keputusan strategis dan mendasar sehingga penanganan untuk menekan emisi karbon di tingkat internasonal sementera waktu mandek (stagnan).
Sementara itu, produksi emisi karbon dunia terus meningkat. Akibatnya, pemanasan global yang meningkatkan suhu bumi 1,5 derajat celsius belum mampu ditekan, bahkan cenderung menaik.
Dampak dari pemanasan global nyata dan di depan mata. Harian Kompas (25/7/2021) memuat berita berjudul ”Cuaca Dunia Semakin Ekstrem”. Banjir yang terjadi di negara China, India, dan Jerman mengirimkan sinyal yang kuat bahwa perubahan iklim membuat cuaca makin ekstrem di seluruh dunia. Dibutuhkan perubahan signifikan untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana serupa pada masa mendatang.
Kanselir Jerman Angela Merkel menekankan perlunya mempercepat penanganan dampak perubahan iklim. Menurut kanselir wanita tersebut, negara-negara lain belum cukup berbuat untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam Kesepakatan Paris untuk membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat celsius. Di Eropa, perubahan iklim kemungkinan meningkatkan jumlah badai besar yang bergerak lambat dan menetap lebih lama di sebuah wilayah dan menyebabkan banjir seperti di Jerman.
Cuaca di Eropa ini kontras dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Oregon, hingga 23 Juli 2021, masih dilanda kebakaran hutan. Kebakaran ini merupakan yang terparah dan berisiko mengancam kawasan permukiman di California. Kebakaran hutan di wilayah barat AS ini sulit dikendalikan karena musim kemarau yang sangat kering dan gelombang panas yang terjadi akhir-akhir ini akibat perubahan iklim. Wilayah barat jadi lebih panas dan kering dalam 30 tahun terakhir.
Dibutuhkan perubahan signifikan untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana serupa pada masa mendatang.
Kondisi di Eropa dan AS saat ini bukan tidak mungkin suatu saat akan terjadi di negara-negara tropis seperti Indonesia. Gejala-gejala awal telah terjadi di negara kita. Buktinya, siklus iklim tahunan yang biasa dikenal April-Oktober-April selama ini sudah tidak dapat dipegang lagi waktunya. Musim hujan dan kemarau di Indonesia sudah bergeser waktu dan jadwalnya dan lebih memprihatinkan adalah susah diprediksi.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita memaknai perubahan iklim yang semakin ekstrem di Tanah Air. Langkah-langkah apa saja yang konkret dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim yang ekstrem ini.
Peringatan dini dan mitigasi
Pemerintah Indonesia terus memperbarui teknologi pemantauan cuaca dan iklim. Langkah ini penting agar kebijakan mitigasi perubahan iklim bisa ditentukan dengan tepat. Pembaruan teknologi itu juga penting untuk menentukan aksi-aksi adaptasi perubahan iklim yang diperlukan.
Kepala Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan, gejala perubahan iklim sudah terjadi. Salah satunya bisa dilihat dari fenomena iklim El Nino dan La Nina. Secara statistik periode ulang terjadinya El Nino-La Nina pada periode 1981-2019 mempunyai kecenderungan berulang semakin cepat dibandingkan periode 1950-1980. Perubahan iklim yang terjadi adalah buntut dari terus meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Baca juga : Perubahan Iklim Memperparah Kejadian Bencana dan Wabah Penyakit
Menurut Dwikorita, konsentrasi gas rumah kaca (GRK) tercatat paling tinggi dalam sejarah dengan CO2 (karbon dioksida) mencapai 405.5 ppm (part per million), CH4 (metana) sebanyak 1859 ppb (part per billion), dan N2O (dinitrogen monoksida) mencapai 329.9 ppb. Catatan tersebut berarti konsentrasi GRK sudah mencapai masing-masing 146 persen, 257 persen, dan 122 persen di atas masa pra-Revolusi Industri.
Menghadapi situasi tersebut, Indonesia terus memperbaiki teknologi pemantauan iklim dan cuaca. Sistem observasi yang ada di lapangan diperkuat dengan dukungan sistem informasi. Ini bisa memberikan hasil pemantauan iklim dan cuaca sesuai kebutuhan masyarakat.
Berkat pembaruan teknologi pemantauan itu, prediksi yang awalnya hanya bisa dalam jangka waktu tiga sampai empat dasarian (sepuluh harian) berturut-turut kini bisa dilakukan hingga tiga bulan ke depan. Indonesia kini juga bisa membangun sistem peringatan dini cuaca dan iklim, mulai dari prediksi terjadinya banjir, kekeringan, hingga kemungkinan mewabahnya penyakit demam berdarah akibat perubahan iklim.

Didie SW
Kita sering meremehkan peringatan BMKG dan tidak terbiasa membaca tanda-tanda alam dan menganggap bencana dalam skala kecil sebagai rutinitas tahunan. Padahal, yang kecil tersebut, kalau tidak segera ditanggulangi, segera membesar karena daya dukungnya akan melebihi batas toleransinya akibat kerusakan lingkungan yang terus-menerus dan masif skalanya.
Mitigasi bencana yang dilakukan daerah sejak awal sehingga korban jiwa dan harta benda dapat ditekan tampaknya belum membuahkan hasil yang nyata.
Langkah konkret
Salah satu sumber emisi global yang menghasilkan karbon dioksoda (CO2) terbesar adalah perubahan fungsi hutan, selain penggunaan gas alam, kilang minyak, pembakaran batubara, dan kendaraan bermotor. Sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48 persen berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi nonhutan. Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21 persen, kebakaran sebesar 12 persen, limbah pabrik sebesar 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.
Langkah konkret yang dapat dilakukan pemerintah dan masyarakat mencakup dua hal. Pertama, langkah yang bersifat preventif, yaitu langkah yang berusaha mempertahankan kondisi hutan dan tutupan hutan yang masih ada. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut seluas 66,3 juta hektar adalah kebijakan yang sangat tepat untuk upaya preventif dalam rangka menghentikan laju alih fungsi lahan.
Di samping itu, izin-izin alih fungsi hutan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan (dalam PP No 23/2021 diubah menjadi persetujuan pinjam pakai kawasan hutan) hendaknya diseleksi seketat mungkin sehingga izin alih fungsi hutan hanya diprioritaskan pada kepentingan yang mendesak dan urgen.
Baca juga : Tantangan Implementasi Pajak Karbon Indonesia
Upaya pengawasan dan perlindungan hutan agar lebih ditingkatkan lagi kualitas dan kuantitasnya sehingga mampu menekan laju deforestasi hutan yang tiap tahun angkanya masih cukup tinggi, yakni 450.000 hektar setiap tahun.
Masyarakat harus diberikan pemahaman oleh pemerintah dalam bentuk kampanye dan sosialiasi untuk tidak mudah menebang pohon meskipun bukan dalam kawasan hutan kalau tidak penting sekali. Diingatkan pula kepada masyarakat bahwa untuk menjadi pohon dewasa dari anakan dibutuhkan waktu yang lama, yakni 15-20 tahun.
Kedua, langkah selanjutnya adalah langkah yang bersifat kuratif, yakni mengembalikan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan menjadi kawasan hutan atau kawasan yang mempunyai tutupan hutan kembali. Caranya dengan mengintensifkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), baik yang didanai oleh pemerintah maupun swadaya oleh masyarakat.
Diingatkan pula kepada masyarakat bahwa untuk menjadi pohon dewasa dari anakan dibutuhkan waktu yang lama, yakni 15 -20 tahun.
Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK 2020-2024, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektar pada 2018. Jumlah itu terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektar, hutan lindung 2.379.371 hektar, hutan produksi 5.109.936 hektar, kawasan lindung pada areal penggunaan lain (APL) 2.234.657 hektar, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektar. Belum lagi ditambah lahan kritis dari laju deforestasi tahunan yang rata-rata 450.000 ha. Sementara lahan kritis kawasan hutan angkanya juga masih tinggi, yakni dalam kawasan lindung pada APL 2.234.657 hekta, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektar.
Lahan kritis dalam kawasan hutan yang mempunyai andil besar dalam memproduksi emisi karbon, khususnya pada hutan gambut yang rusak dan bekas kebakaran serta hutan mangrove yang rusak yang konon mempunyai fungsi penyerap emisi karbon berlipat-lipat dibandingkan dengan hutan tropika basah, harus diprioritaskan untuk dipulihkan secepatnya.
Menurut data terakhir, total luas gambut di Indonesia 13,34 juta hektar. Seluas 2 juta hektar lebih di antaranya harus dipulihkan. Sementara luas hutan mangrove Indonesia 3,56 juta hektar, yang terdiri dari 2,37 juta hektar dalam kondisi baik dan 1,19 juta hektar yang rusak dan harus direhabilitasi.

Supriyanto
Memaknai dampak perubahan iklim
Sikap kita dalam memaknai dampak perubahan iklim selayaknya seperti saat kita menghadapi pandemi Covid-19, yaitu harus dihadapi secara global, bersama-sama dengan negara-negara lain. Minimal komitmen Pemerintah Indonesia yang akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri hingga tahun 2030 tetap dapat dipegang teguh dan dipenuhi. Perkara nantinya terdapat manfaat sampingan berupa potensi karbon dari hutan alam tropis dan tutupan hutan yang masih tersisa dan dapat dijual kepada negara-negara maju yang membutuhkannya, anggaplah sebagai bonus dan berkah dari kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Sebagaimana diketahui, Indonesia sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antar negara. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon ini yang nilainya berkisar 82 miliar dollar AS sampai 100 miliar dollar AS. Angka ini didapat karena Indonesia merupakan 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut, hingga terumbu karang. Namun, angka-angka dollar yang menggiurkan tersebut tidak semudah membalik tangan seperti jual beli barang biasa.
Perdagangan karbon diartikan sebagai skema di mana terjadi aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu melakukan penyerapan emisi karbon alami, seperi negara-negara tropis yang mempunyai hutan alam tropika basah, seperti Indonesia, Brasil, dan seterusnya.
Semua persyaratan sudah dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia, tinggal pihak Norwegia bayar.
Negara-negara berkembang yang masih memiliki carbon credit yang banyak dibandingkan dengan negara industri bisa menjual carbon credit-nya kepada negara yang memproduksi emisi. Jadi, sebenarnya ini hanyalah jual beli di atas kertas belaka. Ini adalah sistem pay of performance, bukan sistem jual beli di mana ada komitmen, uang langsung ada. Negara yang membeli carbon credit dari Indonesia akan melihat apakah dalam beberapa tahun yang dikomitmenkan benar-benar dapat menurunkan emisi karbon.
Pengalaman dengan Pemerintah Norwegia menjadi pelajaran berharga bagi Pemerintah Indonesia. Norwegia sudah menyatakan kesiapan untuk merealisasikan dana (result base payment/RBP) tahap pertama senilai 56 juta dollar AS atas kinerja pengurangan emisi GRK dari kegiatan REDD+ Indonesia untuk periode 2016-2017 sebesar 11,23 juta ton setara CO2 (CO2eq).

Pramono Dwi Susetyo
Semua persyaratan sudah dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia, tinggal pihak Norwegia bayar. Janjinya akhir tahun 2020 yang lalu akan dikucurkan dananya, tetapi kenyataannya hingga akhir Maret 2021 proses pembayarannya masih didiskusikan antara kedua belah pihak. Ini membuktikan bahwa perdagangan karbon antarnegara tidak mudah dan rumit. Oleh karena itu, kalau pembayaran Norwegia bisa direalisasi, anggap saja itu sebagai bonus atas kemampuan bangsa Indonesia dalam menjaga hutan dan tutupan hutannya selama ini.
Pramono Dwi Susetyo, Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan