Mengharapkan independensi dan netralitas, terutama bagi penjabat kepala daerah dari TNI/Polri, ibarat pemahaman naif bahwa politik itu berdiri di ruang hampa.
Oleh
IKHSAN YOSARIE
·5 menit baca
Pasca penetapan jadwal penyelenggaraan, Pemilihan Umum (Pemilu) dan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 masih menyisakan persoalan serius yang perlu diperhatikan. Persoalan tersebut terletak pada proses menuju 2024, yakni habisnya masa jabatan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) pada 2022 dan 2023. Terdapat 101 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya di tahun 2022 dan 170 pada tahun 2023.
Kekosongan kepala daerah tersebut kemudian diatasi dengan pengangkatan penjabat kepala daerah sampai dengan terpilihnya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024. Namun, pada saat yang sama, pengangkatan tersebut juga membuka ruang/wacana penempatan TNI (dan Polri) aktif untuk menduduki kursi penjabat kepala daerah tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Wacana ini tentu saja mengundang polemik di tengah publik. Akan tetapi, terdapat dua hal yang membuat saya gagal paham atas narasi-narasi pihak yang mendukung wacana ini. Pertama, munculnya narasi dari salah seorang anggota DPR Komisi II bahwa tidak ada regulasi yang melarang TNI/Polri untuk menjadi penjabat kepala daerah. Narasi ini tentu keliru, sebab jika merujuk UU Nomor 34 tentang TNI (UU TNI), ketentuan mengenai larangan menduduki jabatan sipil tersebut jelas ada dan tidak bersifat multitafsir.
Pasal 47 ayat (1) telah diatur bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Namun demikian, UU TNI juga membuka ruang untuk penempatan TNI pada beberapa jabatan sipil yang telah ditentukan. Pasal 47 ayat (2) mengatur bahwa jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif tanpa pensiun dini melingkupi kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
Untuk menduduki jabatan-jabatan sipil sebagaimana disebutkan pada ayat (2) tersebut, ayat berikutnya menjelaskan pengaturannya lebih lanjut. Pada ayat (3) dan (4) diatur bahwa jabatan sipil yang dikecualikan sebagaimana disebutkan pada ayat (2) harus atas permintaan dari pimpinan departemen dan lembaga pemerintahan non departemen yang dimaksud dan sesuai dengan kebutuhan organisasi departemen dan lembaga pemerintah non departemen yang bersangkutan.
Melalui ketentuan pada Pasal 47 tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa, pertama, jabatan penjabat kepala daerah bukan termasuk jabatan sipil sebagaimana disebutkan pada Pasal 47 ayat (2). Dengan kondisi demikian, maka berlaku ayat (1), yakni prajurit TNI harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan jika ingin menduduki jabatan penjabat kepala daerah tersebut. Kedua, pernyataan bahwa wacana penempatan TNI sebagai penjabat kepala daerah tersebut tidak melanggar regulasi apapun terbukti keliru melalui ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal 47 UU TNI tersebut.
Pernyataan bahwa wacana penempatan TNI sebagai penjabat kepala daerah tersebut tidak melanggar regulasi apapun terbukti keliru melalui ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal 47 UU TNI tersebut.
Narasi yang kedua adalah soal independensi dan netralitas bagi siapapun yang menjadi penjabat kepala daerah mendatang, termasuk bagi anggota TNI/Polri yang mendudukinya. Perlu diketahui sebagaimana dijelaskan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Akmal Malik, bahwa penjabat memiliki kewenangan penuh seperti kepala daerah dengan merujuk Pasal 201 UU terkait (Kompas, 18/02/21).
Dengan kondisi demikian, maka potensi terganggunya independensi dan netralitas akan terbuka luas. Selain itu, rentang waktu yang relatif panjang juga membuat Interaksi-interaksi politis dengan aktor-aktor politik juga dapat terjadi. Terlebih pada tahun 2024 akan diselenggarakan pilkada, maka interaksi-interaksi politis akan semakin kuat dan massif. Bahkan, berpotensi berakibat masuknya penjabat kepala daerah dalam lingkaran kepentingan politik praktis. Sehingga, mengharapkan independensi dan netralitas, terutama bagi penjabat kepala daerah dari TNI/Polri, tentu ibarat pemahaman naif bahwa politik itu berdiri di ruang hampa. Belum lagi jika kita membahas pengaruhnya terhadap profesionalitas dari TNI (dan Polri) yang juga akan terpengaruh.
Sipil "menggoda"
Dalam Catatan Kinerja Reformasi TNI 2021, SETARA Institute menjelaskan bahwa Presiden, DPR, serta para menteri dan pimpinan lembaga tidak menggoda dan memastikan profesionalitas TNI dengan tidak memberikan jabatan-jabatan tertentu di luar jabatan sipil yang dikecualikan UU TNI. Reformasi TNI harus berjalan dua arah atau timbal balik: TNI fokus melakukan reformasi dan presiden/DPR/politisi sipil wajib menjaga proses reformasi itu berjalan sesuai mandat konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Untuk memastikan profesionalitas TNI, maka perlu mempertimbangkan pembatalan wacana pengisian Pj kepala daerah oleh TNI (dan Polri) aktif untuk mengisi pos-pos kepala daerah yang kosong karena masa jabatan kepala daerah habis di 2022 dan 2023.
Wacana tersebut juga mencerminkan keberulangan model-model regresi reformasi TNI, tepatnya pada bagian penempatan TNI di jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI. Keberulangan ini cenderung mencerminkan belum seriusnya TNI maupun pemerintah dan DPR dalam mengarusutamakan agenda-agenda reformasi TNI. Jika hal-hal demikian dibiarkan terus terjadi pada masa-masa mendatang, potensi yang muncul adalah agenda reformasi TNI yang berjalan mundur.
Selain itu, wacana ini juga mencerminkan aparat militer yang sebelumnya dikembalikan ke barak pasca reformasi sebagai bagian dari reformasi TNI, justru ditarik kembali ke ranah sipil. Menariknya, kembalinya militer ini bukan dari dalam bentuk intervensi militer ke ranah sipil, tetapi infiltrasi sipil melalui bentuk kebijakan yang membuka ruang-ruang sipil untuk dimasuki militer.
Padahal, reformasi di tubuh militer dilakukan untuk menciptakan militer yang profesional dan kuat. Selain itu, konsiderans huruf d TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri menyatakan peran sosial politik dalam dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Polri yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Kadangkala, pemerintah dan DPR terlalu sibuk membela diri atas kebijakan atau wacana kebijakan yang mereka lakukan dengan dalih tujuannya baik, relevansi, atau atas dasar kebutuhan. Padahal, tindakan mereka tersebut tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Lebih dari itu, pejabat tersebut seakan lupa asal muasal mengapa aturan perundang-undangan memuat ketentuan larangan atau pembatasan tersebut.
Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute