Pemerintah Diminta Tak Buka Kotak Pandora Pelibatan Militer ke Ranah Sipil
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengingatkan, selama ini sudah terbentuk kesadaran internal dari TNI dan Polri untuk menjauhi politik praktis. Maka itu, militer jangan digoda menjadi penjabat kepala daerah.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Wacana pengisian jabatan penjabat kepala daerah dari TNI/Polri dinilai akan membuka kotak pandora masuknya kembali militer ke ranah sipil. Hal ini dikhawatirkan bisa menjadi langkah mundur demokrasi yang diperjuangkan sejak era reformasi. Pemerintah diminta mempertimbangkan opsi lain, seperti normalisasi jadwal pilkada atau menunjuk penjabat dari aparatur sipil negara.
Pendapat itu mengemuka dalam diskusi ”Polemik Wacana Penjabat Kepala Daerah dari TNI/Polri Aktif ke Depan, Apa Konsekuensinya?”, yang berlangsung daring, Selasa (12/10/2021). Dalam diskusi itu, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa wacana pengisian jabatan penjabat kepala daerah oleh TNI/Polri bisa membuka kotak pandora tabu era reformasi dan membawa dampak yang lebih berat.
Sebelumnya, muncul wacana pemerintah mengangkat anggota TNI/Polri menjadi penjabat kepala daerah. Hal itu tak terlepas dari preseden sebelumnya. Pada 2018, Mendagri (saat itu) Tjahjo Kumolo menunjuk Komisaris Jenderal (Pol) Mochamad Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat (Kompas, 28/9/2021).
Di era reformasi, kata Titi, masyarakat sipil berjuang keras agar tidak ada dwifungsi TNI/Polri. Perjuangan transisi dari negara otoriter ke demokrasi itu masih menyisakan luka kelam karena banyaknya korban yang jatuh. Saat ini TNI/Polri diatur agar tidak punya akses ke politik.
Selain itu, juga agar lebih profesional menjalankan tugasnya menjaga pertahanan dan kedaulatan untuk TNI, serta fungsi penegakan hukum dan pengayoman masyarakat bagi Polri. Marwah TNI/Polri harus dijaga agar bisa menjalankan tugasnya lebih baik dan profesional.
”Sejak reformasi 1998, TNI/Polri telah menjauhi politik praktis. Hal itu diatur dalam berbagai aturan perundangan dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran. Jangan sampai kita mundur lagi ke belakang dengan menggoda-goda mereka masuk lagi ke ranah politik,” ujar Titi.
Selain Titi, narasumber yang hadir dalam diskusi itu adalah Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung dan Ketua Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia M Jibriel Avessina.
Titi menjelaskan, posisi TNI dan Polri di dalam negara demokrasi jelas. Mereka tidak diberi hak untuk memilih dan dipilih. Ranah militer dipisahkan secara tegas untuk menjaga supremasi sipil. Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan, untuk menjaga keberlangsungan demokrasi itu, reformasi dan profesionalisme TNI dan Polri harus dijaga.
Selama ini, sudah terbentuk kesadaran internal dari militer dan kepolisian untuk menjauhi politik praktis. Di ranah sipil, reformasi birokrasi juga diterapkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Oleh karena itu, militer jangan digoda untuk kembali menempati jabatan sipil. Apalagi, jabatan yang diduduki sifatnya adalah jabatan yang dipilih oleh publik melalui pemilihan umum.
”Persoalan kosongnya jabatan kepala daerah karena pilkada serentak 2024 seharusnya sudah dipikirkan pemerintah dan DPR sejak tahun 2016. Mestinya sudah ada peta jalan, persiapan nyata dan matang. Jangan sampai alasan banyaknya kekosongan jabatan kepala daerah dijadikan alasan menarik kembali TNI-Polri ke ranah politik,” kata Titi.
Secara legal formal, kata Titi, penempatan TNI-Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah jelas bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal 47 Ayat (1) UU TNI menyebut prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan.
Prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan tertentu, seperti jabatan di kantor Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Lembaga Ketahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Intelijen Negara, Sandi Negara, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung.
Adapun pada Pasal 28 UU Polri disebutkan bahwa kepolisian negara bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Anggota kepolisian dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Normalisasi jadwal pemilu
Alih-alih mengangkat penjabat kepala daerah dari TNI/Polri, Titi mengusulkan agar pemerintah menormalisasi jadwal pilkada serentak 2024. Pilkada bisa diajukan jadwalnya pada akhir 2022 atau awal 2023. Sebab, selama 2022-2023 akan ada 271 kepala daerah yang habis masa jabatannya.
Sebanyak 24 di antaranya adalah gubernur. Di luar itu, ada 101 kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2012 dan 170 kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2023. Sebagian kepala daerah bahkan sudah habis masa jabatannya pada Mei 2022.
Sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pengisian kekosongan jabatan gubernur diangkat penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Adapun untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota diangkat penjabat dari jabatan pimpinan tinggi pratama.
Menurut Titi, jika pemerintah tidak ingin terjebak pada masalah kekurangan penjabat daerah, jadwal pilkada bisa dimajukan dengan merevisi UU Pilkada. Normalisasi jadwal pilkada dari sisi teknis elektoral lebih mampu mendistribusikan beban penyelenggaraan bagi KPU dan Bawaslu dan memberi ruang konsolidasi partai mempersiapkan pencalonan kepala daerah. Hal itu tidak akan mengganggu persiapan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2024.
”Hanya saja, ide ini menjadi sulit direalisasikan karena Pemerintah dan DPR tidak ingin mengubah Pasal 201 Ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur bahwa pemilihan serentak secara nasional akan diselenggarakan pada November 2024,” kata Titi.
Selain menormalisasi jadwal pemilu, opsi lain adalah menunjuk sekretaris daerah menjadi penjabat kepala daerah. Sekda adalah orang yang lebih mengenal birokrasi dan pelayanan publik. Jika ada kekhawatiran terkait netralitas aparatur sipil negara (ASN), kerja pengawasan harus lebih dioptimalkan. Pemerintah bisa mengoptimalkan peran Komisi Nasional Aparatur Sipil Negara, Bawaslu, Ombudsman RI, dan perangkat lain yang punya otoritas.
Ahmad Doli Kurnia menuturkan, situasi yang dihadapi pemerintah untuk mencari 271 penjabat kepala daerah memang tidak mudah. Kementerian Dalam Negeri tidak memiliki sumber daya manusia jabatan pimpinan madya sebanyak itu untuk mengisi kekosongan jabatan. Sementara itu, untuk mengisi jabatan tersebut, dibutuhkan pejabat yang independen dan netral agar tak mengganggu pelaksanaan pemilu yang luber dan jurdil. Pemerintah harus memenuhi kriteria tertentu agar tidak salah menempatkan penjabat kepala daerah.
”Kalau salah menempatkan orang, bisa merugikan calon kepala daerah secara politik. Penjabat daerah ini juga harus cakap melakukan pekerjaan agar daerah itu tetap maju. Sebab, situasi yang dihadapi adalah pemulihan dampak Covid-19,” kata Doli.
Doli juga memahami aspirasi masyarakat bahwa ada trauma masa lalu saat masih terjadi dwifungsi ABRI. Seseorang yang bersenjata dan memegang kekuasaan politik dikhawatirkan akan melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Penjabat kepala daerah ditunjuk untuk membantu pengelolaan pemerintahan daerah.
Sebagai orang yang diperbantukan diharapkan para penjabat ini juga tidak membuat masalah baru. Karena wacana tersebut belum diputuskan, Doli mengapresiasi masukan dari masyarakat sipil. Seluruh masukan harus disampaikan kepada pemerintah agar ditemukan solusi komprehensif.
”Siapa pun penjabat yang ditempatkan, mereka harus tahu persis tupoksi mereka, yaitu membantu tugas pemerintahan di daerah agar lebih baik. Mereka ditempatkan bukan untuk bermain politik, melainkan membantu mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat sekarang terutama dampak Covid-19,” terang Doli.
M Jibriel Avessina mengatakan, amanat reformasi yang diperjuangkan dengan berdarah-darah harus dijaga. Jangan sampai, kata dia, wacara pengisian jabatan penjabat kepala daerah dari TNI/Polri justru berimplikasi pada kemunduran demokrasi. Selama ini, hasil survei dari sejumlah lembaga internasional sudah menunjukkan gejala kemunduran demokrasi.
”Ini adalah isu yang sakral dan prinsipil. Bagaimana kita menjaga supremasi sipil dan membangun aturan pemisah yang tegas antara ranah sipil dan militer,” kata Jibriel.
Karena preseden penunjukan penjabat kepala daerah dari TNI/Polri aktif pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, Jibriel berharap wacana itu tidak dilakukan lagi oleh pemerintah. Masyarakat sipil harus terus menyuarakan penolakan untuk menjaga demokrasi dan ruang publik.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan seperti dikutip dari Kompas (28/9/2021), menegaskan, pengisian penjabat kepala daerah dilakukan berdasarkan UU Pilkada. Penjabat gubernur akan diusulkan Menteri Dalam Negeri untuk dipilih dan ditetapkan oleh Presiden. Mereka berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat eselon I. Sementara penjabat bupati/wali kota adalah pimpinan tinggi pratama yang diusulkan gubernur untuk dipilih dan ditetapkan Mendagri.
Terkait wacana penunjukan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah, hingga saat ini Kemendagri belum membahasnya. ”Saat ini (Kemendagri) masih fokus untuk mempersiapkan pelaksanaan pemilu dan Pilkada 2024,” katanya