Ambyarnya Diri Selebgram di Media Sosial
Selebgram tampaknya selalu hidup dalam buaian pencitraan atau "setingan". Risikonya, selebgram selalu hidup dalam ketegangan antara fakta dan fiksi atau kehidupan dalam angan-angan yang harus sesuai keinginan publik.
Godaan untuk selalu eksis sembari mendapat cuan lewat media sosial, membuat warganet kini berlomba-lomba menjadi selebgram. Namun, di balik gairah besar warganet mengembangkan diri lewat media sosial, diam-diam menyelinap persoalan pelik yang berpotensi memecah-belah kepribadian warganet.
Ambiguitas selebgram dan selebritas
Pergaulan di media sosial diramaikan dengan istilah baru yang disebut selebgram atau selebriti instagram. Sebagai kategori kelompok sosial baru, selebgram sebetulnya tak terlalu dikenal. Sebaliknya, yang populer adalah sebutan influencer, mengacu pada pengguna aktif media sosial dengan jumlah pengikut yang besar dan memiliki kemampuan memengaruhi para pengikutnya.
Dalam mengidentifikasi influencer, biasanya dibedakan dari seberapa banyak jumlah pengikutnya. Pertama, nano influencer dengan jumlah pengikut dari 0 sampai dengan 20.000 pengikut; kedua, micro influencer dengan jumlah 20.000-100.000-an pengikut; ketiga, premium influencer dengan jumlah 1-2 juta pengikut.
Baca juga: Menggugat ”Influencer”, antara Mencari Duit dan Etika
Tak setiap influencer adalah selebgram, tetapi setiap selebgram dapat dipastikan ia adalah seorang influencer. Gaya hidup selebgram berupaya mengikuti sepak terjang para bintang yang telah lebih dahulu tenar melalui bisnis pertunjukan, misalnya bintang sinetron, bintang iklan, aktor dan aktris, model, dan seterusnya. Pada titik ini dapat diartikan baik selebgram maupun seorang bintang keduanya dapat berada pada posisi sebagai seorang influencer.
Seorang bintang selalu terkait erat dengan kesuksesan berbasis profesi tertentu di industri hiburan, publik lantas mengakui ketenaran serta kesuksesannya. Sebaliknya, selebritas atau pesohor sering dipahami semata-mata dengan kemahsyuran tanpa harus dikaitkan dengan jenis profesi tertentu. Kategori lain yang memiliki kaitan dalam hal memengaruhi massa adalah pahlawan (hero) yang hadir membawa nilai tertentu.
Selebritas menyiratkan kesan tak memiliki kekuatan transformatif selain bahwa selebritas adalah seseorang yang dikenal luas oleh khalayak. Keterkenalan seorang selebritas sendiri tak lain merupakan akumulasi dari visibilitas si selebritas di media massa. Semakin sering wajah selebritas wara-wiri di media, semakin mantap statusnya sebagai selebritas. Selebritias tak lain merupakan hasil re-presentasi media yang serentak dan berkesinambungan. Lugasnya, selebritas adalah produk industri media.
Bersamaan dengan maraknya media sosial yang dimiliki secara personal oleh warganet, peluang untuk menjadi selebgram kini terbuka lebar untuk setiap orang. Seperti selebritas, selebgram adalah produk/komoditas sekaligus pedagang itu sendiri. Selebragm adalah pihak yang berperan sebagai penjaja diri dan sekaligus produk yang dijajakan.
Seperti selebritas, selebgram adalah produk/komoditas sekaligus pedagang itu sendiri.
Modal selebritas dan selebgram
Sebagai kategori sosial, selebritas dan selebgram adalah wahana bagi terciptanya ruang-ruang negosiasi antara tiga pihak yakni khalayak, media, dan si selebritas itu sendiri. Dari sudut pandang publik, gerak-gerik selebgram selalu tak bisa lepas dari amatan mata khalayak. Pada tingkat tertentu, publik lewat interaksi langsung di media sosial dapat menjadi penentu gerak-gerik selebritas.
Belakangan ini, dikenal istilah modal selebritas (celebrity capital), jenis modal reputasional yang dapat dioperasionalisasikan melalui bidang-bidang usaha baru, hingga menjadi aset strategis untuk meningkatkan kepercayaan, kredibilitas, kecakapan, dan akuntabilitas si selebritas termasuk selebgram.
Selebgram secara serentak dapat berperan sebagai pendukung usaha atau merek dagang terentu. Dalam kapasitasnya sebagai pengusaha, selebgram terlibat sebagai pemilik perusahaan, inisiator, hingga manajer.
Transformasi modal selebgram tak menutup kemungkinan akan bersinggungan—untuk tak menyebutnya mengganggu—berbagai jenis modal dan dinamika kekuasaan dalam bentuk misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersesuaian di bidang-bidang usaha yang digeluti selebgram.
Berbondong-bondongnya selebritas dan selebgram menjadi pemilik tim sepak bola, aktif di lembaga amal, hingga menjajal peruntungan di dunia politik, tak bisa dilepaskan dari optimaliasi modal selebritas seperti diterangkan di muka.
Baca juga: Jangan Kaget, ”Influencer” Virtual Bisa Gusur ”Influencer” Betulan
Kultur “setingan”
Perkara negatif yang membayangi proses konversi berbagai modal yang dimiliki selebgram ke jenis-jenis modal lain adalah potensi terjadinya krisis legitimasi yang bisa datang secara tiba-tiba karena perilaku tak terpuji selebgram misalnya, atau kurangnya kewenangan yang dimiliki selebgram saat selebritas memasuki wilayah politik praktis karena tak secara niscaya berhasil.
Sementara itu, dari sisi kehidupan personal, kehidupan selebgram tampaknya selalu hidup dalam buaian pencitraan. Sealamiah-alamiahnya selebgram dalam kehidupan sehari-hari, sejauh untuk kepentingan gambar maka dia tidak akan bisa lepas dari kerangka pencitraan atau dalam ungkapan yang lebih populer disebut “setingan.”
Risiko di balik gejala kultur “setingan” ini adalah selebgram selalu hidup dalam ketegangan antara fakta (kehidupan sebenarnya) dan fiksi atau kehidupan dalam angan-angan yang harus sesuai dengan keinginan khalayak ramai atau pemilik modal yang menjalin kontrak kerja sama dengan selebgram.
Ketegangan yang tak bisa didamaikan berpeluang menciptakan dampak buruk pada kehidupan mental si selebgram, seperti kepribadian ganda yang sangat merugikan si selebgram, depresi, terlibat kasus asusila, dan lain sebagainya.
Baca juga: ”Buzzer, Influencer, Endorser, KOL, KOC”
Di hadapkan pada kenyataan yang terjabarkan di muka, cara elegan untuk dapat berkelit dalam jebakan ambayarnya diri di kalangan selebgram adalah perlunya sebuah kemampuan menahan diri untuk tidak secara berlebihan mengeksploitasi dan mengkomodifikasi diri dan lingkungan terdekat, yang mirisnya kerap juga dilakukan pada anak-anak mereka bahkan ketika masih dalam kandungan.
Khudori Husnan, Esais