Pak Harto: Saya Ini Kapok Jadi Presiden (Arsip Kompas)
Soeharto menyatakan bersedia mundur dan membentuk Komite Reformasi. Sementara itu, puluhan ribu mahasiswa menduduki gedung DPR. Dua hari kemudian, Soeharto resmi mundur, mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru.
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi Rabu, 20 Mei 1998. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
Jakarta, Kompas -- Presiden Soeharto mengemukakan, kedudukannya sebagai Presiden bukanlah hal yang mutlak, karena itu tak masalah bila harus mundur. "Bagi saya, sebetulnya mundur dan tidaknya itu tidak menjadi masalah. Yang perlu kita perhatikan itu, apakah dengan kemunduran saya itu, kemudian keadaan ini akan segera bisa diatasi," ujarnya, dalam jumpa pers di Istana Merdeka, Selasa (19/5), seusai serangkaian pertemuan dengan para ulama, tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan ABRI.
Dalam kesempatan itu, Presiden Soeharto juga mengumumkan, akan melaksanakan pemilihan umum (pemilu) secepat-cepatnya, berdasarkan Undang-undang (UU) Pemilu yang baru. Ia juga menegaskan, tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Presiden.
Menegaskan hal itu, Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid yang juga ikut pada pertemuan, mengatakan, "Pak Harto akan tidak mau dicalonkan lagi. Bahkan Pak Harto sempat guyon: saya ini kapok jadi Presiden. Itu sampai tiga kali, saya bilang kalau orang Jombang itu, bukan kapok, tapi tuwuk (kekenyangan)."
Baca juga: Lengsernya Soeharto, Babak Baru Demokrasi Indonesia
Presiden mengemukakan pula, akan segera membentuk Komite Reformasi yang bertugas untuk menyelesaikan UU Pemilu; UU Kepartaian; UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; UU Antimonopoli; dan UU Antikorupsi, sesuai dengan keinginan masyarakat. Anggota komite ini terdiri dari unsur masyarakat, perguruan tinggi, dan para pakar.
"Setelah mendengar saran-saran dan pendapat dari para ulama, tokoh-tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan pendapat ABRI, maka untuk menyelamatkan negara dan bangsa, pembangunan nasional, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kesatuan dan persatuan bangsa, saya mengambil keputusan, sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh MPR, saya sebagai Presiden Mandataris MPR, saya akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin," ungkap Presiden.
Pemberi saran dan pendapat dalam pertemuan itu, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (PB NU) KH Abdurrahman Wahid -yang hadir dengan kursi roda -budayawan Emha Ainun Najib, Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali Yafie, Prof Malik Fajar (Muhammadiyah), Guru Besar Tata Negara dari Universitas Indonesia Prof Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Ahmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.
Seusai pertemuan yang berlangsung dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 11.32 WIB, di Ruang Jepara, Istana Merdeka itu, Presiden Soeharto juga mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti nama Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi.
Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, ketiga Kepala Staf dan Kapolri, Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Hamami Nata, Panglima Kodam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, dan Panglima Kostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, hadir di Istana Merdeka, namun tidak ikut dalam pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan ulama itu.
Baca juga: Kronologi Pengunduran Diri Presiden Soeharto
Langkah terbaik
Keputusan Presiden untuk membentuk Komite Reformasi, membentuk Kabinet Reformasi, dan secepatnya melaksanakan pemilihan umum, dinilai sebagai langkah terbaik untuk saat ini. Hal itu diungkapkan Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Najib, Yusril Ihza Mahendra, Nurcholish Madjid, dan Mensesneg Saadillah Mursjid, usai pertemuan dengan Presiden.
Nurcholish mengatakan, "Memang tidak sempurna, tapi mudah-mudahan yang terbaik," ujarnya. Hal itu diungkapkan terutama dengan keterbukaan Presiden dalam mendengarkan, yang oleh Nurcholish digambarkan, Presiden Soeharto bersedia didikte, kata demi kata. Misalnya, pemilu harus secepat-cepatnya. Dalam arti, bisa tiga bulan, kalau DPR aktif.
Mensesneg Saadillah Mursjid mengatakan, pertemuan dengan Presiden itu merupakan aspirasi mereka sendiri sebagai wujud keprihatinan mereka terhadap nasib bangsa dan negara. "Sementara itu, Pak Harto ingin mendengar. Maka titik temunya pertemuan ini. Jadi, bukan dipanggil atau diundang, bukan diseleksi," ujarnya.
"Ini aspirasi mereka dan barangkali secara spontan dari mereka. Bapak Presiden juga 'kan nggak tahu, apa namanya, sebelumnya ada rapat. Sebab itu, tadi terlihat kursi yang disediakan menjadi tidak cocok, karena tidak tahu persis," lanjutnya.
Menurut Mensesneg, keinginan itu baru muncul Senin malam dari Nurcholish Madjid. "Saudara Nurcholish, yang kebetulan sebagai juru bicara mereka, menyampaikan bisa nggak kami menyampaikan ini. Ini adalah concern, rasa tanggap, kepedulian," jelas Saadillah.
Namun, menurut Nurcholish Madjid, kehadiran mereka di Istana Merdeka karena diundang, bukan karena aspirasi sendiri.
Menjawab pertanyaan tentang tidak adanya Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah) dalam pertemuan itu, Mensesneg mengatakan, "Tidak tahu. Artinya, yang saya ketahui inilah yang mengajukan datang. Ini merupakan pertemuan silaturahmi yang merupakan titik temu dari dua niat baik untuk kepentingan bangsa," kata Mensesneg.
"Kita ingin menempuh proses damai. Kita tidak ingin mempermalukan siapa pun. Presiden kita hormati jasa-jasanya dan kita selesaikan masalah ini dengan terhormat dan damai. Jadi tidak perlu menuntut Sidang Istimewa," kata Yusril. "Kita harus selesaikan dengan damai demi kebaikan bangsa kita semuanya," tambahnya.
"Yusril sedang memutar otaknya dengan teman-teman untuk memikirkan apakah ada alternatif yang bisa dibenarkan di samping UU untuk secepatnya, misalnya apakah bisa Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU), untuk mengejar waktu yang secepat-cepatnya. Sebab kalau Pemilu tanpa landasan UU tidak mungkin," lanjutnya.
Baca juga: Usulan Presiden Tiga Periode Dianggap Ahistoris dan Menjerumuskan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menambahkan, Kabinet Reformasi yang merupakan hasil perombakan Kabinet Pembangunan VII, merupakan permintaan para tokoh masyarakat dan ulama. Ia menegaskan, apa yang disampaikan Presiden sebagai jalan keluar terbaik untuk saat ini dan sangat positif.
Menjawab pertanyaan apakah itu berarti Gus Dur bisa menerima, ia mengatakan, "Ya memang, kalau kita setia dengan konstitusi lho ya, nggak bisa sehari dua hari 'kan. Dulu saja yang tahun 1967 Presiden untuk mengganti Pak Karno (Presiden Soekarno) yang terlalu menyimpang pada konstitusi, itu membutuhkan waktu enam tahun".
Gus Dur yakin, masyarakat akan mengerti dengan sendirinya. "Dan saya hanya minta satu, hentikan sajalah itu demonstrasinya itu, karena sudah tercapai. Bahkan tadi secara spesifik Presiden akan berunding dengan parlemen, ulama, para pakar, dan militer segala macam," tegasnya.
"Sekarang komite ini 'kan membuka peluang selebar-lebarnya. Makanya diambil dari kampus, perguruan tinggi, tokoh masyarakat. So, mereka yang menentukan, sekarang Anda yang menentukan dan Anda yang menuntut reformasi, sekarang menentukan wakil-wakil kita untuk mengisi komite itu dan mengerjakan seluruh proses yang kita kehendaki," ujar Emha Ainun Najib.
Malik Fajar yang duduk di sampingnya, menambahkan, seluruh tokoh yang hadir dalam pertemuan itu tidak akan terlibat dalam Komite maupun Kabinet Reformasi.
Tentang fungsi DPR, Emha mengatakan, bila keputusan itu lalu tidak memfungsionalkan DPR, hal itu berarti inkonstitusional. Ditegaskan, keputusan itu dimaksudkan hanya membantu Mandataris dalam melaksanakan pengawasan bersama.
Baca juga: 24 Tahun Pasca-Reformasi, Demokrasi Indonesia Masih Rentan
Tentang ketidakikutsertaan Amien Rais, Emha pun mengatakan tidak tahu. Hal senada juga diungkapkan Malik Fajar. "Saya datang sebagai anggota Muhammadiyah, saya minta izin sama Pak Amien, dan diizinkan. Jadi saya datang ke sini setelah memperoleh izin dari Pak Amien Rais. Tadi Cak Nur berangkat, juga diketahui," kata Malik Fajar.
Ada yang tak percaya
Dalam keterangan lisannya, Presiden Soeharto mengatakan, kedudukannya sebagai Presiden bukanlah hal yang mutlak, karena itu tak masalah bila harus mundur.
Ditegaskan, sebelum terpilih menjadi Presiden RI 1998-2003, pihaknya telah mengingatkan, "Apa benar rakyat Indonesia masih percaya pada saya, karena saya sudah 77 tahun. Agar dicek benar-benar, daripada semuanya itu," lanjut Presiden. Menurut Presiden, seluruh kekuatan sosial politik, PPP, PDI, Golkar maupun ABRI mengatakan rakyat masih menghendaki.
"Baiklah, kalau demikian, tentu saya terima dengan rasa tanggung jawab. Jadi, saya terima bukan karena kedudukannya, tetapi karena tanggung jawab. Lebih-lebih pada saat kita menghadapi kesulitan akibat berbagai krisis tersebut. Rasa-rasanya kalau saya meninggalkan begitu saja, lantas bisa dikatakan, tinggal gelanggang colong playu. Berarti meninggalkan keadaan yang sebenarnya saya masih harus turut bertanggung jawab," kata Presiden.
"Karena itu, pada waktu itu, sekali lagi saya terima dengan rasa tanggung jawab, semata-mata terhadap negara dan bangsa Indonesia ini. Sekarang, ternyata baru saja timbul yang tidak seluruhnya mendukung, artinya unjuk rasa bahwa mereka sudah tidak percaya lagi pada saya. Sehingga lantas mengajukan supaya saya mundur," lanjutnya.
Sekali lagi ditegaskan, Presiden tidak mempermasalahkan persoalan mundur tersebut. Karena Presiden sudah punya tekad untuk madeg pandito bila tidak lagi menjadi Presiden. Dalam arti, akan lebih mendekatkan diri pada Tuhan, mengasuh anak-anak agar menjadi warga negara yang baik, dan kepada masyarakat bisa memberi nasihat, sedang terhadap negara, dengan sendirinya tut wuri handayani.
Akan kacau
Namun, persoalannya, kata Presiden, bila pihaknya mengundurkan diri secara konstitusional, berarti jabatan Presiden harus diserahkan kepada Wakil Presiden, yang saat ini dijabat BJ Habibie.
"Apakah ini juga merupakan jalan penyelesaian masalah dan tidak akan timbul lagi. Nanti Wakil Presiden juga harus mundur lagi. Kalau begitu terus menerus, itu menjadi preseden atau menjadi kejadian dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dengan sendirinya, negara dan bangsa kita itu akan kacau, seolah-olah tidak mempunyai landasan dalam menjamin kehidupan kita dalam berbangsa dan bermasyarakat," jelasnya.
Karena itu, Presiden menegaskan, perlunya mengambil berbagai langkah yang tidak meninggalkan konstitusi dan bisa digunakan sebagai landasan menyelesaikan persoalan, terutama dalam mengatasi berbagai krisis.
"Jadi, demikianlah, ada yang juga mengatakan, terus terang saja dalam bahasa Jawanya, tidak menjadi Presiden, tidak akan patheken. Itu kembali menjadi warga negara biasa, tidak kurang terhormat dari Presiden asalkan bisa memberikan pengabdian kepada negara dan bangsa. Jadi, jangan dinilai saya sebagai penghalang, tidak sama sekali. Semata-mata karena tanggung jawab saya," tegasnya.
Presiden Soeharto juga meminta ABRI menjaga kewaspadaan dan keselamatan nasional, menjaga keamanan dan ketertiban bersama-sama, dan bergandengan tangan dengan seluruh masyarakat. Presiden sekaligus menggunakan kesempatan itu untuk menyampaikan duka cita yang sedalam-dalamnya kepada para korban kerusuhan yang terjadi beberapa waktu lalu.
"Semoga arwah para korban diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya. Kepada sanak keluarga para korban kiranya diberikan kekuatan iman dan ketabahan oleh Tuhan Yang Maha Esa," kata Presiden. (rie)
Arsip Kompas bagian dari ekshibisi “Indonesia dalam 57 Peristiwa”, 28 Juni 2022.