Usulan Presiden Tiga Periode Dianggap Ahistoris dan Menjerumuskan
Unsur pimpinan MPR menegaskan tidak ada pembahasan di internal MPR untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden dari dua periode jadi tiga periode. Isu itu dikhawatirkan bisa memecah belah bangsa.
Oleh
RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO/NINA SUSILO
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kekhawatiran mengenai rencana perpanjangan jabatan presiden selama tiga periode yang dikemukakan oleh mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais dibantah oleh unsur pimpinan MPR. Masa jabatan presiden dua periode dinilai sudah ideal. Di sisi lain, upaya menggoreng isu perpanjangan masa jabatan ini dinilai merupakan manuver politik yang dapat memecah belah bangsa.
Kekhawatiran rencana perpanjangan masa jabatan presiden itu dikemukakan mantan Ketua MPR Amien Rais secara daring dalam akun media sosial, Sabtu (13/3/2021). Amien menilai ada arah rezim yang kian jelas menuju perpanjangan jabatan itu. “Jadi mereka akan mengambil langkah pertama meminta sidang istimewa MPR, yang mungkin satu, dua pasal yang katanya perlu diperbaiki yang mana saya juga tidak tahu, tapi kemudian nanti akan ditawarkan baru yang kemudian memberikan hak presidennya itu bisa dipilih tiga kali,” kata Amien.
Dia juga menyebutkan ada skenario dan dukungan politik yang kuat bagi Presiden Joko Widodo untuk mencengkeram semua lembaga tinggi negara, terutama DPR, MPR, dan DPD. Selain itu, ia menduga, upaya tersebut juga melibatkan TNI dan Polri untuk diajak main sesuai dengan selera rezim.
Koordinator Staf Khusus Presiden AAGN Dwipayana, Senin (15/3/2021) menyebut sikap Presiden Jokowi terkait periode jabatan presiden tidak akan berubah. Masalah pembatasan masa jabatan Presiden sudah ada dalam konstitusi dan tidak ada tafsir lain. Karenanya, tak ada niatan pemerintah untuk mengubah masa jabatan tersebut dalam UUD 1945.
Pada 2 Desember 2019, Presiden Jokowi sempat menyampaikan sikapnya terkait wacana amandemen UUD 1945. “Yang ngomong Presiden itu tiga periode artinya tiga. Satu, ingin menampar muka saya. Kedua, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja,” tuturnya saat itu.
Presiden juga menjelaskan sebagai produk pemilihan presiden langsung, dirinya menilai amandemen UUD 1945 tak akan bisa dibatasi hanya pada isu garis besar haluan negara. Kenyataannya, muncul pula isu perubahan masa jabatan presiden maupun cara pemilihan Presiden yang akan didorong kembali ke MPR. Karenanya, Presiden menilai, amandemen UUD 1945 tidak diperlukan. Konsentrasi pemerintah pun akan tetap pada masalah-masalah eksternal.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas Charles Simabura, mengatakan, pernyataan Amien itu dapat dipahami sebagai upaya mengingatkan semua pihak agar tidak terjebak pada tindakan inkonstitusional. “Ini dalam ranah politik baru sebatas cek ombak, atau test the water. Karena kalau benar ada usulan untuk mengusung presiden tiga periode, ini melanggar konstitusi, dan jelas-jelas ahistoris,” katanya.
Ia mengingatkan, Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto pernah melakukan itu, dan kondisi itu berusaha diubah melalui Reformasi demi ketatanegaraan yang lebih demokratis. Oleh karenanya, pembatasan masa jabatan presiden dua kali itu penting untuk mencegah munculnya otoritarianisme.
“Sekalipun ketentuan dua kali masa jabatan itu dapat diubah dengan amandemen konstitusi, tetapi tindakan itu ahistoris. Presiden Soekarno melakukan itu, Presiden Soeharto melakukan itu. Karenanya jangan diulangi. Presiden tiga periode akan menghilangkan kontrol, dan elite-elite politik yang sepakat melakukan itu akan berusaha menjaga hal ini mati-matian,” katanya.
Belajar dari pengalaman negara-negara lain, seperti Bolivia, Venezuela, dan Turki, di mana periode tiga kali masa jabatan presiden diwujudkan melalui pemilu yang keras dan penuh rekayasa, lanjut Charles, hal serupa harus dihindari di Indonesia.
Tidak ada wacana
Ketua MPR Bambang Soesatyo, yang dihubungi terkait dengan wacana presiden tiga periode itu mengatakan, tidak ada pembahasan apapun di internal MPR RI untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Presiden Joko Widodo juga sudah sejak jauh hari menegaskan tidak ada niat dari dirinya pribadi maupun dari unsur kalangan pemerintah untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
“Ketentuan masa jabatan kepresidenan diatur dalam Pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD NRI 1945, MPR RI tidak pernah melakukan pembahasan apapun untuk mengubah Pasal 7 UUD NRI 1945," ujar Bambang, Senin di Jakarta.
Merujuk pada pengalaman dan praktik di banyak negara demokratis, termasuk Amerika Serikat, yang merupakan kampiun demokrasi, masa jabatan presiden maksimal dua kali. Pemilihan masa jabatan kepresidenan maksimal dua periode dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang matang.
“Pembatasan maksimal dua periode dilakukan agar Indonesia terhindar dari masa jabatan kepresidenan tanpa batas, sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu. Sekaligus memastikan regenerasi kepemimpinan nasional terlaksana dengan baik,” ucapnya.
Bambang menambahkan, masyarakat harus mewaspadai isu perpanjangan masa jabatan kepresidenan menjadi tiga periode. Jangan sampai isu tersebut digoreng menjadi bahan pertikaian dan perpecahan bangsa. Stabilitas politik yang sudah terjaga, dan merupakan kunci keberhasilan pembangunan jangan sampai terganggu karena ada propaganda dan agitasi perpanjangan masa jabatan kepresidenan.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid juga menegaskan, tidak ada agenda di MPR untuk mengamandemen kembali UUD untuk memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode. Hal itu dipandang sebagai wacana lama yang pernah diangkat oleh Arief Poyuono, mantan Wakil Ketua Umum Gerindra, November 2019.
Ketika wacana itu pertama kali dimunculkan, Presiden Jokowi sendiri sejak saat itu telah menolak wacana tersebut. Untuk bisa mengamandemen UUD, sekurang-kurangnya harus diajukan sepertiga anggota MPR, yang diajukan secara formal dan tertulis. Presiden juga tidak memiliki hak konstitusional untuk meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk mengamandemen konstitusi guna memperpanjang masa jabatan presiden.
Amandemen terbatas
Bantahan juga disampaikan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basarah. Pimpinan MPR dari fraksi terbesar di MPR itu mengatakan, sejauh ini belum ada pemikiran atau langkah-langkah politik untuk mengubah konstitusi demi menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
“Demikian juga di MPR, kami belum pernah membahas isu masa jabatan presiden tersebut dan mengubahnya menjadi tiga periode,” katanya.
Menurut Basarah, fraksinya menilai masa jabatan presiden dua periode seperti yang saat ini berlaku sudah cukup ideal dan tidak perlu diubah lagi. “Hanya saja, perlu kepastian akan kesinambungan pembangunan nasional dalam setiap pergantian kepemimpinan nasional, sehingga tidak ganti presiden ganti visi-misi dan program pembangunannya. Pola pembangunan nasional seperti itu ibarat tari poco-poco, alias jalan di tempat,” ucapnya.
Atas dasar itu, Basarah mengatakan, perubahan terbatas terhadap UUD 1945 dapat dilakukan, sebatas untuk memberikan kembali wewenang MPR dalam menetapkan garis-garis besar haluan negara. Bukan untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode karena hal tersebut bukan kebutuhan bangsa saat ini.
Terkait hal itu, menurut Charles, agenda amandemen konstitusi harus dikawal dengan seksama dan kritis, sehingga tidak liar dan bisa mengubah pasal-pasal lain yang tidak terkait dengan niatan awal. “Jangan sampai agenda perubahan konstitusi ini menjadi jalan masuk bagi usulan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Jazilul Fawaid mengatakan, amandemen itu bukan barang haram, terbuka, dan konstitusional. Idealnya, masa jabatan presiden terpulang pada kehendak rakyat. Namun, pembatasan masa jabatan bisa saja berubah sesuai kehendak dan dinamika rakyat.
“Hemat saya pribadi, kalau dasarnya konstitusi tergantung pada bunyi konstitusinya, dan konstitusi dapat diubah melalui amandemen. Jika ukurannya etika, satu periode saja sudah cukup,” ujarnya.
Secara terpisah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengatakan, Presiden Jokowi taat pada konstitusi. Saat ini, sebaiknya semua pihak fokus untuk melakukan konsolidasi demokrasi lima tahunan melalui pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada yang demokratis.
“Sudah tidak pada tempatnya tembakan-tembakan politik tanpa arah yang justru mengacaukan stabilitas politik. Tokoh-tokoh politik sebaiknya konsolidasi internal partainya masing-masing, kan tahun depan sudah memasuki tahapan pemilu. Janganlah jumpalitan politik sendiri yang menuduh kemana mana,” katanya.
Mengenai usulan perpanjangan jabatan presiden, menurut Tjahjo, bagian dari gerakan atau pola menjebak, yang sebaiknya ditinggalkan dalam manuver politik. “Bapak Jokowi saya yakin beliau tidak akan terjebak dengan manuver-manuver murahan tersebut,” ujarnya.