Sengkon dan Karta "Bebas" (Arsip Kompas)
Sengkon dan Karta, petani yang dipenjara atas tuduhan pembunuhan, bertemu dengan pelaku sebenarnya di penjara. Mereka akhirnya dibebaskan. Cikal-bakal mekanisme Peninjauan Kembali (PK) dalam hukum acara pidana saat ini.
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi Rabu, 5 November 1980. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
Jakarta, Kompas -- Anak-isteri Karta dan Sengkon tidak menduga sama sekali bahwa kepala keluarga mereka boleh keluar dari lembaga pemasyarakatan kemarin siang. “Kami hanya bermaksud menengok seperti biasa,” ujar isteri Karta. Sudah sejak Lebaran Idul Fitri yang lalu, mereka tidak menjenguk Karta dan Sengkon.
Seperti kebiasaan yang sudah, bila mereka hendak ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang mem-bezoek Karta dan Sengkon, pagi buta, harus bangun menyiapkan nasi sebagai oleh-oleh. Kemudian berangkat pukul 06.00 WIB naik kendaraan umum dari Pondok Gede.
Karta yang semula tinggal di Kampung Cakung Payangan dan Sengkon yang bermukim di Pondok Rangon, sampai kemarin siang menghuni LP Cipinang sebagai narapidana yang dipersalahkan merampok serta membunuh Sulaeman suami-istri. Peristiwa ini terjadi tahun 1974 di Desa Bojongsari, Pondok Gede, Bekasi.
Baca juga: Mendesain Ulang Peninjauan Kembali
Ketika keduanya mulai menjalani hukuman di LP Cipinang, mereka berjumpa dengan Gunel yang masih punya hubungan darah dengan Sengkon. Gunel berada di Cipinang atas kesalahannya melakukan pencurian. Kepada Sengkon, ia mengaku sebagai pelaku perampokan di Bojongsari dan menewaskan suami-istri Sulaeman. Bulan Oktober lalu, Gunel dan kawan-kawan dijatuhi hukuman atas kesalahannya merampok di rumah Sulaeman tersebut.
Setelah keluar putusan atas diri Gunel Cs, timbul pelbagai tanggapan dari kalangan ahli hukum, baik kalangan hakim, advokat, dan sebagainya. Umumnya menginginkan agar Karta dan Sengkon dikeluarkan dari lembaga, sambil menunggu upaya hukum terbaik untuk “memperbaiki” putusan yang menyatakan mereka bersalah.
Tanggal 3 Nopember 1980 lalu, Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi Artomo Singodiredjo SH mengajukan permohonan kepada Kepala LP Cipinang minta “schorsing” pelaksanaan hukuman bagi Karta dan Sengkon. Diuraikan bahwa Kejaksaan berusaha mencari upaya hukum atas kekeliruan tersebut. Sambil menunggu upaya tadi, Karta yang dijatuhi hukuman 7 tahun dan Sengkon 12 tahun dimohon dapat dikeluarkan dahulu dari lembaga dengan status “schorsing” menjalani hukuman.
Permohonan itu dikabulkan oleh Jaksa Agung Ali Said SH, yang mengirim surat kepada Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung dengan maksud yang sama.
Permohonan dikabulkan
Drs. R Soegondo, Sekretaris Ditjen Pemasyarakatan, menjelaskan kepada pers kemarin siang bahwa setelah permohonan dibahas oleh Dewan Pembina LP Cipinang segera diteruskan ke pusat. Dirjen Pemasyarakatan mengabulkan permohonan dengan pengertian bahwa pidana atas diri Karta dan Sengkon bukan berarti hapus.
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi menjawab pertanyaan wartawan mengatakan, langkah yang ditempuh sekarang ini merupakan “penundaan”. Bukan menghapus putusan Hakim yang sudah berkekuatan pasti, sambungnya. Putusan itu tetap berlaku sampai sekarang sambil menunggu upaya hukum yang akan ditempuh untuk membebaskan kedua narapidana tadi, demikian Artomo.
Sementara itu, Mahkamah Agung kemarin siang juga mengeluarkan siaran pers yang menegaskan bahwa permohonan Jaksa Agung tentang diri Karta dan Sengkon dikabulkan. Persetujuan Mahkamah Agung ini adalah merupakan hasil pembahasan dengan Departemen dan Kejaksaan Agung. “Sambil menunggu upaya hukum formal yang akan ditempuh menyetujui penghentian sementara dari menjalani hukuman kedua terhukum tersebut”.
Karta dan Sengkon sampai jam 12.00 kemarin belum mengetahui tentang “nasib baik” yang datang pada diri mereka. Pagi harinya kedua narapidana tersebut dikunjungi Dirjen Pemasyarakatan, Ibnu Susanto SH. Pejabat tinggi ini tidak memberitahu tentang “pembebasan”, juga tidak mensyaratkan sesuatu kepada Karta dan Sengkon. Ia hanya pesan agar “baik-baik saja”.
Istri Karta dan Sengkon beserta beberapa anggota keluarga yang “membezoek” kemarin mendadak jadi gembira sekali memperoleh pemberitahuan bahwa Karta dan Sengkon akan dikeluarkan dari lembaga.
Mukanya segar berseri-seri, Karta cepat-cepat berganti pakaian. Sengkon yang dirawat di rumah sakit di dalam LP Cipinang segera ditolong para perawat berganti pakaian. Jam 14.10 mereka diajak keluar tembok. Karta naik colt sedangkan Sengkon diangkut dengan ambulans. Hampir-hampir Sengkon tak sadarkan diri.
Baca juga: Ketika Koruptor Ramai-ramai Ajukan Peninjauan Kembali
Kendaraan yang membawa mereka beriringan menuju Bekasi. Sebenarnya, untuk mencapai rumah Karta maupun Sengkon bisa memintas lewat Lobang Buaya terus Pondok Gede, dan dari daerah ini tinggal sekitar 3 kilo ke arah selatan. Tetapi, karena Sengkon harus diopname, maka mereka ke RSU Bekasi dulu. Di rumah sakit itulah Sengkon “didrop”, lalu para petugas Kejaksaan bersama petugas dari lembaga melanjutkan perjalanan ke Pondok Rangon mengantar pulang Karta.
Mau pulang ke mana?
Karta terpaksa “pulang” ke rumah orangtua angkatnya di Kampung Pondok Rangon, sebab rumah dan tanahnya sudah habis dijual buat biaya hidup anak bininya selama ia berada di lembaga. Ketika pers bertanya mau pulang ke mana, Karta agak kebingungan menjawab “belum tahu mau pulang ke mana”. Akhirnya ke rumah engkong Leget di Pondok Rangon itulah petugas mengantar Karta “pulang”.
Setelah rumah dan tanahnya terjual, keluarga Karta ikut ibunya ke Kampung Bojongsari. Tetapi, baik Karta maupun Sengkon selama menjalani hukuman telah menitipkan keluarga kepada kakek tersebut. Bahkan kalau ada kesulitan, Leget yang ikut memecahkan bersama Nadi, adik Karta.
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi mengantarkan sendiri ke rumah sakit serta meminta agar dokter merawat Sengkon baik-baik. Semua biaya akan ditanggung Kejaksaan. Bekas “jawara” dari Bekasi yang kini sakit TBC itu sebetulnya ingin segera pulang ke kampung halamannya di Pondok Rangon. Rumah Sengkon hanya sekitar 50 meter dari rumah Leget. Tetapi, Artomo mengatakan bahwa Sengkon perlu dirawat dulu sampai sembuh.
Selesai diperiksa keadaan kesehatannya, Sengkon diangkut ke kamar rawat. Ia tampak gembira sekali. Sambil duduk, Sengkon meminta jeruk pada isterinya. “Ini ada uang,” tuturnya sambil menyodorkan satu lembar ribuan. Katanya, uang itu diperoleh dari narapidana Bandi yang sekamar dengannya.
Baca juga: Pintu Masuk Koruptor Peroleh Hukuman Ringan
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi memberi sumbangan Rp 20.000 kepada isteri Sengkon, Tuni. “Berdoalah kepada Allah,” kata Artomo. Tuni dinasehati agar tetap tenang, tak usah gelisah.
Ketika rombongan tiba di Pondok Gede mengantar Karta, Tripida Kecamatan setempat menyambut di kantor Kelurahan Jatiluhur bersama masyarakat. Camat dalam kesempatan tersebut mengucap syukur atas kembalinya Karta dan Sengkon. Kepada masyarakat yang berkerumun, Camat bertanya apakah mau menerima kedatangan kedua warga itu? Masyarakat menjawab serentak, “Bersedia”.
Pertanyaan ini mungkin dimaksudkan untuk “mendamaikan” dan mengembalikan suasana kekeluargaan. Sebab, Karta dan Sengkon dahulu ditangkap setelah ada “surat pernyataan” masyarakat yang menghendaki kedua orang itu ditangkap dan diusut sebagai pelaku perampokan di rumah Sulaeman.
Jam 18.10, rombongan pengantar Karta tiba di rumah kakek Leget. Ibu angkatnya terkejut mengetahui Karta pulang. Ia merangkul erat sekali sambil mengucurkan air mata.
Baca juga: Baiq Nuril Ajukan Peninjauan Kembali
Harapan Ketua Mahkamah Agung
Ketua Mahkamah Agung Prof Oemar Seno Adji SH kemarin siang menerima Albert Hasibuan SH di ruang kerjanya. Anggota DPR (Komisi III) tersebut menghadap Ketua Mahkamah Agung setelah mendengar bahwa Karta dan Sengkon akan dikeluarkan dari lembaga.
Albert-lah yang akhir-akhir ini giat mengumpulkan data dalam usahanya mencarikan upaya hukum untuk membebaskan Karta dan Sengkon. Kemarin siang menurut rencana ia akan menghadap Jaksa Agung. Tetapi niat ini urung karena Jaksa Agung ada acara lain.
Ketika menerima Albert, Prof Oemar Seno Adji didampingi oleh Hakim Agung Djoko Soegianto SH, Panitera Agung (Sekjen) Rafly Rasyad SH, dan Kepala Bagian Pidana Soedirjo, SH.
Dengan adanya kasus Karta dan Sengkon, Ketua Mahkamah Agung berharap nanti dalam Hukum Acara Pidana (HAP) yang baru (kini tengah digodok di DPR), masalah herziening, rehabilitasi, serta ganti-rugi diatur sesempurna mungkin. Sehingga, bila ada kasus serupa dengan kasus Karta - Sengkon sudah tak perlu kebingungan lagi.
Persetujuan Mahkamah Agung untuk “menghentikan sementara” bagi Karta dan Sengkon menjalani hukuman, menurut Prof Oemar Seno Adji, karena Mahkamah Agung dan aparat bawahannya juga mempunyai fungsi sebagai pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk masalah dan fungsi ini pun ia berharap HAP yang baru nanti mengatur sebaik-baiknya. (sha/tsp/amd)
Arsip Kompas bagian dari ekshibisi “Indonesia dalam 57 Peristiwa”, 28 Juni 2022.