Dalam beberapa perkara pidana, terpidana memilih langsung mengajukan PK tanpa menempuh banding dan kasasi karena putusan PK tak akan memperberat putusan semula (peluangnya bebas, lepas, pidana lebih ringan, atau sama).
Oleh
BINZIAD KADAFI
·5 menit baca
Apa yang ada di benak ketika kita mendengar frasa luar biasa? Rasanya siapa pun akan membayangkan sesuatu yang eksklusif, istimewa, berbeda dari yang lain, atau mengesankan. Pada konteks ini, menarik untuk membahas peninjauan kembali yang merupakan upaya hukum guna memeriksa ulang putusan pidana yang telah final (berkekuatan hukum tetap) berdasarkan alasan yang sangat terbatas.
Tak hanya pendapat ahli hukum, peraturan perundang-undangan pun menyatakan peninjauan kembali (PK) merupakan upaya hukum ”luar biasa”. Lalu, apa betul PK bersifat luar biasa? Bagaimana jika PK justru menghasilkan keadaan yang tak sejalan dengan atribut luar biasa?
Praktik PK di Indonesia
Ketimbang menjadi eksklusif, Mahkamah Agung (MA) pada kenyataannya selalu kebanjiran perkara PK. Pada 2020, misalnya, 7.341 permohonan PK masuk ke MA untuk berbagai jenis perkara. Pada perkara pidana saja, permohonan PK 10 tahun terakhir 400-an per tahun (MA, 2021). Alih-alih didasarkan pada alasan istimewa, MA pernah mengungkap hanya 20 persen permohonan PK, alasannya layak. Tingkat keberhasilan PK selama bertahun-tahun itu hanya sekitar 12 persen (MA, 2016).
Alasan PK yang banyak dipakai pemohon: ”kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata”. Alasan ini memang paling lentur dibandingkan alasan lain (novum dan putusan saling bertentangan). Karena lentur, alasan kasasi yang sudah ditolak pun bisa dikemas ulang sebagai kekhilafan hakim di PK. Mungkin itu sebabnya, mayoritas PK yang diajukan adalah terhadap putusan MA sendiri di tingkat kasasi.
Daripada dipandang sebagai proses yang berbeda dari yang lain, PK justru sering dipandang semata-mata sebagai upaya hukum ketiga. Sebagian kalangan bahkan memperlakukan PK sebagai pengganti banding biasa.
Alasan PK yang banyak dipakai pemohon: ”kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata”.
Dalam beberapa perkara pidana, terpidana memilih langsung mengajukan PK tanpa menempuh banding dan kasasi karena putusan PK tak akan memperberat putusan semula (peluangnya bebas, lepas, pidana lebih ringan, atau minimal sama).
Akibat tingginya arus perkara ke MA, hasil pemeriksaan PK di MA mungkin tak lagi mengesankan. Oleh karena itu, bisa ditemukan putusan-putusan PK yang kadang justru mendatangkan masalah. Putusan berkekuatan hukum tetap yang bisa jadi sudah benar menjadi rentan untuk diuji kembali oleh proses yang tak menjanjikan kualitas yang lebih baik.
Masalah konsistensi juga jadi sorotan dalam putusan-putusan PK. Ada putusan yang menerima permohonan PK kedua kali, sementara putusan lain tegas menyatakan PK hanya bisa dimohonkan satu kali.
Ada putusan yang mensyaratkan kebaruan dan sifat menentukan novum secara ketat, ada yang mengualifikasikannya lebih longgar. Ada putusan yang kritis terhadap PK yang sengaja langsung dimohonkan tanpa lewat banding atau kasasi, ada yang tak beri catatan apa pun terhadap strategi litigasi itu.
Berbagai undang-undang sejak dulu belum mampu membangun sistem PK yang baik. Padahal, PK adalah salah satu mekanisme peradilan yang paling banyak diatur (highly regulated). Sejak diintroduksi pada 1964, PK diatur oleh 12 UU, 6 peraturan MA (perma), 12 surat edaran MA (SEMA), 2 SK Ketua MA, dan 1 petunjuk ketua muda.
Namun, berbagai peraturan perundang-undangan itu condong mengatur formalitas seperti subyek dan tahapan PK. Pembentuk UU kerap bergantung pada MA, yang memang paling menguasai aspek teknis, untuk mengelaborasi norma-norma PK. Sementara MA lebih kuat menjalankan peran itu lewat regulasi dan kebijakan ketimbang yurisprudensi.
Regulasi dan kebijakan yang dihasilkan MA pun lebih dominan menentukan formalitas PK. Aspek yang substantif dan mendasar, seperti penentuan ruang lingkup dalam menguji setiap alasan materi PK, belum cukup disentuh. Karena itu, tak berlebihan jika dikatakan kerangka hukum PK di Indonesia belum koheren dan konsisten. Situasi ini tentu memengaruhi advokat, jaksa, dan para hakim.
Para aktor peradilan ini belum dipandu peraturan perundang-undangan yang koheren dan konsisten (yang berpijak pada prinsip dan doktrin) dalam mengajukan, memeriksa, dan memutus PK. Akibatnya, persoalan kualitas dan konsistensi mengemuka di perkara PK tertentu. Salah satu wujudnya adalah putusan MA yang dikritik pemerhati peradilan dalam dan luar negeri, termasuk putusan PK (Kompas, 16/11/2021).
Tawaran solusi
Di antara solusi yang bisa ditawarkan adalah kembali pada prinsip dan doktrin yang mendasari PK. Terdapat dua kutub doktrin yang saling berhadapan soal keberadaan PK. Ada doktrin yang mendukung, mengedepankan pertimbangan falibilitas bahwa hakim (begitu juga bukti-bukti) sangat mungkin salah (Franken, 2008).
PK oleh doktrin ini dinilai penting guna mengoreksi kesalahan serius (gross error) pada putusan pengadilan yang sudah final. Doktrin ini menjamin hak individu mendapatkan putusan yang benar (Craighead, 2003).
Di sisi lain, ada doktrin yang menentang PK dengan mengusung prinsip finalitas, bahwa proses peradilan harus ada ujungnya (lites finiri oportet). Menurut doktrin ini, PK prosedur yang mahal, memakan waktu, dan duplikasi dari tahapan peradilan sebelumnya (Scott, 2014). Jika suatu putusan tak kunjung dihormati karena tak kunjung dianggap final, salah satunya karena setiap saat bisa diperiksa ulang lewat mekanisme PK, maka kewibawaan pengadilan akan terganggu, begitu pun kepentingan individu yang sudah diadili lewat putusan tersebut (Jacob, 1970).
Pijakan pada prinsip dan doktrin di atas akan mengantarkan kita pada dua fungsi PK yang setara. Pertama, mengoreksi kesalahan dalam putusan final. Kedua, melindungi finalitas putusan pengadilan. Idealnya kedua fungsi PK ini berjalan beriringan. Namun di Indonesia, dengan maraknya penggunaan alasan PK yang lentur, fungsi PK atas nama koreksi kesalahan lebih mengemuka daripada fungsinya melindungi finalitas putusan (terutama putusan final yang sudah diyakini benar).
Terdapat dua kutub doktrin yang saling berhadapan soal keberadaan PK.
Pengadilan sesungguhnya dapat menjalankan kedua fungsi PK secara seimbang, dengan tak meninjau kembali perkara pidana yang telah diputus dengan putusan berkekuatan hukum tetap, kecuali jika: (1) ditemukan fakta baru yang mengubah konteks peristiwa pidana dalam perkara; (2) fakta itu mengantarkan pada penerapan ketentuan pidana yang berbeda; dan (3) finalitas putusan pengadilan yang ditinjau kembali tetap jadi perhatian dan dihormati.
Ketiga kriteria itu semestinya ada secara kumulatif dalam suatu permohonan PK. Tanpa ketiganya, suatu alasan PK tidaklah faktual, melainkan hanya persoalan penerapan hukum (question of law). Jika faktual sekalipun, tanpa tiga kriteria itu, alasan PK tak signifikan untuk mengubah ketentuan pidana dalam putusan. Jika diteruskan, permohonan PK itu bisa mencederai finalitas putusan pengadilan dan menyinggung sensitivitas keadilan.
Andai peraturan perundangan mensyaratkan ketiga kriteria ini dan pengadilan konsisten menguji dan menerapkannya, niscaya praktik PK akan lebih bermanfaat untuk membangun kepastian hukum dan keadilan melalui sistem peradilan.
Binziad KadafiAnggota Komisi Yudisial RI, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera