Mendayung Diplomasi di Laut Natuna
Pelanggaran wilayah perairan Indonesia masih terjadi hingga kini. Aparat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap tiga kapal ikan berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara pada 30 Desember 2019.
Keberadaan hukum laut internasional tidak menjamin ketiadaan konflik perbatasan. Sifat perbatasan perairan yang imajiner dan klaim unilateral masih kerap berujung konflik antarnegara. Efektivitas menjaga kedaulatan negara perlu dilakukan dengan menghadirkan simbol-simbol nyata hingga ujung perbatasan.
Pelanggaran wilayah perairan Indonesia masih terjadi hingga kini. Aparat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap tiga kapal ikan berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara pada 30 Desember 2019.
Pada awal 2020, empat kapal penjaga pantai China dan satu kapal pengawas perikanan China mengawal 30 kapal ikan berbendera China yang melintas di Laut Natuna Utara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, dalam periode 2014-2017 sebanyak 439 kapal asing ditangkap di perairan RI.
Pada akhirnya muncul konflik.
Salah satu penyebab terjadinya pelanggaran hukum laut internasional adalah klaim penentuan batas yang berujung pada perbedaan persepsi wilayah. Sifat perbatasan yang imajiner menjadi kendala dalam penentuan batas yang kerap berujung pada perbedaan persepsi. Pada akhirnya muncul konflik.
Perserikatan Bangsa-Bangsa merumuskan hukum laut internasional, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982. Tujuan perumusan itu tak lain menetapkan standar baku yang dapat berlaku untuk menetapkan batas laut di tiap negara. Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985.
Secara umum, UNCLOS mengatur pembagian teritori laut beserta hak dan kewajiban negara yang memilikinya. Tidak hanya mengatur soal kedaulatan dan kepemilikan wilayah, hukum laut internasional juga mengatur tata cara negara dalam memanfaatkan sumber daya secara bertanggung jawab, serta menjamin kemudahan dan keamanan navigasi laut secara global.
Salah satu zona yang diatur dalam UNCLOS adalah zona ekonomi eksklusif atau ZEE. Berbeda dengan zona kedaulatan, ZEE tak dapat dimiliki secara penuh oleh sebuah negara. Di kawasan ini, negara hanya diperbolehkan untuk memanfaatkan sumber daya alam, seperti ikan dan bahan tambang.
Nelayan tradisional
Bagi negara-negara pesisir, masih ada celah pemanfaatan sumber daya alam di ZEE. Salah satunya, hak memancing tradisional. Hal ini diatur dalam Pasal 51 Ayat (1) UNCLOS 1982 tentang existing agreements, traditional fishing rightsand existing submarine cables.
Pasal itu menyatakan bahwa sebuah negara kepulauan harus menghormati perjanjian dengan negara lain, dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah yang dilakukan negara tetangga walaupun masih berada dalam wilayah ZEE.
Namun, yang perlu dicermati, yang dilindungi di sini adalah hak nelayan tradisional untuk memancing, bukan menetapkan wilayah ZEE tersebut sebagai kawasan tertentu yang membebaskan nelayan asing untuk memancing. Perbedaan kata antara ”hak” dan ”kawasan” ini kerap memicu polemik karena sering dianggap sama. Padahal, kawasan memancing tradisional itu tidak ada, dan tidak pernah diatur.
Dalam hal adanya potensi gesekan akibat historical traditional fishing rights negara lain, sebuah negara kepulauan diwajibkan membuat perjanjian bilateral. Ketentuan ini secara jelas di atur dalam Pasal 47 Ayat (1) UNCLOS 1982. Selain demi mekanisme damai penuntasan masalah, aturan ini dibuat agar aktivitas perikanan di zona memancing tradisional dapat dilaksanakan dengan bertanggung jawab, baik terkait penghormatan kedaulatan masing-masing negara maupun menjaga sehatnya ekosistem kelautan.
Indonesia pernah membuat perjanjian bilateral terkait hak memancing tradisional di ZEE. Perjanjian bilateral RI dengan Malaysia tentang historical traditional fishing rights akhirnya ditumpahkan dalam Undang-Undang No 1/1983.
Menurut peraturan ini, nelayan dari Malaysia diizinkan melaut dan menangkap ikan di kawasan ZEE Indonesia secara tradisional. Perjanjian seperti ini menguntungkan kedua pihak. Di satu sisi, Malaysia dapat mempertahankan hak nelayan tradisionalnya yang secara turun-temurun melaut.
Di sisi lain, RI dapat mempertahankan kedaulatan ZEE-nya dan mengurangi praktik IUU fishing. Namun, kasus penangkapan kapal ikan Malaysia di perairan Indonesia masih juga terjadi walaupun sudah ada perjanjian kedua negara. Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, umumnya kapal nelayan Malaysia yang ditangkap aparat keamanan RI merupakan kapal yang lebih besar dari 10 GT dan menggunakan alat tangkap trawl. Aparat keamanan RI juga sering menemukan bahwa anak buah kapal ikan tersebut bukan berasal dari Malaysia
Di luar perjanjian, Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat penangkapan puluhan kapal dari berbagai negara. Pada 2017, ada 68 kapal Vietnam, 5 kapal Filipina, dan 1 kapal Timor Leste yang ditangkap. Semuanya karena melanggar wilayah perairan Indonesia.
Klaim pemicu konflik
Beberapa negara ASEAN juga pernah terlibat konflik perbatasan dengan China dan Jepang di Laut China Selatan. Pada 2009, China mengklaim atas Laut China Selatan melalui Peta Sembilan Garis Putus yang secara sepihak dikeluarkan pada 2009. Sesuai dengan koridor yang disediakan pada Bagian XV UNCLOS 1982, Filipina pernah membawa kasus klaim sepihak China ke jalur arbitrase melalui Permanent Court of Arbitration pada 2016.
Permanent Court of Arbitration memutuskan bahwa klaim China atas Laut China Selatan yang didasarkan pada hak-hak kesejarahan (historic rights) tidak sah. Selain itu, klaim China yang berdasar pada sembilan garis putus juga tidak didampingi koordinat yang jelas sehingga garis putus-putus ini sangat elastis.
Menyikapi putusan ini, China tetap bergeming dan menganggap putusan Permanent Court of Arbitration tidak mengikat (Kompas, 15/7/2016). Artinya, jalur arbitrase yang berkekuatan hukum belum menjamin penyelesaian konflik perbatasan. Laut China Selatan yang berbatasan dengan perairan Natuna memang memiliki potensi sumber daya alam melimpah.
Badan Informasi Energi Amerika Serikat mengestimasi bahwa Laut China Selatan menyimpan sekitar 190 triliun kubik gas alam dan 11 miliar barel minyak bumi dalam cadangan terbukti dan terduga (proved and probable reserves). Data Council on Foreign Relation juga menyebutkan, Laut China Selatan termasuk salah satu perairan paling strategis di dunia. Pada 2016, sepertiga perdagangan dunia, atau setara dengan 3,37 triliun dollar AS, melewati perairan ini. Salah satu komoditas penting perdagangan yang melewati LCS ialah gas alam (LNG).
Berdayakan kegiatan ekonomi
Jalan lain yang sedang diupayakan mengatasi konflik perbatasan adalah penyusunan kode etik oleh ASEAN. Upaya tersebut tertuang pada code of conduct (CoC) atau kode etik yang tengah dibuat. Harapannya, lanjutan dari declaration of conduct (DoC) atau deklarasi bisa disepakati oleh China dan empat negara ASEAN yang bersengketa di Laut China Selatan.
Cara lain yang bisa dipertimbangkan sebagai solusi ialah pemanfaatan sumber daya alam atau bisa juga disebut intervensi ekonomi di wilayah perairan. Intervensi ini merupakan tindakan memaksimalkan kegiatan- kegiatan ekonomi sebagai bagian dari eksistensi wilayah. Dalam terma hubungan internasional, hal ini juga bisa dibilang sebagai okupansi efektif. Walau tidak secara spesifik diatur dalam UNCLOS, okupansi efektif telah beberapa kali digunakan sebagai pertimbangan di Mahkamah Internasional.
Dalam kasus Natuna, strategi ini bisa dilakukan Indonesia. Caranya, memberdayakan kegiatan ekonomi di perairan Natuna, mengembangkan kapasitas nelayan-nelayan di sana. Pemerintah perlu segera membuka kemudahan akses kapal, dermaga, pelelangan ikan, menambah daya listrik, menjamin ketersediaan bahan bakar nelayan, dan menempatkan armada militer untuk menjaga aktivitas ekonomi rakyat. Harapannya, keberadaan nelayan di perairan Natuna menjadi simbol nyata kedaulatan seluruh bangsa Indonesia. (Litbang Kompas)