2019 tetaplah tahun luar biasa (annus mirabilis). Tahun yang hampir saja menjerumuskan bangsa ke dalam pembelahan sosial yang amat dalam bisa dilalui.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Tiga hari ke depan kita meninggalkan tahun 2019. Tahun 2019 adalah tahun ”ambyar”, meminjam istilah Sindhunata dalam artikelnya di Kompas, 20 Oktober 2019. Sindhunata mengungkapkan pandangannya terhadap perkembangan politik kontemporer. Ketika politik cedera janji dan mengorbankan pendukung menjadi fakta politik.
Selain fenomena ambyar, 2019 tetaplah tahun luar biasa (annus mirabilis). Tahun yang hampir saja menjerumuskan bangsa ke dalam pembelahan sosial yang amat dalam bisa dilalui. Kontestasi politik Pemilu 17 April 2019 antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto begitu keras dan memperhadapkan anak bangsa.
Ujaran kebencian diumbar. Berita bohong disebar. Politik identitas digunakan. Semua didedikasikan untuk mendapatkan kekuasaan. Polisi juga menyebut ada upaya pembunuhan terhadap sejumlah pejabat negara. Beruntung eksperimen politik pemilu serentak berhasil dilalui. Lebih dari 554 petugas pemilu meninggal saat menjalankan tugas demokrasi. Para elite pun kemudian berteriak, pemilu serentak tak layak dilanjutkan.
Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik selain kepentingan!
Setelah kontestasi berlalu, rakyat terperangah. Presiden Jokowi yang memenangi kontestasi mengajak rival politiknya, Prabowo Subianto, bergabung dalam pemerintahan untuk menjadi Menteri Pertahanan. Dan, Prabowo pun ternyata mau bergabung. Bahkan, salah satu kader Gerindra, Edhy Prabowo, juga ditunjuk sebagai menteri. Suasana kebatinan masyarakat pun ambyar. Kesetiaan yang jadi ciri keutamaan politik lenyap. Lalu, buat apa ada pemilu presiden? Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik selain kepentingan!
Tahun 2019 juga menjadi akhir dekade. Sejarah bangsa memperlihatkan adanya tonggak-tonggak penting. Jika dilihat lebih dalam, ada siklus 20 tahunan di sana. Tahun 1908 ditandai dengan kemunculan Budi Utomo dan menjelma menjadi Hari Kebangkitan Nasional. Tahun 1928, para pemuda lintas wilayah dan etnis mendeklarasi Sumpah Pemuda. Tahun 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta. Tahun 1965 terjadi peristiwa 30 September. Korban jiwa berjatuhan. Inilah memori kepedihan bangsa. Orde Baru pun muncul sebagai sebuah kekuatan baru.
Tahun 1985, oleh sebagian ahli, dianggap sebagai puncak kekuasaan Orde Baru ketika Presiden Soeharto mendapat penghargaan internasional di Roma atas kerja swasembada beras, 14 November. Dirjen FAO Eduard Saoma mengundang khusus Presiden Soeharto ke sana. Pidato Soeharto dipuji. Meski kemudian, sejumlah ahli menyebut swasembada beras hanyalah fatamorgana. Pada tahun-tahun itu, gejala nepotisme mulai tampak. Keluarga Presiden mulai ikut berbisnis.
Gerakan Reformasi Mei 1998 menumbangkan kekuasaan Orde Baru. Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden menyusul terjadinya kerusuhan sosial di Jakarta dan kota lain. Sejumlah mahasiswa ditembak. Sebelumnya, sejumlah aktivis diculik. Dan, sampai sekarang tidak kembali. Di era Reformasi, kebebasan sipil terbuka, rakyat berdaulat memilih pemimpin. Demokrasi mekar. Tahun 1998 dan pelaksanaan Pemilu 1999 menjadi puncak demokrasi.
Namun, 20 tahun reformasi, demokrasi seperti bergerak mundur. Demokrasi menjadi terpimpin dan dipimpin oligarki. Ada gejala kemunduran demokrasi. Kebebasan sipil mulai dikekang. Negara mulai mengontrol kehidupan warga negara. Kehidupan privat diintervensi negara melalui rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditolak publik. Kebebasan berorganisasi dikontrol. Komisi Pemberantasan Korupsi yang selama ini independen dimasukkan dalam rumpun kekuasaan eksekutif dan diawasi. Gagasan amendemen konstitusi dimunculkan. MPR diusulkan kembali menyusun haluan negara. Muncul usulan pemilu presiden kembali melalui MPR. Ada pikiran masa jabatan presiden diusulkan menjadi tiga periode. Tahun 2019 juga ditandai kebangkitan oligarki.
Tahun 2019 yang bakal ditinggalkan juga ditandai upaya dekonstruksi atas berbagai kemapanan. Inilah tahun dekonstruksi. Ibu kota, pusat pemerintahan, akan dipindahkan ke Kalimantan Timur kendati resesi ekonomi ada di depan mata. Persiapan sudah dilakukan meskipun undang-undangnya belum ada. Namun, semua diam. Rimba hukum diatasi dengan undang-undang sapu jagat atau disebut omnibus law yang tak dikenal dalam khazanah hukum Indonesia. Eselon III dan IV birokrasi dipangkas. Staf Khusus Presiden yang selama ini ditandai dengan orang-orang dengan rekam jejak hebat di mata publik diganti kaum milenial. Dekonstruksi juga terjadi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sistem pembelajaran yang sudah mapan diganti dengan retorika merdeka belajar, ujian nasional digantikan asesmen kompetensi minimum dan survei kepribadian.
Dekonstruksi tampaknya menjadi tren 2019. Namun, pertanyaan kritis yang muncul kemudian, ketika dekonstruksi dikembangkan tanpa visi, cukupkah waktu untuk melakukan rekonstruksi? Masa jabatan presiden hanya lima tahun, lho. Jangan sampai 2019 ini menjadi awal mundurnya demokrasi.