Politisi Berlomba Beli Suara Rakyat, Reformasi Politik Harus Dilakukan
Maraknya korupsi akibat politik uang masih terjadi di Indonesia. Salah satunya disebabkan biaya politik tinggi yang membuat calon anggota legislatif berlomba ”membeli” suara rakyat.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maraknya korupsi akibat politik uang masih terjadi di Indonesia. Salah satunya disebabkan biaya politik tinggi yang membuat calon anggota legislatif berlomba ”membeli” suara rakyat. Untuk itu, reformasi partai politik harus dilakukan agar lahir kader-kader terbaik yang dapat merepresentasikan wilayahnya.
Data Anti-Corruption Clearing House, dalam periode 2004-2018, ada 247 anggota legislatif baik DPR maupun DPRD yang tersandung kasus korupsi. Jumlah ini menjadikan anggota legislatif sebagai profesi terkorup di Indonesia.
Dalam jajak pendapat Kompas yang dilakukan 25-27 September 2019, sebanyak 53,5 persen responden menyatakan tidak yakin anggota DPR periode 2019-2024 lebih mampu menyerap aspirasi masyarakat. Hanya 35,3 persen responden yang menyatakan yakin.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, menyampaikan, praktik politik uang dan politik transaksional terjadi cukup masif sebagai jembatan menuju praktik korupsi. Khususnya bagi anggota legislatif yang berasal dari partai politik (parpol).
”Hal ini menjadi pertanda bahwa proses inklusivitisasi institusi politik di Indonesia belum terjadi dalam arti yang sesungguhnya,” kata Didik dalam diskusi Korupsi dan Utang di Negara Berkembang (Relevansinya dengan Indonesia), di Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto; Chief, Branch on Debt and Development Finance, United Nations Conference on Trade and Development, Stephanie Blankenburg; dan Ekonom Center for National Capacity and Political Economy, LP3ES-PRISMA, Fachru Nofrian yang dimoderatori oleh Ekonom Indef, Ariyo Dharma Pahla Irhamna.
Situasi korupsi yang masih marak di Indonesia, kata Wijayanto, semakin diperparah dengan pelemahan terhadap KPK melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kini sudah menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019.
Beberapa poin yang memperlemah kerja pemberantasan korupsi ke depan, antara lain, karena kehadiran Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan menindak. Bukan sebagai pengawas, Dewan Pengawas berwenang untuk menyetujui tidaknya dilakukan penyidikan, penggeledahan, dan penyitaan.
Wijayanto menuturkan, pelembagaan parpol yang rendah, pengelolaan parpol secara oligarki dan transaksional, serta tata kelola keuangan parpol yang tidak transparan dan akuntabel menjadi penyebab terjadinya pembelian suara. Namun, dari sisi calon, politik uang menjadi tiket untuk masuk dalam arena elektoral.
”Politik uang ini menjadi penentu bagi kemenangan calon (anggota legislatif) dan juga menjadi strategi untuk melawan praktik politik uang yang juga dilakukan oleh kandidat lainnya,” ucap Wijayanto.
Dengan keadaan ini, perlu ada jalan memutar untuk memperbaiki keadaan Indonesia. Salah satunya, melalui reformasi sistem pemilihan umum dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Artinya, publik nantinya hanya akan memilih partai politik. Sementara untuk penentuan siapa yang akan menjadi anggota legislatif akan menjadi kewenangan dari parpol. Mekanisme ini setidaknya akan mengurangi biaya politik tinggi karena kandidat tidak perlu berkompetisi untuk membeli suara rakyat.
Reformasi sistem pemilihan umum juga harus sejalan dengan reformasi parpol. Sebab, parpol-lah yang akan menentukan siapa kader yang tepat untuk menjadi representasi bagi masyarakat dan juga sebagai pembuat undang-undang.
”Parpol harus mereformasi internalnya karena jika parpol memilih kader yang tidak tepat, secara logika masyarakat akan menghukum dengan tidak lagi memilih parpol tersebut. Ini menjadi kesempatan bagi parpol untuk berbenah diri,” kata Wijayanto.
Jika nanti partai politik sudah mereformasi internalnya, diharapkan kader-kader yang menempati posisi di pemerintah ataupun di parlemen adalah mereka yang akan melahirkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan publik. Dalam jangka panjang, korupsi pun dapat berkurang.
Ketiadaan kepercayaan
Stephanie Blankenburg menyampaikan, rendahnya kepercayaan publik kepada politisi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, juga China. Hal ini terjadi karena kita sedang dalam proses hiperglobalisasi yang melahirkan ”pecundang”.
Dengan begitu, dari mana pun partai politiknya, politisi akan tetap dianggap sebagai orang yang kotor di mata masyarakat. ”Namun, apa pun yang terjadi, pemerintahan harus berjalan untuk menjaga ekonomi tetap stabil,” ujar Stephanie.
Untuk itu, pemerintah harus menyadari persoalan ekonomi yang sedang dihadapi dalam negaranya serta persoalan ekonomi secara global. Bahwa korupsi akan turut menjadi persoalan ekonomi bagi suatu negara.
Fachru Nofrian juga berpendapat demikian. Menurut dia, persoalan korupsi akan membuat kesenjangan semakin meningkat. Jika dibiarkan, krisis ekonomi berpeluang terjadi kembali.
”Secara struktur, krisis akan terus terjadi. Terlebih ketika kita tidak mengubah perspektif dalam ekonomi politik yang saling berkaitan,” kata Fachru.