Ayu tetapi Berhantu
Seorang perempuan muda dengan tujuan akhir Stasiun Rawabuntu harus turun di Jurangmangu agar bisa berfoto dengan ”hantu” Ibu. Hantu perempuan tiba-tiba populer lagi.
Siapa yang bisa menebak perjalanan hidup? Seorang rocker seperti Ayu Laksmi dalam beberapa dekade bertriwikrama menjadi penyanyi di kapal pesiar, kemudian menghuni pub-pub di kawasan Kuta.
Setelah lama menghilang, tiba-tiba muncul dengan album world music bersama Svara Semesta. Ia memberi impresi sangat spiritualistik dengan lagu-lagu yang memuja kebesaran semesta.
Dengarkanlah lagi lagu seperti ”Om Mani Padme Hum”, yang dia cuplik dari mantra Buddhisme. Begitu juga dengan lagu ”Hyang”, yang kebetulan dia gubah dari puisi saya, yang memuliakan kebesaran Tuhan dalam tradisi Hinduisme.
Rupanya belokan tajam dalam kariernya terjadi ketika didapuk sutradara Joko Anwar memerankan tokoh Ibu dalam film Pengabdi Setan (2017). Ayu menjelma menjadi hantu perempuan yang ditakuti, bahkan oleh anak-anaknya sendiri dalam kisah itu.
Hantu yang di-remake dari film berjudul sama tahun 1982 itu begitu menghebohkan sehingga ditonton tak kurang dari 4,2 juta orang. Publik urban berduyun-duyun mendatangi gedung bioskop untuk bertemu dengan hantu.
Seiring dengan itu, nama Ayu Laksmi mulai identik dengan Ibu, sesosok hantu perempuan yang sesungguhnya meneruskan ”tradisi” perhantuan dalam film-film horor di kawasan Asia.
Suatu malam secara kebetulan di Jakarta, kami berkereta bersama dari Stasiun Palmerah menuju Stasiun Jurangmangu, tak lebih dari 25 menit. Sepanjang perjalanan beberapa perempuan bergunjing ada hantu dalam kereta.
Ada yang mulai mengobrol dengan Ayu dan minta berfoto bareng. Hebatnya, Ayu selalu membawa selendang berwarna putih untuk menutupi kepala dan wajahnya sehingga ketika difoto sosok hantu itu benar-benar ada di hadapan kita.
Seorang perempuan muda dengan tujuan akhir Stasiun Rawabuntu bahkan harus turun di Jurangmangu agar bisa berfoto dengan ”hantu” Ibu. Sesudahnya, ia menunggu kereta berikut untuk meneruskan perjalanan.
Hantu perempuan tiba-tiba populer lagi. Tentu saja Pengabdi Setan bukan film pertama yang memopulerkan hantu perempuan. Pada awal tahun 1970-an, ada nama penting dalam ”tradisi” perhantuan film kita, siapa yang tidak kenal dengan Suzzanna.
Legenda hantu perempuan ini muncul pertama dalam film Beranak Dalam Kubur karya dua sutradara, Awaludin dan Ali Shabab. Sebenarnya nama Suzzanna melejit ketika masa kepopuleran film horor Indonesia sedang meredup sejak pertama kali muncul tahun 1934 lewat film Doea Siloeman Oeler Poeti en Item karya sutradara Then Teng Chun.
Pada periode 1972-1980 terdapat 22 produksi film bergenre horor di Indonesia. Periode 1981-1991, dari 84 judul film horor, 16 film dibintangi oleh Suzzanna. Bintang cantik ini selalu menjadi sosok hantu atau sosok mitologis yang diimajinasikan menyeramkan dan memiliki kekuatan gaib.
Sebut misalnya film-film seperti Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), Malam Jumat Kliwon (1986), dan Ratu Buaya Putih (1988).
Selain Pengabdi Setan, film hantu perempuan ayu lainnya yang merupakan remake dari film sebelumnya pun menuai sukses. Sosok model cantik seperti Luna Maya dipasang dalam film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018).
Film besutan sutradara Rocky Soraya dan Anggy Umbara ini tak kurang meraih penonton sampai 3,3 juta. Hendaknya jangan lupa pula, hantu perempuan cantik juga pernah mendatangi rumah kita lewat sinetron Si Manis Jembatan Ancol.
Sosok artis seperti Diah Permatasari, yang memerankan Maryam, sampai-sampai begitu identik dengan hantu seksi. Sinetron ini sebenarnya pernah dibuat dalam bentuk film oleh Turino Djunaedi tahun 1973. Konon pula, kini sedang di-remake oleh Anggy Umbara dalam bentuk film lagi.
Fakta pertama-tama yang kita dapatkan, hantu-hantu dalam film horor kita selalu menampilkan sosok perempuan ayu, yang oleh karena sebuah kejadian meninggal secara tidak wajar. Biasanya karena kekerasan oleh kaum lelaki.
Lalu rohnya bergentayangan dengan misi melakukan balas dendam kepada siapa pun yang telah mencelakai hidupnya. Fakta lainnya, para hantu perempuan itu kemudian hampir selalu direproduksi dalam berbagai bentuk: bisa film, bisa sinetron, bahkan merchandise.
Reproduksi itu, entah dengan misi dagang atau lainnya, hampir selalu mampu menghidupkan sosok hantu perempuan, baik dalam diskursus perfilman nasional maupun gosip-gosip yang berkembang di tengah-tengah kita.
Sebuah studi oleh antropolog Aihwa Ong (1987) melihat perempuan dan hantu dalam perspektif ekonomi moral. Sebagaimana dilansir dalam situs cinemapoetica.com, studi terhadap buruh perempuan di Selangor dan Kedah, Malaysia, menunjukkan bahwa buruh perempuan mempunyai moralitas yang longgar karena jauh dari kontrol laki-laki.
Mereka bisa menghabiskan uangnya dengan membeli pakaian dan kosmetik serta menjalin hubungan melintasi batas-batas ras dan etnis. Studi ini ingin memperlihatkan, pengekangan terhadap perempuan sebagai moral anxiety, kecemasan moral dalam struktur patriarki. Pihak lelaki selalu ingin dan berusaha bahwa perempuan terlihat baik-baik sesuai harapan para lelaki.
Menariknya, Ong menemukan para perempuan buruh di daerah ini lebih mudah kerasukan setan dibandingkan buruh laki-laki. ”Histeria buruh perempuan di kawasan pabrik karena dikekangnya kebebasan mereka,” katanya.
Umumnya, mereka yang kerasukan setan adalah mereka yang mengalami masa transisi dari perdesaan ke wilayah urban. Sangat jamak terjadi histeria para buruh perempuan hampir selalu meneriakkan nama-nama lelaki, yang biasanya menjadi atasannya.
Studi menarik dari Mary Beth Mills (1995) di Thailand menunjukkan, hantu perempuan lahir dari masa transisi kapitalisme, yakni dari masyarakat pertanian ke industri.
Mills melihat serangan ”hantu janda” di daerah Isan, Thailand timur laut, menggiring ambiguitas laki-laki dalam melihat peran baru perempuan sebagai pekerja.
Isan termasuk daerah miskin di perbatasan Thailand dan Laos. Daerah ini paling banyak menghasilkan buruh migran perempuan ke Bangkok. Disebut pula, mayoritas pekerja seks di Bangkok berasal dari Isan.
Pada era 1990-an di Isan merebak isu serangan ”hantu janda” (phi mae maai), yang mengejar para lelaki. Konon, phi mae maai yang haus seks bisa membawa kematian dan sakit bagi lelaki yang diserangnya.
Hal yang absurd kemudian terjadi, hampir seluruh lelaki dewasa di Isan menggunakan jimat berbentuk phallus. Bahkan, di depan rumah-rumah warga dipasang patung phallus dari kayu agar tidak diganggu oleh phi mae maai.
Serangan phi mae maai itu, menurut Mills, merupakan puncak frustrasi para lelaki di dalam memecahkan persoalan hidupnya. Mereka yang ditinggal para perempuan ke Bangkok tetap hidup sebagai petani, tetapi harus menanggung ongkos hidup modern yang kian mahal.
Baca juga : Musang Berbulu Ayam
Sesungguhnya, kecemasan para lelaki ini berhubungan erat dengan era transisi dari agraris menuju industri yang kapitalistik. Kegagalan hidup di desa membuat mereka membenci kapitalisme, yang dituding membuat mereka semakin melarat.
Studi di Malaysia dan Thailand itu rasanya cukup mewakili untuk melihat realitas perhantuan dalam film-film kita. Mengapa sosok Ayu Laksmi, Diah Permatasari, dan Luna Maya, misalnya, bisa dengan mudah menjadi lebih populer dalam waktu singkat, terjelaskan dengan tingkat kecemasan kaum lelaki yang menganut tradisi patriarkis secara ”brutal”.
Kecemasan itu terekspresikan dengan selalu mengonstruksi hantu sebagai perempuan cantik, tetapi ditakuti. Cantik mewakili imaji lelaki tentang perempuan, sedangkan hantu adalah ekspresi kecemasan yang menghinggapinya, di tengah perubahan dari era pra-kapital menuju kapitalisme industri.
Mereka mencemaskan dirinya yang selalu berada dalam keterancaman setelah semakin banyak perempuan meninggalkan wilayah domestik dan bekerja di wilayah urban.
Baca juga : Cak Lontong Melipat Logika
Jika Ayu Laksmi tiba-tiba menjelma hantu, itu lebih karena perubahan struktur masyarakat yang mendorongnya memasuki wilayah lain, yang tak terbayangkan.
Bukan karena keinginan feministik yang naluriah. Masyarakat Bali yang secara ketat dan keras menganut patriarki telah menyurungkan Ayu menelusur jalan baru bagi hidup dan kariernya. Ia bahkan kini telah memutuskan hidup di Jakarta. Jadi hati-hati, meski ayu, dia kini telah berhantu….