Harapan yang tinggi kepada MK dalam uji materi UU KPK diharapkan bisa direspons dengan putusan yang berkeadilan dan memiliki perspektif pemihakan pada pemberantasan korupsi.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
Wacana pengeluaran peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk merespons UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru tidak kunjung terlaksana. Publik dan pegiat antikorupsi, yang merasa UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK itu cenderung memperlemah KPK, mencoba jalan lain dengan menguji konstitusionalitas UU tersebut di Mahkamah Konstitusi.
Tiga unsur pimpinan KPK langsung yang mengajukan permohonan uji materi (judicial review) ke MK, Rabu (20/11/2019), di Jakarta. Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakil ketua KPK, yakni Laode M Syarif dan Saut Situmorang, mendatangi MK untuk menyerahkan berkas permohonan. Sebanyak 13 pemohon tercatat di dalam berkas permohonan itu. Selain tiga pimpinan KPK, terdapat pula dua mantan pimpinan KPK, yakni M Jasin dan Erry Riyana Hardjapamekas; Betti Alisjahbana; Ismid Hadad; Abdillah Toha; dan Omi Komaria Madjid, yang adalah istri almarhum cendekiawan Muslim, Nurcholis Madjid.
Permohonan ke MK, menurut Agus, adalah ikhtiar mereka sebagai pribadi dan warga negara, bukan atas nama institusi. Terlepas dari itu, keinginan agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan perppu tetap menjadi harapan utama mereka. ”Kalau misalnya presiden mengeluarkan perppu saat perkara masih berlangsung juga tidak apa-apa. Baik-baik saja,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan ingin menghormati proses yang sedang berlangsung di MK sehingga mekanisme ketatanegaraan itu perlu dihargai. Hal ini memberikan sinyal kepada publik bahwa perppu tidak akan dikeluarkan dalam waktu dekat selama ada pengujian UU KPK di MK.
Dengan belum jelasnya perppu, kini pertaruhan ”nasib” KPK berada di tangan MK. Sejumlah ketentuan di dalam UU KPK yang baru dinilai oleh tokoh antikorupsi, pemerhati hukum, dan kalangan masyarakat sipil berpotensi melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Keberadaan dewan pengawas yang orang-orangnya dipilih oleh presiden itu disinyalir menjadi pintu awal bagi masuknya kekuatan atau intervensi eksekutif kepada KPK. Sesuatu risiko yang kecil terjadi di dalam UU KPK yang lama. Publik, misalnya, masih ingat bagaimana keluarga presiden pun bisa dijadikan tersangka oleh KPK, tahun 2008.
Beberapa kewenangan pimpinan KPK dikurangi dan anasir pemerintah terlihat dominan di UU KPK yang baru. ”Komisioner KPK dengan aturan yang baru hanya dianggap melakukan tugas-tugas administratif karena ia bukan lagi penyidik dan penuntut,” kata Abdul Fickar Hadjar, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Rabu di Jakarta.
Kuatnya posisi dewan pengawas, termasuk dalam pemberian izin penggeledahan, penyadapan, penyitaan, dan pencekalan, telah memasuki wilayah operasional KPK. Bukan lagi wilayah pengawasan kinerja, melainkan ikut secara aktif menentukan kinerja KPK. Siapa pun yang ditunjuk sebagai dewan pengawas, dalam kaca mata politik, akan dianggap sebagai kepanjangan tangan presiden atau pemerintahan. Lebih jauh dari itu, pemerintah sejatinya juga representasi dari partai politik pendukung. Jika melihat pada rentetan itu, pada akhirnya infiltrasi kepentingan di dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, lebih terbuka lebar manakala representasi eksekutif berperan dominan di dalam kerja-kerja operasional penegak hukum.
”Ketika mereka (dewas) memiliki posisi yang kuat untuk menentukan banyak hal di KPK, hal terburuk yang mungkin terjadi, sekalipun pemberantasan korupsi tetap ada, yakni akan lebih ditujukan untuk menyasar lawan-lawan politik,” kata Fickar.
Bangunan argumentasi
Unsur pimpinan KPK dalam permohonan pengujian formil ke MK tidak banyak berbicara mengenai substansi UU KPK yang baru, tetapi menitikberatkan pada proses pembentukan UU yang dinilai cacat prosedur. Enam bangunan argumentasi dikemukakan untuk mendukung dalil cacat prosedur yang diutarakan pemohon.
Enam bangunan argumentasi itu menerangkan pembahasan UU KPK yang tidak melalui proses perencanaan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, tidak dilakukan secara partisipatif, tidak terpenuhinya syarat kuorum dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna DPR, tidak bisa diaksesnya naskah akademik dan rancangan UU oleh publik, dan penyusunan norma-normanya tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai.
Kecacatan prosedural itu dipandang pemohon sebagai salah satu bagian dari upaya pelemahan KPK yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Upaya pelemahan itu, antara lain, dilakukan dengan mendegradasi kewenangan KPK secara perlahan-lahan dengan perubahan UU yang dilakukan secara tergesa-gesa dan menabrak berbagai rambu-rambu prosedural.
Uji formil, dan bukannya uji materiil, dipilih karena pertimbangan taktis upaya hukum di MK. Pengujian formil akan membawa dampak pembatalan keseluruhan isi UU bilamana permohonan itu dikabulkan oleh MK. Suatu regulasi yang sejak awal pembentukannya inkonstitusional, maka isi atau materinya pun dengan demikian inkonstitusional.
Dalam sejarahnya, MK belum pernah sekali pun mengabulkan permohonan uji formil. ”Uji materiil ada kemungkinan akan kami ajukan pula jika uji formil ini tidak dikabulkan oleh MK,” kata Feri Amsari, salah satu tim advokasi KPK yang mendampingi pemohon.
Spirit dan kiprah MK
Sedikitnya ada empat putusan MK sejak 2015 yang belum sepenuhnya sejalan dengan harapan publik untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi.
Pertama, putusan No 42/PUU-XII/2015 yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 7 Huruf g UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Akibat putusan ini, mantan narapidana korupsi dapat mengikuti pilkada. Kedua, putusan No 25/PUU-XIV/2016 saat MK menghapus kata ”dapat” dalam rumusan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Dengan putusan ini, delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah menjadi delik materiil yang mensyaratkan ada akibat, yakni unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata atau pasti.
Ketiga, putusan No 21/PUU-XIV/2016, MK menghapus pidana permufakatan jahat dalam perkara korupsi di Pasal 15 UU Tipikor akibat MK mengabulkan gugatan terkait penafsiran ”pemufakatan jahat” yang diajukan Setya Novanto itu, implikasinya ialah dihentikannya proses hukum penyelidikan perkara dugaan korupsi ”papa minta saham” yang ditangani Kejaksaan Agung. Keempat, putusan MK No 36/PUU-XV/2017 yang menyatakan lembaga negara independen seperti KPK bisa menjadi obyek angket oleh DPR. Putusan MK ini tak selaras dengan empat putusan terdahulu yaitu putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011, yakni ketika MK memutuskan KPK merupakan lembaga independen yang bukan berada di dalam ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Rekam jejak MK dalam empat tahun terakhir ini, antara lain, dipengaruhi oleh pertimbangan MK yang kerap kali mengikuti logika hukum DPR dan presiden atau jarang berbeda pendapat dengan dua lembaga tersebut. Di sisi lain, harapan untuk membatalkan keseluruhan UU KPK hasil revisi melalui uji formil juga tidak mudah, mengingat beban pembuktian diletakkan secara berlebihan kepada pemohon.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, MK saat ini perlu melihat kembali bagaimana spirit dan kiprah MK-MK periode awal (periode I dan II) yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan tinggi dari publik sebagai peradilan modern dan tepercaya karena putusan-putusannya mampu menjadi solusi atas berbagai persoalan kebangsaan dengan mengedepankan kemandirian kekuasaan kehakiman.
”Hanya dengan spirit itulah maka MK bisa kembali menjadi tumpuan harapan publik dalam penyelesaian persoalan-persoalan kebangsaan, termasuk korupsi,” kata Bayu.
MK menegaskan tetap memiliki intensi kuat dalam upaya mendukung pemberantasan korupsi. Bahkan, banyak dari putusan MK yang secara jelas dan dipandang sebagian masyarakat yang lain telah mendukung pemberantasan korupsi.
”Soal seolah-olah berpihak atau tidak berpihak pada pemberantasan korupsi, itu soal penilaian subyektif sebagian masyarakat. Itu terserah saja. Banyak, bahkan lebih dari empat putusan, yang dipandang sebagian masyarakat lain telah turut mendukung pemberantasan korupsi. Yang pasti, sebagai lembaga negara, MK memiliki intensi kuat dalam upaya mendukung pemberantasan korupsi,” kata Kepala Bagian Humas dan Hubungan Dalam Negeri MK Fajar Laksono.
Apa pun putusan MK pada akhirnya, sejauh mana pembuktian dalil pemohon dan pertimbangan hakim dalam menilai fakta-fakta di persidangan, akan disaksikan oleh publik secara terbuka. Publik akan belajar dan mencermati sekaligus menjadi hakim yang sejati. Bagaimanapun kebenaran dan keadilan akan menemukan jalannya sendiri....