Penunggu Tungku
Kompas/Supriyanto Cartoons
Orong baru keluar dari rumah dan pandangannya secara tidak sengaja langsung menengok ke arah kanan, tempat tungku dari tiga batu lonjong berada. Seekor anjing tengah meringkuk di bibir tungku, bulu-bulunya penuh abu. Abu juga beterbangan setiap kali si anjing bernapas. Rasa tidak enak tiba-tiba menyergap pemilik rumah. Biasanya, dekat tungku itu, duduk anak perempuannya.
Orong berdiri saja di pintu selama beberapa saat. Hanya memakai celana pendek kumal. Badannya penuh panu seperti ditempeli daun-daun berwarna putih. Goresan-goresan merah memenuhi bahu, leher, dan dadanya. Nyamuk dan agas menyasarnya sepanjang malam. Setiap kali ia terbangun oleh makhluk-makhluk keparat itu, ia melemparkan umpatan demi umpatan kepada siapa pun yang telah menciptakan makhluk yang menurutnya tidak berguna sama sekali.
Melihat tuannya diam di dekatnya, anjing di tungku mengiuk-ngiuk. Belum ada apa pun yang masuk ke dalam perutnya pagi ini. Beberapa ekor lalat terbang di sekitar kepalanya. Ada yang berhasil hinggap di sekitar telinganya dan ia mengusir lalat-lalat nakal itu dengan menggerak-gerakkan kepala. Membangkitkan lebih banyak abu, dan terbang lewat lubang-lubang gelansah penabir tungku.
Ia mengiuk-ngiuk dan bangkit ketika tuannya berjalan ke arah berugak. Abu berguguran dari bulu-bulunya.
Orong duduk di berugak, kedua kakinya menggantung, berayun-ayun. Matanya yang masih terdapat kotoran di kedua sudutnya memandang lekat ke arah jebak. Tidak ada apa-apa di situ. Hanya pohon jarak yang tumbuh tidak lurus. Berjalinan dengan pohon jarak lain. Agak jauh, seekor induk ayam mencocok-cocok tanah dan anak-anaknya yang masih tidak bisa dibedakan jenis kelaminnya mendekat. Anak-anak ayam itu berebut makanan yang ditunjukkan ibu mereka. Orong terus memandang hampir tak berkedip sampai sang induk membawa anaknya pergi mencari makan.
Si anjing menjilat-jilat panci penuh jelaga yang diletakkan begitu saja di samping berugak. Beberapa butir nasi menempel di hidungnya. Lidahnya yang berwarna merah muda mengilap terjulur-julur berusaha menggapai nasi yang melekat itu. Berhasil. Dan ia menengok kanan kiri. Mencari makanan lain. Berjalan ke tawingan. Mengendus-endus. Mendorong-dorong bekas bungkus jajan lama dengan moncongnya. Berusaha membalik batok kelapa yang tertelungkup. Dan menghilang ke kebun.
Orong tinggal seorang diri. Berugak berkeriut setiap kali ia bergerak. Kedua tangannya menekan baton berugak. Di sampingnya tergeletak cobek yang masih dipenuhi tumbukan asam muda. Anak cobek berada di atas piring yang telah pesuk. Dua buah gelas dan kocor ada juga di situ, menguarkan aroma tuak. Lalat-lalat hinggap, berjalan-jalan pelan, menggosok-gosokkan kaki depan mereka. Segulung tikar besar, dengan bantal di dalamnya, mirip bangkai, tergeletak di ujung lain. Orong melayangkan pandangan ke arah gulungan itu, tetapi kemudian kembali melihat jebak. Tidak ada siapa-siapa yang datang.
Jarang sekali ada orang yang datang ke Lelenggo. Apalagi ke rumah Orong. Hanya satu dua orang. Sekali-dua kali dalam seminggu datang pedagang reraon, dan lebih jarang lagi, mungkin sekali sebulan, seorang tukang jam. Orang-orang yang datang ke rumah Orong dan tidak mendapatkan apa-apa. Mereka seperti diutus datang untuk melihat keadaan rumahnya. Berugak bambu yang telah reot dan tampak akan segera ambruk. Satu rumah lagi berdinding gelansah, berisi semua harta kekayaan mereka dan adalah tempat mereka tidur.
Siapapun yang datang dapat melihat isi seluruh rumah. Karena pintu terbuka dan dinding rumah menyisakan celah untuk dapat melihat semua yang ada di bagian dalam. Pakaian-pakaian tak tercuci tergantung dan bertumpukan di seutas tali yang dibentangkan dari satu tiang ke tiang lain. Dipan bambu beralaskan tikar pandan dan dua bantal telah robek-robek sarungnya. Di bawah dipan, satu bakul berukuran sedang berisi sedikit piring cawan dan bak anti pecah warna hitam tempat mereka menyimpan beras. Yang terakhir ini seringkali kosong.
Yang paling menarik perhatian siapapun yang datang ke rumah Orong adalah anak perempuan yang selalu duduk di dekat tungku. Rambutnya acak dan keras seperti ijuk, tidak pernah tersisir. Kedua matanya memandang dengan mengibakan kepada siapapun yang datang. Luka-luka bernanah di lutut, betis, dan kedua lengannya. Mengundang datang lalat-lalat lapar yang kemudian tidak pernah pergi meninggalkannya. Terus terbang di sekitarnya, berdengung-dengung.
Jika ia sekolah mungkin ia telah kelas dua atau kelas tiga. Sayang, ia lahir di Lelenggo. Tidak ada sekolah di Lelenggo. Dan anak-anak yang ada di kampung ini tidak kuat menempuh perjalanan jauh, melewati beberapa sungai untuk pergi sekolah di desa. Orang tua mereka juga buta huruf. Bahkan tidak pernah menyentuh kertas seumur hidup mereka. Hanya parang dan gelas tuak.
Ia duduk di tungku, bukan hanya untuk menghangatkan diri. Tetapi membakar pisang atau singkong yang dibawa pulang oleh ibunya dari ngelamang. Pisang atau singkong yang kemudian membuat tangannya penuh jelaga. Tangan yang diusapkan di betis dan di wajahnya ketika ia harus mengusir lalat atau menghilangkan rasa gatal bekas gigitan agas di leher atau pipi.
Pemandangan ini membuat prihatin setiap orang yang datang.
Orong kembali memandang ke tungku, dan dadanya sesak ketika melihat di situ tidak ada siapa-siapa. Hanya ada tiga batu lonjong. Untuk pertama kalinya Orong memikirkan anaknya dan menginginkan anaknya kembali berada di dekat tungku itu. Ia membayangkan mulut anaknya mengunyah pelan singkong atau pisang dan ingat bagaimana anaknya menelan sebelum makanan itu benar-benar halus. Ia ingat binar kedua mata anaknya dan tanpa ia bisa kendalikan, bayangan-bayangan lain muncul. Beberapa kali anaknya hampir mati oleh tendangan kakinya hanya lantaran anaknya tidak mau pergi membelikannya tuak. Ia ingat anaknya mengekor di belakangnya ketika mereka pergi ke sungai Keditan dan anaknya membawa seikat pakis hasil petikannya sendiri.
Ingatan itu tidak akan putus dan kerinduan yang ia rasakan akan tak terbendung jika tidak istrinya segera muncul dari jebak. Ember berisi penuh air di atas kepalanya. Satu tangannya menenteng setundun kecil pisang emas, masih mentah. Ia tidak memakai baju. Kutang berwarna coklat yang salah satu talinya melilit. Kain bunga-bunga yang telah pudar motifnya menutupi pinggang sampai lutut.
Orong mengawasi istrinya yang berjalan pelan ke rumah, menjaga air di ember tidak tumpah. Setundun pisang dilepas begitu saja di halaman, dan membawa seember air ke atas berugak.
“Bantu!” katanya, setengah geram.
“Masak itu ndak bisa sendiri?”
Istrinya membalas dengan lenguhan dan menurunkan ember penuh itu dengan kedua tangannya. Kurang berhati-hati air sedikit tumpah, mengenai cobek, gelas, dan membasahi lasah. “Apalagi ambil air, bantu turunin ini aja ndak bisa.” Istrinya menggerutu sambil masuk ke dalam rumah, mengipasi diri dengan sepotong kain yang dipakai sebagai lenggian.
“Siapa yang bantu kamu angkat tadi?” Orong setengah berteriak.
“Sendiri!” sahut istrinya dari dalam rumah.
“Angkat bisa sendiri turunin masak ndak bisa.”
Ada suara barang-barang dijatuhkan atau dipindahkan dengan kasar dari dalam rumah. Orong terus melihat dari dinding yang tidak tertutupi. Istrinya tengah mencari-cari kain untuk mengganti kainnya yang basah di pakaian yang menumpuk di gantungan. Nyamuk berhamburan terbang. Bahkan ia dapat mencium bau apak yang keluar dari setumpuk pakaian yang menggantung itu.
Ia memandang istrinya terus sambil menggaruk-garuk punggung kakinya.
“Ada nasi?” tanyanya. Tangannya berhenti menggaruk. Kali ini memegang tiang di samping kirinya.
Istrinya tengah mengganti kain. Ia memasang kain ganti, menggigiti tepiannya, dan dengan kedua tangan ia membuka kainnya yang basah. Badannya sedikit membungkuk. Karenanya ia tidak bisa menjawab.
“Ada nasi ndak?” Orong bertanya lebih keras.
Istrinya keluar, menenteng kain basah seperti membawa seikat kangkung, dan menjemurnya di seutas tali rapia yang dibentangkan dari satu tiang ke pohon jarak di pagar. Suaminya menggerutu lalu tiba-tiba berteriak, membentak seekor lalat yang terus berupaya masuk ke lubang telinga kirinya. “Anjing!” teriaknya.
Istrinya masih memakai kutang yang tadi. Coklat, berbintik-bintik hitam karena noda. Masih melilit-lilit juga salah satu tali yang tersampir di bahunya. Keringat masih melekat di tubuhnya dan rambutnya yang basah tersanggul ke belakang.
Ia duduk di pintu, menghembuskan napas berat. Terdengar seperti berusaha membuang semua rasa lelah yang menggantung di tubuhnya.
“Coba ada Ice, ada yang bantu angkut air.”
Orong melihat istrinya dengan tajam, seperti hendak menelan istrinya. Istrinya terus menggerutu sendiri, menyebut-nyebut apa saja yang seharusnya bisa membuat nasibnya tidak seperti sekarang. Tidak tahan, Orong berteriak. “Kamu ndak dengar kata saya?”
“Apa?” Istrinya balik membentak.
“Ada nasi saya bilang. Tuli!”
“Kamu ndak bisa lihat sendiri!” Ia membuang muka. “Bangke!”
“Apa kamu bilang?!”
“Ndak ada!”
“Kamu bilang gitu lagi sekali mati kamu!” ancam Orong. Ia memandang jebak.
Mukanya merah. Dadanya bergemuruh.
Istrinya membuang muka ke kanan, dan pandangannya jatuh ke tungku. Api pagi ini belum menyala. Potongan-potongan kayu bakar telah dingin. Tanpa bisa dikendalikan, begitu saja muncul bayangan anaknya tengah duduk dekat tungku dan terlihat jelas tangan anaknya mengupas pisang bakar. Pelan sekali ia memasukkan pisang yang telah dikupas dan masih hangat ke dalam mulut. Dalam bayangannya, anaknya menengok ke arahnya, dan memandangnya dengan tatapan sedih. “Kayee,” ratapnya kepada diri sendiri. Pelan.
Tidak disadari, kedua matanya berair. Tangan kanan menopang dagu. Ia bertahan, terus memandang tungku. Ada rasa takut dalam dirinya untuk menengok, memandang suaminya. Sesuatu yang entah apa.
Di berugak, Orong juga masih membuang muka, memandang jebak. Sebagaimana istrinya, ia juga terdorong untuk berbalik, memandang istrinya, dan mengumpatnya habis-habisan. Memberi istrinya pelajaran cara menghormati suami. Ia ingin istrinya sepenuhnya berada di bawah kendalinya, tunduk pada semua perintah dan bertindak benar-benar seperti yang ia inginkan. Tidak membangkang dan tidak balik membentak ketika ia marah. Ia benar-benar terdorong untuk turun dan menyiksa istrinya, tetapi di jebak sepotong bayangan lain mengganggunya hampir mendadak. Seolah terjadi di depan matanya, seorang laki-laki berpakaian rapi masuk jebak rumahnya.
Laki-laki bertubuh kecil itu mendekat ke berugak, melihat sekeliling, memperkenalkan diri sebagai tetangga tukang jam yang sering datang ke Lelenggo, berbasa-basi tentang hasil panen kopi yang melimpah tahun ini. Melihat cobek yang tergeletak di berugak, ia bertanya siapa yang datang ke Lelenggo menjual cobek. Orong menjawab dengan malas, perempuan tua bungkuk bernama Naq Coboq. Basabasi terus mengalir seperti air, sampai kemudian laki-laki itu menyinggung hidupnya yang tidak diberikan anak oleh Tuhan. Orong manggut-manggut, berdecak-decak.
Istrinya keluar dari dalam rumah, berniat hendak menyeduhkan kopi tapi tidak ada gula. Ia mendekat, duduk di samping suaminya, mendengar dengan antusias. Tamu mereka mengatakan akan memberikan segala macam kebutuhan bagi keluarga yang merelakan anak mereka untuknya. Radio, Tape Recorder, jam tangan, dan uang. Pendek kata, ia akan memberikan kemewahan ke siapapun yang memberikan anak mereka ke dirinya.
Selama sang tamu berbicara, istri Orong terus memandang ke tungku. Di sana Ice diam saja, menunduk, mencuri-curi pandang untuk melihat laki-laki yang mendatangi rumahnya. Jari-jari tangannya yang berkuku dan penuh kotoran menggaruk-garuk lengan dan betis. Seperti tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan.
“Banyak yang datang minta Luh tapi kami ndak kasih, ndak ada teman di sini.”
Istri Orong berbicara ketika laki-laki itu berhenti berbicara. Dan hanya menggaruk-garuk betisnya yang tergigit agas. Sebelumnya, sang tamu belum mengutarakan keinginannya untuk meminta anak Orong, tetapi istri Orong lebih dahulu memulai.
“Saya dapat kabar dari dagang jam, katanya epe mau kasih orang anak epe,” sang tamu berkata malu-malu, lalu melayangkan pandangan ke anak Orong yang duduk diam di tungku.
“Ya, ada niat mau kasih orang. Tapi kami ndak ada teman di sini,” kembali istri Orong menjelaskan.
Sang tamu manggut-manggut. Beberapa saat kemudian kembali ia mengutarakan hidupnya yang sepi dan keinginannya memiliki seorang anak. Mengulang janji-janjinya.
Wajah Orong menjadi sumringah. Selama pembicaraan itu, ia tidak pernah menengok ke arah anaknya duduk. Hanya istrinya yang melihat sebentar-sebentar. Dalam kepala Orong terulang kembali pertengkaran-pertengkaran sebelumnya, yang berawal dari kurangnya makanan yang mereka miliki. Istrinya sering menyesali lahirnya anak di antara mereka. Hanya membuat susah. Pada saat tukang jam tangan di rumah mereka, Orong terang-terangan berkata, “Kalau ada orang butuh anak, suruh datang!”
Orong ingat semua itu, dan tebersit niat di dalam dirinya untuk melepaskan anaknya. Suaranya pelan-pelan naik dan sebentar lagi akan berlepasan dari ujung lidahnya. Jari-jarinya mengetuk lasah. Kuku-kukunya berwarna hitam. Sementara, tamu mereka terus-menerus membujuk. “Jangan susah beras lagi, nanti saya kasih tiap bulan ke sini,” katanya.
”Kalau jadi epe bawa, dia ndak susah dikasih makan. Cukup makan tiga kali sehari, cukup lauk ikan asin,” tiba-tiba Orong berbicara. Istrinya membayangkan hidup mereka akan gampang jika segala kebutuhan mereka akan terpenuhi. Beras tidak perlu lagi disusahkan, lauk tinggal petik pakis di sungai Keditan. Hidup mereka tidak terlalu berat lagi. Pikiran macam itu memengaruhi suami istri ini. Sampai kemudian, setelah cukup lama, kondisi berbalik. Mereka yang memuji-muji anak mereka, seperti dilakukan seorang pedagang ketika hendak menjual barang dagangan mereka.
“Dia bisa kerja, setiap hari angkut air dari sungai, jauh sungai dari sini,” kata istri Orong. Orong menimpali dengan perkataan serupa, mengatakan anak mereka sangat membantu dan meringankan berbagai urusan.
Sang tamu manggut-manggut, memandang ke arah tungku tempat Ice duduk. Ia ingat kata dagang jam ketika bercerita tentang Lelenggo, para orang tua memang dengan mudah melepaskan anak-anak mereka. Sejauh ini, entah telah berapa anak yang diambil. Sementara orang tua mereka melanjutkan kehidupan dengan biasa, tidak begitu terpengaruh.
“Dia ndak sombong! Cukup kasih makan tiga kali sehari, pakai bajo-peja.” Istri orong berkata lagi. Terdengar sekali seperti bujukan. Tanpa ia sadari.
Sore itu langit mendung.
“Mau ujan,” kata sang tamu berniat mengakhiri pembicaraan.
Istri Orong berbalik, berkata kepada anaknya, “Mau ikut amak ini ke desa?”
Anak itu hanya diam. Terus diam ketika ibunya memasukkan beberapa lembar pakaiannya ke dalam tas yang telah rusak resletingnya. Pemberian pedagang untuk-untuk yang sering datang ke rumah mereka. Tas bekas yang memang sengaja dibawakan untuk anak Orong. Ia hanya begitu saja bangkit dan tanpa berkata sepatahkatapun berjalan di belakang laki-laki yang akan menjadi ayah angkatnya. Tidak tahu, apakah ia benar ingin pergi karena tidak tahan dengan orang tua kandungnya, karena terpengaruh janji-janji yang laki-laki itu ucapkan, atau sebab lainnya.
Wajah anaknya sore itu terbayang kembali kini di benak Orong. Amarahnya kepada istrinya seketika lenyap. Berganti oleh rasa sesak yang memenuhi dadanya. Seperti ada satu pukulan keras mengenainya. Telak. Membuatnya lupa pada rasa lapar yang barusan ia rasakan. Orong harusnya melihat panci yang biasa mereka pakai memasak tergeletak di samping berugak, tumpah. Butir-butir nasi masih tersisa di dalam sedikit, sedikit lagi terpencar di sekitarnya. Tumpah oleh anjing yang menjilatinya tadi.
Mereka tidak akan bisa kembali sadar jika tidak mendengar suara ayam di kebun. Sepertinya sang induk tengah diganggu. Terdengar anak-anaknya berpiak-piak.
Kedua mereka tidak lekas bangkit, dan juga tidak mengeluarkan suara apapun seperti yang biasa mereka lakukan jika mendengar suara seperti itu. Jika satu saja dari mereka bangkit atau berteriak, mungkin anjing peliharaan mereka tidak akan berhasil menangkap salah satu anak ayam itu dan menekannya kuat dengan salah satu kaki depannya ke tanah.
Catatan kaki:
Jebak: gerbang rumah
_____________________________________
Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Tahun 2017 diundang mengikuti Literature & Ideas Festival (LIFE’s) di Salihara, Jakarta. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018).