Susahnya Melarang Bekas Napi Korupsi Ikut Pilkada
Melarang bekas napi korupsi ikut pilkada ternyata susah. Sikap anggota DPR yang tidak mendukung adanya larangan bagi eks napi koruptor untuk maju sebagai calon kepala daerah menunjukkan ketiadaan komitmen antikorupsi.
Belum lagi satu tahun menjadi Bupati Kudus, Muhammad Tamzil ditangkap basah Komisi Pemberantasan Korupsi saat menerima uang suap jabatan kepala dinas, akhir Juli 2019. Parahnya, ini bukan pertama kali Tamzil, sebagai Bupati Kudus, tersangkut kasus korupsi.
Pada 2014, Tamzil divonis bersalah dalam kasus korupsi APBD Kabupaten Kudus. Setelah bebas dari menjalani hukuman pidana pada 2015, yang bersangkutan maju menjadi calon bupati Kudus pada Pilkada 2018 dan kemudian terpilih.
Ini menjadi bukti bahwa pengalaman mendekam di penjara belum tentu membuat jera para koruptor tersebut dan berpeluang melakukan korupsi kembali jika diberi kesempatan memimpin kembali sebuah daerah.
Dan, larangan bagi eks napi korupsi untuk masuk kembali dalam bursa kepemimpinan daerah dinilai tak terpisahkan dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
”Itu salah satu fakta baru yang kami ajukan ke Mahkamah Konstitusi,” kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Selasa (12/11/2019), dihubungi dari Jakarta.
Titi mengatakan, contoh kasus Tamzil menjadi salah satu alasan yang diambil Perludem dan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2019.
Menurut Titi, peluang untuk terciptanya dasar hukum guna mencegah pencalonan para mantan koruptor lebih luas terbuka melalui uji materi undang-undang di MK ketimbang menunggu komitmen dari para legislator dari DPR dan pemerintah.
Baca juga: Rancangan PKPU Cantumkan Larangan Eks Napi Korupsi Ikut Pilkada
”Karena ruang inilah yang lebih mungkin diwujudkan ketimbang menunggu iktikad baik pembuat UU,” kata Titi.
Hal ini pun terbukti dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan KPU dan Kementerian Dalam Negeri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin awal pekan ini.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik mengatakan, rancangan PKPU yang melarang eks napi korupsi menjadi calon kepala daerah telah melampaui persyaratan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pasal 7 Huruf g menetapkan bahwa seorang bekas napi dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah asal telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik rekam jejaknya.
”(UU) tidak melarang mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sepanjang mengungkapkan secara terbuka dan jujur kepada publik,” kata Akmal.
Dalam kesimpulan rapat dengar pendapat tersebut, Komisi II juga meminta KPU untuk tidak ”menciptakan” norma aturan yang tidak diamanatkan oleh UU Pilkada. Komisi II juga meminta KPU merancang PKPU yang sesuai dengan putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015.
Putusan MK itu menyatakan bahwa seorang bekas napi korupsi dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah setelah periode adaptasi ke dalam masyarakat selama lima tahun dan mengumumkan secara terbuka rekam jejaknya sebagai bekas napi korupsi.
Sikap anggota DPR yang tidak mendukung adanya larangan bagi eks napi koruptor untuk maju sebagai calon kepala daerah menunjukkan ketiadaan komitmen antikorupsi.
Sebetulnya, banyak anggota Komisi II yang menyatakan dukungannya untuk melarang eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam Pilkada 2020.
Namun, DPR juga tidak memberikan peluang pelarangan tersebut melalui PKPU ataupun revisi UU Pilkada. Waktu menjadi alasannya.
”Kalau undang-undang sudah diubah dan diubah ke mana-mana, nanti salah DPR lagi, lama banget bikinnya dan terlalu ribet, dan kami menghitung November sudah memulai tahapan pilkada,” ujar Wakil Ketua Komisi II Arif Wibowo.
Padahal, Ketua KPU Arief Budiman menilai, masih tersedia banyak waktu untuk melakukan revisi UU Pilkada. Terlebih lagi, menurut dia, masih ada jangka waktu yang cukup hingga Juni 2020, saat tahapan pendaftaran paslon dimulai.
”Kalau Anda ingat, DPR pernah punya kepentingan yang sama maka revisi bisa dilakukan cepat,” kata Arief menyinggung revisi UU KPK yang berlangsung kilat.
Ketiadaan komitmen antikorupsi
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menegaskan, sikap anggota DPR yang tidak mendukung adanya larangan bagi eks napi koruptor untuk maju sebagai calon kepala daerah menunjukkan ketiadaan komitmen antikorupsi. ”Itu bukti nyata bahwa mereka (anggota DPR) tidak memiliki komitmen antikorupsi,” ujarnya.
Baca juga: Korupsi Hambat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Syarif menyampaikan, yang paling penting adalah sikap dari DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang agar diatur dalam UU Pemilu. Dengan begitu, aparat penegak hukum dan pengadilan tidak akan direpotkan dengan hal-hal demikian.
”Itu harus diatur dalam UU Pemilu. Kalau tidak tegas diatur, walaupun KPU melarang, itu tidak akan diikuti oleh DPR dan pemerintah,” ujar Syarif.
Komisioner KPU 2012-2017 yang juga pendiri Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiyansyah, juga berpendapat, jika ada political will yang kuat dari DPR dan pemerintah, larangan tersebut baru dapat dimasukkan ke dalam undang-undang.
Apabila revisi undang-undang tidak tercapai, Ferry mendukung KPU untuk tetap memasukkan larangan eks napi korupsi sebagai persyaratan di PKPU. Menurut dia, sebagai penyelenggara pilkada, KPU berperan penting untuk membuat aturan ketika norma itu tidak diatur UU alias ada kekosongan hukum
”Ketika terjadi kekosongan hukum, maka institusi yang menanganinya harus membuat pengaturan,” kata Ferry.
Bagi Arief Budiman, alasan yang sama mendasari KPU untuk tetap mempertahankan aturan tersebut dalam PKPU. Bagi KPU, norma pelarangan persyaratan tersebut adalah upaya mengisi ruang yang kosong tidak diatur UU Pilkada. Hingga saat ini, norma tersebut masih ada di PKPU.
Dalam rapat tersebut, Arief mengatakan bahwa dasar pencantuman pelarangan pencalonan bekas napi korupsi diadopsi dari persyaratan calon presiden.
”Pemilu kita ini, kan, jelas untuk memilih presiden, DPD, DPR, dan kepala daerah semestinya kan punya regulasi yang sama. Kan, mereka nanti berpartner dalam menjalankan pemerintahan,” kata Arief.
Peran parpol integral
Meski demikian, tugas pencegahan pencalonan eks napi korupsi dan peningkatan kualitas pilkada tidak bisa dibebankan seluruhnya kepada KPU.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengingatkan, dalam upaya pencegahan pencalonan eks napi korupsi, tidak hanya KPU yang berperan, tetapi juga para partai politik. Bagaimanapun, langkah terakhir pencalonan seorang calon kepala daerah berada di tangan partai politik.
”Dan, sebaiknya justru parpol pengusung calon kepala daerahlah yang tidak mengusung calon mantan terpidana korupsi,” kata Kaka.
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu PDI-P Bambang Wuryanto menyatakan, partainya tegas dalam kebijakannya untuk tidak mengajukan nama calon eks napi korupsi.
”Instruksi ketua umum belum dicabut sejak isu pengajuan caleg pada Pemilu 2019, beliau tidak mengizinkan pencalonan napi eks korupsi,” kata Bambang.
Sementara itu, sistem peradilan di Indonesia juga menanggung beban ini, menurut Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo.
Eko setuju bahwa dalam masa transisi seperti saat ini, catatan-catatan untuk kepala daerah dari eks koruptor harus menjadi pertimbangan utama. Dengan begitu, pelarangan bagi eks napi koruptor untuk maju dalam Pilkada 2020 memang harus dilakukan.
Namun, perlu ada perbaikan sistem pengadilan juga. Menurut Eko, kalau kita beranggapan koruptor sudah menjalani hukuman dengan sistem yang lemah, maka sekalipun sudah menjalani masa hukuman, sikap koruptif akan tetap melekat. Sebagai contoh, pemberian remisi bagi napi koruptor cenderung menunjukkan masih lemahnya sistem pengadilan Indonesia dalam memberantas korupsi.
”Untuk itu, saya mendorong agar ada perbaikan sistem terlebih dahulu. Dengan demikian, ke depan kita yakin, ketika dia (eks napi koruptor) sudah menjalani sistem itu, dia akan berubah, baru boleh diizinkan lagi untuk ikut dalam kontestasi dalam pilkada,” tutur Eko.