Moratorium Pemekaran Daerah Belum Dicabut
Pemerintah belum mencabut moratorium pemekaran daerah. Evaluasi atas daerah otonom baru yang lahir sejak 1999 dinilai lebih mendesak untuk dilakukan supaya tak ada lagi daerah yang gagal berkembang.
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, desakan untuk mencabut moratorium pemekaran daerah mulai bermunculan. Namun, pemerintah menegaskan untuk tetap menutup keran pemekaran daerah tersebut.
Sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemekaran daerah diputuskan untuk dihentikan. Situasi keuangan negara yang tidak memungkinkan kerap diutarakan sebagai dasar moratorium.
Pasalnya, pemekaran daerah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Contohnya, untuk memekarkan satu kabupaten berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa saja membutuhkan dana setidaknya Rp 400 miliar.
Baca juga: Menimbang Keberlanjutan Moratorium
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (13/11/2019), mengatakan, kebijakan untuk menutup keran pemekaran daerah masih belum berubah. ”Belum ada wacana atau rencana. Masih moratorium,” katanya.
Moratorium pemekaran berlanjut sekalipun, diakuinya, permintaan pemekaran dari sejumlah daerah bermunculan.
Pemerintah juga belum berpikir menggunakan pertimbangan kepentingan strategis nasional untuk memekarkan daerah.
Pasal 31 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan pembentukan daerah dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentingan strategis nasional. Ini berlaku untuk daerah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan daerah tertentu untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan negara.
Untuk mencabut moratorium pemekaran daerah, pemerintah harus terlebih dulu menerbitkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang penataan daerah dan desain besar penataan daerah. Dua RPP tersebut merupakan turunan dari UU No 23/2014. Namun, hingga saat ini belum ada rencana penerbitan kedua RPP tersebut.
Sebelumnya, Akmal menjelaskan bahwa pihaknya sebenarnya sudah menuntaskan konten kedua RPP tersebut. Namun, penerbitannya menunggu keputusan Presiden Joko Widodo.
Pemekaran Papua
Keinginan untuk memekarkan daerah paling anyar dilontarkan oleh Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah Alof St Rumayoni dan Tim Pemekaran Bogoga, Kabupaten Tolikara, Papua, Dewa Manimbo. Keinginan tersebut mereka sampaikan dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Baca juga: Tahun-tahun Produktif Pemekaran Wilayah
Menurut Alof, amanah pemekaran Provinsi Papua Tengah sudah ada sejak 20 tahun lalu. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Namun, pemekaran tak kunjung dilaksanakan.
Alof menambahkan, pihaknya sudah mempersiapkan konsep dan hal-hal administrasi lainnya untuk pembentukan Papua Tengah.
”Kami akan mengajukan Biak sebagai ibu kota Papua Tengah karena di sana ada tiga jenderal bintang dua dari TNI Angkatan Udara, ada jenderal bintang satu dari TNI Angkatan Laut, dan ada juga dari TNI Angkatan Darat,” ujarnya.
Baca juga: Papua Dijanjikan Dimekarkan
Sementara Dewa beralasan, pemekaran Kabupaten Bogoga penting karena selama ini distribusi dana otonomi khusus tidak menetes ke seluruh daerah di Papua, termasuk Bogoga. ”Pemerintah kirim uang sudah terlalu banyak, tidak akan selesai. Lewat pemekaran daerah, pemekaran distrik, baru bisa sampai,” katanya.
Dewa mengklaim pihaknya sudah mendapatkan persetujuan dari Presiden Jokowi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo mengatakan, aspirasi masyarakat Papua memang sudah lama disampaikan.
Akan tetapi, pemekaran harus memperhatikan banyak hal. ”Ada aturan dan pertimbangan. Pertimbangan terpenting itu berasal dari pemerintah karena berdasarkan UU No 23/2014 kewenangan pembentukan daerah otonom baru (DOB) itu ada pada pemerintah,” katanya.
Selain dari Papua, aspirasi pemekaran daerah datang dari daerah-daerah lain. Arif yang juga menjabat sebagai anggota Komisi II DPR periode 2014-2019 mengatakan, ada lebih dari 100 daerah yang ingin mekar. Aspirasi disampaikan melalui DPR. Selain DPR, ada juga yang mengajukan melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Kementerian Dalam Negeri.
Baca juga: Kemendagri Terima 254 Usulan Daerah Otonom Baru
Terkait hal itu, kata Arif, DPR akan mengundang Kementerian Dalam Negeri dalam waktu dekat. Mereka akan diminta menjelaskan konsep penataan daerah dan desain besar penataan daerah yang akan menentukan keberlanjutan moratorium pemekaran daerah.
Evaluasi
Anggota Komisi II dari Fraksi PDI-P, Cornelis, mengatakan, pembentukan daerah otonom baru (DOB) harus dipikirkan matang-matang. Banyak hal harus dipertimbangkan, salah satunya keberhasilan DOB yang sudah lebih dulu dibentuk. ”Akan lebih baik jika kita kelola dulu DOB yang sudah ada, bagaimana daerah itu bisa memberikan pelayanan publik yang maksimal,” ujarnya.
Senada dengan itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem, Saan Mustofa, mengatakan, evaluasi DOB yang sudah terbentuk harus segera dilakukan. Perlu ada penilaian apakah tujuan percepatan pembangunan untuk menyejahterakan warga melalui pemekaran sudah tercapai.
”Jika ternyata pemekaran yang sudah dilakukan selama ini tidak berjalan efektif, justru minus karena daerah tidak terurus, itu harus menjadi catatan. Jangan sampai pertimbangan pemekaran hanya untuk mengakomodasi kepentingan elite politik lokal,” ujar Saan.
Baca juga: Perkembangan di 18 Daerah Otonom Baru Belum Memuaskan
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menilai, pemekaran daerah belum dibutuhkan. Evaluasi besar terhadap sejumlah DOB yang sudah terbentuk lebih mendesak untuk dilakukan.
Namun, untuk merespons pengajuan pemekaran yang semakin banyak, pemerintah juga perlu memaparkan desain besar penataan daerah. Salah satunya terkait kategori kepentingan strategis nasional yang memungkinkan pemerintah membentuk DOB bukan berdasarkan aspirasi masyarakat.
”Khususnya mengenai Papua, perlu ada evaluasi terhadap otonomi khusus. Jika ditemukan bahwa urusan luas wilayah menjadi kendala penerapan otonomi khusus, itu bisa jadi titik tolak menentukan alasan pemekaran,” kata Robert.